Biografi KH. Abdul Djabbar

 
Biografi KH. Abdul Djabbar

Daftar Isi Profil KH. Abdul Djabbar

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Pendidikan
  4. Keluarga
  5. Kegiatan di Masa Muda
  6. Pembukaan Dukuh Maskumambang
  7. Mendirikan Pesantren

 

Kelahiran

KH. Abdul Djabbar dilahirkan pada tahun 1241H bertepatan dengan tahun 1820 M. Pada masa kecilnya, KH. Abdul Djabbar bernama Ngabidin dari kata-kata ‘Abid, diberinya nama itu oleh orang tuanya agar benar-benar menjadi manusia yang beribadah dengan baik.

Wafat

Wafat pada tahun 1325 H dalam usia 84 tahun.

Pendidikan

Beliau pergi menuntut ilmu di suatu pondok pesantren yang terdapat di daerah Sidoarjo, tepatnya yaitu di desa Ngelom. Kemudian beliau melanjutkan menuntut ilmunya di Tugu Kedawung, Kabupaten Pasuruan. Setelah dirasa cukup dalam menuntut ilmu, beliaupun kembali ke daerahnya dan menikah dengan Nyai Nursimah, putri dari Kyai Idris, Kebondalem Boureno Bojonegoro.

Beberapa tahun kemudian, Abdul Djabbar beserta istrinya menunaikan ibadah haji. Selama di Mekkah, KH.Abdul Djabbar mengaji kepada beberapa ulama besar yang membuka pengajian di sekitar Masjidil Haram.

Keluarga

Diceritakan pada abad 12 H atau 18 M, ada seorang Kepala Kampung (Demang) di desa Kalimati (sekarang Kalirejo) Kecamatan Dukun Sedayu, Kabupaten Gresik, Jawa Timur (desa tepi utara sungai Bengawan Solo) bernama Wirosari.

Beliau adalah seorang kepala kampung yang sangat berpengaruh di lingkungannya, sehingga oleh Bupati pada waktu itu diberi gelar Kudo Leksono. Kudo Leksono adalah putra dari Nyai Siman Binti Nyai Sarimah binti Ongkoyudo bin Abdillah bin Abdul Djabbar (alias Kusumoyudo) dan pangeran Selarong bin Pangeran Bawono bin Pangeran Pajang alias Lembupeteng alias Joko Tingkir dan seterunsya sampai ke Brawijaya Mojopahit.

Wirosari atau Kudo Leksono meninggalkan 3 orang keturunan yang bernama Kadiyun, Kasli dan Nasik. Nasik tidak berketurunan. Kasli hanya mempunyai seorang putra yaitu Saib. Dari beliau lahir 3 orang anak yaitu:

  1. Aminah
  2. Ahyad
  3. Siroj

Sedang dari Kadiyun yang berkedudukan di Sedayu (Ibukota Kabupaten Gresik pada waktu itu) berketurunan 3 orang anak pula, mereka ialah:

  1. KH. Abdul Djabbar
  2. K. Munibun,
  3. Nyai Ngapiani atau Nyai Utami

Sebelum kita sebut putra-putra KH. Abdul Djabbar, baiklah kita sebutkan dahulu putra-putra Nyai Utami dan Kyai Munibun. Nyai Utami menetap di desa Pringgoboyo, Pangkatrejo, Lamongan dan mempunyai 3 orang putra yaitu:

  1. Ismail
  2. Mutmainah
  3. Abdul Qohar

Kyai Manibun tinggal di desa Sumur,Panceng Kabupaten Gresik. Beliau dikaruniai 4 orang anak yaitu:

  1. Ghofar
  2. Masyhadi
  3. Abd. Muid CH. Malkan
  4. Abd. Ghofur

Sedang Kyai Abdul Djabbar yang tinggal di desa Maskumambang, Dukun Kabupaten Gresik mempunyai 10 orang anak yang bekembang sehingga menjadi keluarga besar yang mengikat diri menjadi satu keluarga yang bernama Ikatan Keluarga Kyai Abdul Djabbar atau disingkat IKKAD. Kesepuluh putra KH. Abdul Djabbar tersebut adalah:

  1. KH. Rois
  2. Nyai Hj. Alimah
  3. KH. Abu Dzarrin
  4. KH. Faqih
  5. KH. Atqon
  6. KH. Sjahid
  7. Nyai Hj. Muhsinah
  8. KH. Harun
  9. KH. Ahmad Muhtadi
  10. KH. Abdullah Musta’in

Kegiatan di Masa Muda

Di masa muda beliau bekerja pada kantor Kabupaten Sedayu sebagai salah seorang pegawai yang dicintai oleh Kanjeng Bupati, karena ketekunan dan kecakapannya terutama amanahnya. Namun oleh suatu hal, terpaksa beliau berhenti dari pekerjaan itu, kemudian beliau pergi ke daerah Sidoarjo, tepatnya yaitu di desa Ngelom.

Demikianlah, maka beliaupun mulai mengarungi lautan hidup ini dengan keluar masuk hutan rimba di daerahnya dengan pakaian yang sama, tanpa rasa khawatir dan takut.

Pembukaan Dukuh Maskumambang

Beliau membuka sebidang tanah yang masih merupakan hutan kecil di tengah-tengah desa Sembungan Kidul Kecamatan Dukun. Setelah beliau berhasil membuka dan membersihkan daerah tersebut, didirikan sebuah rumah yang amat sederhana untuk tempat tinggal suami-istri, dan diberilah nama daerah itu dengan “Maskumambang”. Dari asal kata mas dan kambang (bahasa jawa) artinya mengapung.

Konon diberinya nama tersebut tidak lain karena daerah itu semula hutan yang lebat tanpa dipelihara namun akhirnya menjadi daerah yang indah, subur, tempat mencari ilmu, yang seakan-akan tempat emas yang mengambang.

Mendirikan Pesantren

Setelah dua tahun menetap di Mekkah, Abdul Djabbar dan Nyai Nursimah pulang kemudian mendirikan langgar panggung di sebelah rumah beliau,berukuran luas ±5 m 2 dengan tinggi bangunan ± 2,5 m dan tinggi alas dari permukaan tanah 1 m, serta atap bangunan dari anyaman daun kelapa, sebagai tempat belajar putra-putri beliau dan penduduk sekitar.

Setelah santri yang datang mengaji bertambah, beliau membangun tiga buah kamar, masing-masing berukuran 2 m x 1,5 m. Tempat ini akhirnya dikenal dengan nama Maskumambang. Nama Maskumambang yang diberikan kepada pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Djabbar pada tahun 1859 m/1281 H ini cukup unik karena umumnya nama pesantren itu diambil dari Bahasa Arab atau tokoh-tokoh Muslim. Keunikan nama pesantren ini telah mengundang banyak pihak untuk menafsirkan dan atau mencari makna dibalik nama Maskumambang tersebut.

Pondok Pesantren Maskumambang didirikan pada tahun 1859 M./1281 H. oleh K.H. Abdul Djabbar sebagai usaha dia untuk mencetak kader-kader da’i yang diharapkan dapat menghapus kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam

Setelah wafatnya KH. Abdul Djabbar wafat pada tahun 1325 H atau 1907 M, pesantren Maskumambang dipelihara oleh putra-putra beliau terutama KH. Faqih dan dibantu oleh putra-putranya.

 

(dikutip dari buku silsilah KH. Abdul Djabbar karangan KH.Chamim Syahid terbitan Th. 1980)

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya