Rawat Kerukunan Beragama dengan Islam Humanis (Bagian 1)

 
Rawat Kerukunan Beragama dengan Islam Humanis (Bagian 1)
Sumber Gambar: Ilustrasi/Sorogan

Laduni.ID, Jakarta – Upaya-upaya penegakan HAM merupakan masalah global dan tugas manusia secara keseluruhan, yang tentu saja harus mendapatkan respon serius dari agama. 

Kenyataan bahwa setiap kelompok, bangsa, ideologi, maupun agama manapun di seluruh penjuru dunia untuk menggaungkan perjuangan demi penegakan dan pemenuhan HAM seharusnya menjadi momentum bersama untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, yang jauh dari penindasan, pertumpahan darah, kekerasan, dan kezaliman. 

Al-Quran sendiri dengan tegas menyatakan bahwa menghalang-halangi upaya penegakan keadilan merupakan perbuatan orang-orang kafir.

اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْفُرُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَيَقْتُلُوْنَ النَّبِيّٖنَ بِغَيْرِحَقٍّۖ وَّيَقْتُلُوْنَ الَّذِيْنَ يَأْمُرُوْنَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِۙ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar) dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, sampaikanlah kepada mereka kabar gembira yaitu azab yang pedih.” (QS. Ali Imran: 21)

Masalah kemanusiaan merupakan tuntutan dan tanggung jawab bersama tanpa pandang bulu (masliyyah insaniyyah). Dalam hukum Islam juga dikenal lima prinsip universal (kulliyyat al-khams) yang dijadikan pertimbangan bagi para ahli fikih dan hukum Islam dalam menetapkan produk hukum yaitu hifzh ad-din, hifzh an-nafs, hifzh al'aql, hifzh al-ml, dan hifzh al-'irdh wa an-nasl.

Saat dunia luar, baik Eropa maupun Amerika, menyaksikan di berbagai belahan timur tengah yang tiada kunjung damai. Mereka akhirnya menarik kesimpulan dalam memandang Islam sebagai agama yang anarkis, militan, eksklusif, fundamentalis, dan banyak lagi sebutan untuknya.

Anggapan itu diperparah dengan merebaknya aksi-aksi teror, puncaknya saat peristiwa Word Treade Center di Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001. Perbuatan ini ditengarai para tokoh Islam; Usama bin Laden, dan kawan-kawan. Akibatnya, orang-orang non-Islam khususnya, menjadi takut ketika mendengar nama Islam disebut. Tapi, apakah benar Islam mengajarkan kekerasan?

Streotipe-streotipe yang dilekatkan kepada Islam ini ditepis Muhammad Arkoun, pemikir Islam kelahiran Tourit Mimoun, Kabilia, 28 Februari 1928. Ia menilai jauh-jauh hari, Islam itu telah mengajarkan nilai-nilai humanisme terhadap penganutnya. Hanya, ada beberapa kecacatan, khususnya para penganutnya, dalam memahami humanisme. Akibatnya, nilai-nilai humanisme itu terkaburkan. 

Arkoun membagi tiga kategori ketika memandang humanisme dalam Islam. Pertama, humanisme literer. Humanisme literer ini terjadi di dunia Islam klasik sekitar abad ke-3 sampai ke-4. Munculnya humanisme itu ditandai memuncaknya semangat aristokrasi, uang dan kekuasaan. Pada masa itu, orang-orang yang berbakat tidak bisa mengerjakan keinginan bakat-bakat mereka kecuali di lingkungan istana raja-raja dan lingkungan orang-orang kaya.

Humanisme masa itu mirip dengan adab atau humanitas, yakni sebagai sebuah pengetahuaan dan kebudayaan yang komplet, semangat dan gambaran ideal manusia tanpa dibatasi secara spesifik dan kaku disiplin keilmuan.

Namun, meski para tokoh humanisme literer (Adib) hidup di dalam istana dan dekat dengan kekuasaan – menjadi sekretaris negara, dan duduk di pemerintahan – peradaban Islamnya masih merupakan cerminan dari peradaban masyarakat sipil (civil society), bukan militer. Hanya, humanisme itu masih memiliki kelemahan.

Dari aspek epistimologinya, humanisme literer membangun pola pikirnya hanya melalui dan berdasar literatur atau teks. Para humanis literer juga banyak bergantung pada dan banyak ditopang fasilitas para penguasa (raja, aristokrat, penyandang dana dan sebagainya) sehingga sulit bersikap obyektif.

Selain itu, humanisme ini lebih terpaku pada persoalan yang bersifat literalis-tekstualistis. Akibatnya, humanisme literer menjadi tidak sadar akan faktor historisitasnya. Karena yang menjadi tolak ukur dan standarisasinya pada persoalan literer atau teks tanpa menyadari setting-historis dan konteks yang melatar belakanginya, sehingga humanisme ini menjadi tidak kontekstual.

Kedua, humanisme religius. Humanisme ini adalah sebuah konsepsi yang hendak mengukur ketaatan keberagamaan atau kesalehan seseorang lewat pintu masuk dunia mistik (tasawuf). Humanisme ini digambarkan sebagai sarana keyakinan dan penaklukan terhadap nafsu (jihad al-akbar), rujukan tetap pada Tuhan, dan rasa malu dalam aksi dan konsep, kepasrahan dan penghapusan keinginan yang ditempatkan pada sebuah keadilan yang tak dapat ditolak. Humanisme ini ternyata juga memiliki kecacatan dalam pandangan Arkoun.

Dalam sejarah pemikiran ortodoksi, humanisme ini sering menjadi eskapisme dari kenyataan politis yang cenderung mendukung faham determinisme dalam teologi, sampai akhirnya sufisme dianggap sebagai agama masa atau ordo-ordo sufisme.

Arkoun secara empatis juga memahi bahwa humanisme religius (sufisme), di satu sisi, memang telah mendorong manusia untuk mendekati Tuhan tanpa perantaraan pastur-pastur dan sejenisnya. Tetapi dalam pandangan hukum-teologi dan sejenisnya, ortodoksi (fukuha' wa mutakallimun) kaum sufi dianggap telah terlalu jauh dalam keterpisahan spritual mereka dari masyarakatnya, khususnya bagi mereka yang telah mencapai tingkat kesatuan ekstasi (al-wahdah), dengan Tuhannya.

Ketiga, humanisme filosofis. Humanisme ini dalam gambaran Arkoun dilukiskan sebagai menyatunya elemen-elemen dari kedua humanisme di atas (humanisme literer, dan humanisme religius), tanpa dibedakan disiplin keilmuan yang lebih jelas, dengan ketenangan yang lebih menghanyutkan dan mencemaskan, lebih metodis, dan lebih solider terhadap kebenaran antara dunia, manusia, dan Tuhan. Ia mengetengahkan seluruh pertanggungjawaban yang dapat dinalar dan seluruh kecerdasan manusia secara otonom.

Humanisme filosofis sekarang disalahpahami masyarakat muslim. Menurut Arkoun, humanisme ini memiliki otonomi kebebasan yang besar kepada manusia untuk mengoptimalkan kecerdasannya tanpa didasari rasa bertanggung jawab terhadap Tuhan, sebagaimana diungkapkan Abu Hayyan at-Tauhidi, "Manusia cenderung menjadi problem bagi manusia lain."

Dari pemaparan singkat di atas, dapat diketahui bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan nilai-nilai humanisme kepada penganutnya. Hanya, sering kali penganutnya itu sendiri yang salah dalam memahami ajarannya.

Sekali lagi, ini menjadi bukti, bahwa Islam bukan agama yang mendukung kekerasan anarkisme. Jika begitu, siapa yang perlu disalahkan, umat Islam yang fatal memaknai ajarannya sendiri atau orang-orang non-Islam yang tidak paham terhadap esensi Islam. Dapat dikatakan, dunia Barat terlalu prematur mengklaim Islam dengan stereotipe-stereotipe yang sebetulnya tidak obyektif.

Oleh: Aji Setiawan


Editor: Daniel Simatupang