Menjelang Satu Abad, NU Tampil Beda

 
Menjelang Satu Abad, NU Tampil Beda
Sumber Gambar: Ilustrasi/Indonesia at Melbourne

Laduni.ID, Jakarta – Kini, hasil Muktamar NU di Lampung telah diumumkan kepengurusannya, bertempat di gedung PBNU Jalan Keramat Raya, bilangan Salemba Jakarta Pusat. 12 Januari 2022 jadi titik awal sejarah, NU dibawah duet kepemimpinan KH. Miftahul Akhyar dan KH. Yahya Cholil Staquf untuk masa hidmat 2022-2027.

Ada yang menarik perhatian pada struktur kepengurusan PBNU untuk priode sekarang ini, yaitu masuknya Habaib dalam jajaran pengurus PBNU, dan tak kalah mengejutkan para Ibu Nyai menjadi pengurus PBNU.

Seumur-umur saya baru ini lihat ada pengurus PBNU jenis kelamin perempuan. Sejak masih bocah, hingga sekarang tidak ada perempuan jadi pengurus PBNU. Sebab untuk ibu-ibu, emak-emak, nyai-nyai sudah ada wadah organisasinya yaitu Muslimat NU.

Intinya hal ini jadi pemicu nalar saya untuk menarasikan lewat tulisan, murni didasari keterkejutan, meski ini tidak tengah mewakili siapa-siapa. Jelas ini sisi pribadi yang lihatnya kaget, campur penasaran, ada pertimbangan apa ibu nyai jadi pengurus PBNU?

Mari kita lihat dinamika keindonesiaan kita, lihat pula perkembangan dunia, yang tengah memasuki era 5.0, juga tengah memasuki tatanan dunia baru yaitu metaverse. Manusia dunia sudah harus terbiasa dalam hidup yang serba virtual, apapun selalu berdasarkan digital, ketergantungan hidup juga pada aplikasi yang online, semua serba online. Tambah suatu saat crypto currency akan jadi alat tukar perdagangan, bisnis ke bisnis, bisa jadi payment sehari-harinya masyarakat milenial.

Boleh lihat, isu-isu kesetaraan gender, ideologi transnasional, isu HAM dan perang geo-politik, ini yang perlu kita telaah, sebab ini akan terjadi dan kita alami, suka atau tidak suka. Dunia selalu menuntut akan perubahan, dan sudah menjadi sunnatullah tentunya.

Tentu, NU harus bisa menyikapi soal-soal di atas meskipun tetap istiqomah dalam tradisionaliame beragama. Karakteristik rerata orang NU pembawaan tenang, suka guyon, santai, dan guyub. Keunikan dalam NU sekaligus itulah kekuatan NU, kontroversialnya NU adalah daya tariknya. Yang menjaga NU berlapis-lapis, ada para wali, rijalullah, ulama sufi (khos), kiai-kiai pesantren. Ini informasi yang sering saya dengar, tapi sulit bermuwajahah dan tak kan mampu melihat mereka. Pada intinya NU dijaga lahir batin, dan selalu didoakan oleh hamba-hamba yang soleh.

Terkait perempuan menjadi pengurus PBNU, secara sederhana bisa diasumsikan sebagai sikap egaliteriannya Gus Yahya, sang Ketum PBNU. Bahkan detil memahami soal kesetaraan gender, memikirkan soal-soal problematika perempuan, ibu-ibu rumah tangga yang ada di seluruh plosok negeri. Dengan adanya para ibu nyai, para Ning itu dimaksud NU akan bisa dan terbiasa menjawab soal-soal tesebut.

Dalam kepengurusan PBNU terdapat para Habib, yang sedari dulu memang porsinya tidak sebanyak sekarang. Cukup senang lihat komposisi tesebut. Karena memang Habaib pun sangat berjasa dalam laju perkembangan dan pertumbuhan NU dari masa ke masa. Penghargaan atas mereka tentu tidak melihat performanya sebagai dzurriyatnya Rasulullah SAW semata, melainkan lebih karena melihat tauladan dan dedikasinya pada umat Islam, terkhusus warga NU.

Dua hal yang jadi ketertarikan saya menulis kali ini adalah tampilnya ibu-ibu Nyai jadi pengurus PBNU, sangat baru dan fenomenologis. Hingga kita nanti melihat kiprah ibu nyai dalam perjalanan NU untuk 5 tahun ke depan.

Dalam diskusi bertajuk “Menjelang Satu Abad: Quo Vadis NU” di Unhasy Tebuireng, beberapa tahun lalu, peneliti dari Utrecht university Belanda, yakni Martin Van Bruinessen, ia menjelaskan pemimpin karismatik itu bukan pemimpin yang semata-mata pintar atau intelektual, tetapi yang mengutamakan pemberdayaan "akar rumput" dan tidak mementingkan elite. Keberpihakan kepada masyarakat kecil itu bukan hanya pemberdayaan secara langsung, namun juga bisa menolak kebijakan liberalisasi ekonomi atau sumber daya alam.

Berbeda dengan pemahaman Mitsuo Nakamura (peneliti dari Jepang) atas NU, seorang dari Jepang ini berpendapat bahwa Tradisionalisme itu bukan berarti NU kolot, tertinggal, dan semacamnya. Namun kalau NU meninggalkan tradisionalisme itu justru bukan NU lagi. Yang penting, tradisi itu tetap dipertahankan dengan menggali khazanah yang non-tradisi.

Amatan-amatan ini, saya kira NU menjelang satu abad, dan akan memasuki abad kedua. Ini artinya tengah memasuki milenium ketiga, sudah harus dinahkodai oleh kiai yang sekaligus paham akan perkembangan dunia internasional, isu-isu global, dan human right.

Sungguh Gusti Allah telah meridloi sang Ketum yang kebetulan paham akan dunia internasional, yaitu Gus Yahya. Figur ulama yang lengkap, beliau santri kelana, mahasiswa fisipol UGM, putera ulama besar NU, itu berarti darah biru NU sebab beliau itu cucu KH. Bisri Mustofa, seorang ulama yang ahli tafsir.

Relasinya atas tokoh dan kelompok-kelompok pro demokrasi, pro perdamaian adalah sisi lain yang terlihat di diri KH. Yahya Cholil Staquf, yang kini terpilih menjadi Ketua Umum PBNU priode 2022-2027. Selamat berhidmat, Kiaiku.

Serang, 12 Januari 2022
Oleh: Gus Hamdan Suhaemi, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten dan Ketua PW Rijalul Ansor Banten


Editor: Daniel Simatupang