Belajar Bisa Dari Mana Saja

 
Belajar Bisa Dari Mana Saja
Sumber Gambar: lilartsy dari Pexels

Laduni.ID, Jakarta - Imam Afifuddin menceritakan sekelompok sufi yang datang ke sebuah kota dan melihat seekor anjing mengikutinya. Diceritakan:

قال: كنا جماعة في بعض البلاد فخرجنا إلي باب البلد في بعض الأيام فتبعنا كلب من البلد فلما بلغنا الباب إذا نحن بدابة ميتة فلما نظر الكلب إليها رجع إلي البلد ثم عاد بعد ساعة ومعه نحو عشرين كلبا فجاءت إلي الميتة وأكلت منها وذلك الكلب قائم ينظر من بعيد إلي أن فرغت الكلاب من الأكل وقضت وطرها وصدرت فورد وأكل من سؤرها من العظام وما بقي عليها ثم انصرف

Seorang sufi berkata: Kami berada di sebuah kota. Suatu ketika kami keluar menuju gerbang kota tersebut. Seekor anjing mengikuti kami. Saat kami sampai di gerbang, kami melintasi bangkai hewan. 

Ketika anjing itu melihatnya, dia kembali ke dalam kota. Beberapa saat kemudian dia datang bersama sekitar dua puluh anjing lainnya mendekati bangkai hewan itu. Anjing-anjing itu memakannya.

Namun, anjing yang mengikuti kami itu hanya berdiri memandang dari kejauhan hingga teman-temannya selesai makan, memenuhi kebutuhannya dan pergi.

Kemudian anjing yang mengikuti kami itu mendekat dan memakan sisa-sisa daging di tulang bangkai itu dan apa yang tersisa darinya, lalu dia pergi.

Belajar bisa dari mana saja. Dari mulai dedaunan yang gugur, ikan yang berenang, hingga kisah Iblis yang menentang. Semuanya dapat dijadikan pelajaran.

Anjing yang mengikuti para sufi itu menampakkan kedermawanan, kesetia-kawanan dan akhlak yang baik. Dia tidak memakan bangkai hewan itu sendirian, mengenyangkan dirinya terlebih dahulu, baru memanggil teman-temannya. Dia bergegas kembali, memanggil teman-temannya dan membiarkan mereka makan terlebih dahulu, sedangkan dia memandang dari kejauhan. Setelah teman-temannya kenyang dan pergi, dia baru menghampiri bangkai itu dan memakan apa yang tersisa.

Meski demikian, belajar tidak boleh serampangan. Imam Ibrahim bin Adham memberi saran:

أطلبوا العلم للعمل فإن أكثر النّاس قد غلطوا حتي صار علمهم كالجبال وعملهم كالذر

“Carilah ilmu untuk beramal, kebanyakan manusia telah keliru, sehingga menjadikan ilmunya setinggi gunung tapi amalnya sekecil debu.” (Abdul Wahab al-Sya’rani, Thabaqat al-Kubra, Kairo: Maktabah al-Tsaqah al-Diniyyah, 2005,  hlm 129)


Sumber: Afifuddin Abi al-Sa’adat Abdullah bin As’ad al-Yafi’i al-Yamani, Raudl al-Rayahin fi Hikayah al-Shalihin, Kairo: Maktabah Taufiqiyyah, tt, hlm 147-148.