Khutbah Jumat: Kedudukan Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Ijtihad dalam Islam

 
Khutbah Jumat: Kedudukan Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Ijtihad dalam Islam
Sumber Gambar: Foto Ist

KHUTBAH 1

اَلْحَمْدُ للهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ أَمَّا بَعْدُ،

عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، اَلْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
 

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Marilah kita memanjatkan Puja dan Puji Syukur kehadirat Allah SWT dengan nikmatnya dan hidayahnya kita dapat berkumpul disini menunaikan solat berjamah

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam yang telah menyampaikan Agama yang sempurna kepada umat manusia. Semoga kita termasuk kedalam golongan orang-orang selalu berpegang teguh dengan sunnah Beliau hingga ajal menjemput kita.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Islam merupakan agama pripurna yang menjadi pijakan dalam beragama atau way of religion seluruh umat muslim di dunia setelah Allah mengutus seorang Nabi dan Rasul terakhir. Adalah Nabi Muhammad s.a.w., manusia sempurna yang dididik langsung oleh Allah yang kemudian ditabal sebagai Nabi dan Rasul terakhir dengan beberapa tugas. Di antara tugas-tugas tersebut adalah menyampaikan risalah agama Islam yang bersendikan atas tiga kerangka dasar, yaitu Akidah, Syariat, dan Akhlak. Akidah yang dalam hal ini merupakan starting point penilaian kadar keimanan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya yang divisualisasikan dalam bentuk penafian dan penegasan.

Selanjutnya, visualisasi tesebut dirumuskan dalam bentuk Syahadat tauhid, yaitu penafian terhadap Tuhan-tuhan yang ada, lalu kemudian ditegaskan dengan pengecualian hanya Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Setelah syahadat tauhid, dilanjutkan dengan syahadat Rasul, yaitu penegasan seseorang dalam meyakini bahwa Nabi Muhammad merupakan Nabi dan Rasul terakhir yang diutus oleh Allah s.w.t. kepada seluruh umat alam, baik dari kalangan manusia maupun dari kalangan jin.

Kerangka dasar Islam setelah tauhid adalah syariat, yaitu rumusan sistematis yang berbentuk regulasi dan undang-undang dalam hal hubungan vertikal makhluk kepada sang khalik, serta hubungan horizontal makhluk kepada makhluk lain yang kesemuanya terangkum di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam perkembangannya, rumusan ini kemudian di-ijtihadkan oleh para pakar sehingga melahirkan sebuah paradigma disiplin ilmu pengetahuan yang dikenal dengan Fiqih. Fiqih secara etimologi berasal dari kata Faqiha-Yafqahu mempunyai arti memahami, sedangkan Fiqh mempunyai arti pemahaman, kecerdasan, dan kemampuan. Sedangkan menurut terminologinya, Fiqh adalah kemampuan seseorang dalam memahami hukum-hukum syariat yang berkenaan dengan pekerjaan dan perkataan seorang mukallaf berdasar dalil-dalil terperinci.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Akhlak secara etimologis adalah tabiat, tingkah laku, dan muruah atau nama baik. al-Raghib al-Isfahani memberikan arti akhlak dengan bentuk dan gambaran yang bisa dideteksi oleh indra. (al-Isfahani, 174). Secara terminologis, para pakar berbeda pendapat, al-Jirjani dan al-Ghazali mengemukakan bahwa akhlak merupakan bentuk jiwa yang kuat yang mana di dalamnya bersumber pekerjaan-pekerjaan dengan mudah tanpa harus dipikir dan dianalisis, apabila yang keluar adalah pekerjaan-pekerjan baik, maka akhlaknya pun juga baik, sebaliknya apabila yang keluar tersebut pekerjaan-pekerjaan jelek, maka akhlaknya juga jelek. (al-Jirjani, 1985:106).

Kerangka Islam yang begitu dinamis sebagaimana telah penulis kemukakan di atas terangkum dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal itu kemudian dipaparkan secara gamblang lewat metodologi Itihad para ulama, sehingga melahirkan beberapa disiplin ilmu pengetahuan yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah itu sendiri. Kita tentu masih ingat bagaimana Sihabuddin al-Ramahurmuzi merumuskan Ilmu Musthalah al-Hadits, Abu Ubaid Qasim Ibnu Sallam merumuskan Ilmu Tajwid, Sibawaih, Muslim al-Farra’, dan Abu al-Aswad al-Dhu’ali merumuskan Gramatika Bahasa Arab. Kemudian dilanjutkan dengan penemuan Khalil bin Ahmad al-Farahidi tentang kaedah kesusasteraan Arab seperti Arudl, Qardu al-Syi’ir, dan Qawafi yang belum pernah diketahui oleh sastra Arab pada masa Jahiliyah sekalipun.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Hal itu membuktikan bahwa al-Qur’an, al-Hadits, dan Ijtihad para ulama erat kaitannya dalam membentuk suatu komunitas pada suatu daerah yang dulunya terbelenggu kebodohan, menjadi sebuah komunitas yang berperadaban, berkebudayaan, dan berpengatuan, yang dalam istilah saat ini dikenal dengan masyarakat madani. Oleh karena itu, di sini penulis hendak mengurai al-Qur’an, al-Sunnah, dan Ijtihad dalam bentuk pembatasan istilah, kemudian dilanjut dengan pemaparan pada wilayah diskursus ketiga-tiganya dalam perspektif masyarakat madani. Secara etimologis al-Qur’an Berasal dari kata Qara’a–Yaqra’u-Qiraa’atan, wa Qur`aanan yang artinya bacaan. Sedangkan menurut terminologinya, al-Qur’an merupakan Firman Allah s.w.t. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. secara berangsur-angsur melalui Malaikat Jibril, sebagai mukjizat Nabi dan pedoman hidup umatnya, yang bernilai ibadah bagi orang yang membacanya.

Al-Qur’an dalam hirearki hukum Islam menempat urutan yang pertama berdasarkan firman Allah s.w.t.:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atlah kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. al-Anfal, 08:20).

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبٍعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهَ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali Imran, 3: 31).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تُبْطِلُوْا أَعْمَالَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atlah kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu merusakkan pahala-pahalamu”. (QS. Muhammad, 47: 33).

Dilanjut dengan al-Sunnnah yang menurut etimologi berarti Jejak, langkah, cara atau kebiasaan. Sedangkan menurut terminologinya para pakar membaginya kedalam dua klasifikasi. (1) Apa yang diucapkan, dikerjakan, dan diputuskan oleh Rasulullah s.a.w. sebagai penjabaran dan pelaksanaan dari al-Qur’an. Sedangkan yang ke (2) sebagaimana penulis kutip dalam kitab kitab Risalah Ahlusunnah Wal Jamaah karya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, beliau memberikan definisi Sunnah dengan Jejak yang diridhai oleh Allah s.w.t., menjadi pijakan dalama agama, dan pernah ditempuh oleh Rasulullah s.w.t. atau orang yang menjadi panutan dalam agama seperti sahabat. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh beliau dalam sabdanya: ”Hendaklah kalian mengikuti sunnahku, dan sunnah khulafa al-Rasyidin setelahku”.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Untuk itu, para ulama sepakat bahwa al-Sunnah menempati kedudukan kedua setelah al-Quran dalam hierarki sumber hukum Islam. Posisi selanjutnya ditempati oleh ijma', kemudian qiyas. Apabila dipertautkan antara al-Qur’an dan al-Sunnah, maka diperoleh sebuah rumusan yang secara tegas menyatakan bahwa al-Sunnah mempunyai fungsi atas al-Qur’an. Fungsi tersebut dirumuskan dalam tiga aspek sebagaimana berikut, yaitu (1) Bayan Al-Taqrir Wa Al-Ta’kid, yaitu al-Sunnah berperan untuk menetapkan dan memperkuat apa yang telah digariskan oleh al-Qur’an. Lalu (2) Bayan Al-Tafsir Wa Al-Tafshil, yakni al-Sunnah berperan sebagai penjelas dan perinci ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal (global), muthlak atau ‘am (umum). Kemudian yang terakhir (3) Bayan al-Tasri’ ialah penjelasan al-Sunnah yang berupa mewujudkan, mengadakan, atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara’ yang tidak terdapat nash nya di dalam al-Qur’an. (Zakky Mubarak, 2014: 98-102).

Ijtihad secara etimologis berarti Sungguh-sungguh atau serius. Sedangkan secara terminologis berarti Penggunaan rasio atau akal semaksimal mungkin guna menemukan sesuatu ketetapan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karena itu, ijtihad menduduki posisi yang ketiga dalam hukum Islam, setelah al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam ijtihad ini timbullah sumber hukum lainnya yaitu ijma (konsensus ulama), qiyas (analogi berdasarkan sebab atau illat masalah), urf (adat kebiasaan setempat), maslahah mursalah (kepentingan umum), dan istihsan.

Karena Ijtihad ini merupakan hasil dan formulasi para ulama dalam menetapkan suatu hukum, maka akan didapat berbagai macam perbedaan. Menurut para ahli, perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya: (1) Perpedaan bacaan al-Qur’an berdasar pada gramatika Bahasa Arab.  (2) Banyaknya kosa kata atau lafadz-lafadz dalam al-Qur’an yang bersifat Musytarak (lafadz yang relatif, yang memiliki banyak makna). (3) Perbedaan tolak pangkal berpikir ulama dalam memahami teks sesuai dengan causa, budaya, dan sosial umat. (4) Sampai atau tidaknya suatu hadis pada kelompok ulama tertentu. (5) Perbedaan metode dalam menetapkan kaitan antara al-Qur’an dan al-Sunnah. Kelompok pertama menggunakan metode tarjih sedang Kelompok kedua menggunakan metode kompromi, antara al-Qur’an dan al-Sunnah.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Oleh karena itu, dalam ranah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara serius. Di antaranya adalah (1) Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. (2) Hasil ketetapan ijtihad sifatnya kondisional dan situasional, mungkin berlaku bagi seseorang tetapi tidak berlaku bagi orang lain. Juga berlakunya kadangkala hanya untuk satu masa atau tempat tertentu saja. Hal ini berlandaskan pada sebuah kaedah yang menyatakan “al-Hukmu Yaduuru ma’al illah wujuudan wa adaman”. (3) Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. (4) Ketetapan ijtihad tidak melahirkan keputusan yang absolut, tetapi sifatnya relatif. (Zakky Mubarak, 2014: 106).

Berdasar paparan di atas, maka proses berijtihad setidaknya harus mempertimbangkan berbagai aspek, diantaranya aspek lingkungan, aspek manfaat dan madharat atau akibat, aspek motivasi dan nilai-nilai yang menjadi ciri khas ajaran Islam. Oleh karena itu, Ijtihad dalam konteks ini mencakup bidang mu’amalah (ihwal ekonomi), jinayat (kriminalitas), siasat (politik), ahwal syahsyiyyah (ihwal kekeluargaan), dan da’wah (mission) yang kesemuanya dikupas secra tuntas dalam kajian Fiqih Islam, baik di tingkat dasar sampai di tingkat atas sekalipun semisal al-Majmu’ Syarhul Muhadzzab dan lain sebagainya.

Setelah mengetahui bagaimana dan apa masyarakat Madani dam perspektifnya mengenai al-Qur’an dan al-Sunnah, di akhir tulisan ini penulis akan memaparkan beberapa poin tentang perspektif masyarakat madani tengang Ijtihad. Peran ijtihad dalam perkembangan Hukum Islam di tengah masyarakat madani setidaknya mempunyai beberapa fungsi (1) Agar hukum Islam dapat ditetapkan secara fleksibel sehingga tidak kaku sehingga dengan perkembangan zaman. Hal ini dapat memudahkan penerapan ajaran Islam menurut situasi dan kondisi yang ada. Fungsi yang ke (2) adalah dapat mengembangkan intelektualitas umat Islam sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan yang ke (3) adalah dapat meningkatkan dinamika masyarakat Islam yang heterogen, namun senantiasa hidup toleran dengan ukhuwah Islamiyah.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Demikianlah khotbah singkat kali ini, semoga hal ini dapat menjadi bahan renungan yang mendalam, bagi kita semua amin.

بارَكَ اللهُ لِي ولَكُمْ فِي الْقُرْءانِ الْعَظِيمِ  ونَفَعَنِي وإِيَّاكُمْ مِنَ الْآياتِ  وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ أَقُلُ قَوْلِي  هذا وَأَسْتَغفِرُ اللهَ لِيْ ولَكُمْ ولِجَمِيعِ الْمٌسلِمِين فاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّه تعالى جَوادٌ كَرِيمٌ مَلِكُ بَرٌّ رَءُوْفٌ رَحِيمٌ.

KHUTBAH 2

سَيِّدُ الْإِنْسِ والْبَشَرِ.اللَّهمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ على سيِّدِنا على عَبْدِكَ  ورَسُولِك محمَّدٍ وآلِه وصَحْبِه مَااتَّصَلَتْ عَينٌ بِنَظَرٍ وأُذُنٌ بِخَبَرٍ. ( أمّا بعدُ ) فيَآايُّهاالنّاسُ اتَّقُوا اللهَ تعالى وَذَرُوا الْفَواحِشَ ما ظهَرَ مِنْها وما بَطَنَ وحافَظُوا على الطَّاعَةِ وَحُضُورِ الْجُمُعَةِ والجَماعَةِ . وَاعْلَمُوا  أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ  فِيه بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلائكةِ قُدْسِهِ. فَقالَ تعالى ولَمْ يَزَلْ قائِلاً عَلِيمًا: إِنَّ اللهَ وَملائكتَهُ يُصَلُّونَ على النَّبِيِّ يَآ أَيّها الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا اللَّهمَّ صَلِّ وسَلِّمْ على سيِّدِنا محمَّدٍ وعلى آلِ سيِدِنَا محمَّدٍ  كَما صَلَّيْتَ على سيِّدِنا إِبراهِيمَ وعلى آلِ سيِّدِنَا إِبراهِيمَ في الْعالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. اللَّهمَّ وَارْضَ عَنِ الْخُلَفَاء الرّاشِدِينَ الَّذينَ قَضَوْا بِالْحَقِّ وَكانُوا بِهِ يَعْدِلُونَ أَبي بَكْرٍ وعُمرَ وعُثْمانَ وعلِيٍّ وَعَنِ السَتَّةِ الْمُتَمِّمِينَ لِلْعَشْرَةِ الْكِرامِ وعَنْ سائِرِ أَصْحابِ نَبِيِّكَ أَجْمَعينَ وَعَنِ التَّابِعِينَ وتَابِعِي التَّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسانٍ إِلَى يَومِ الدِّينِ. اللَّهمَّ لا تَجْعَلْ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ فِي عُنُقِنَا ظَلَامَة ونَجِّنَا بِحُبِّهِمْ مِنْ أَهْوالِ يَومِ الْقِيامَةِ. اللَّهمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ والمُسلمينَ وأَهْلِكِ الْكَفَرَةَ والمُشْركِينَ. ودَمِّرْ أَعْداءَ الدِّينِ. اللَّهمَّ آمِنَّا فِي دُوْرِنا وأَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُورِنا. وَاجْعَلِ اللَّهمَّ وِلَايَتَنا فِيمَنْ خافَكَ وَاتَّقَاكَ  اللَّهمَّ آمِنَّا فِي دُوْرِنا وأَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُورِنا. وَاجْعَلِ اللَّهمَّ وِلَايَتَنا فِيمَنْ خافَكَ وَاتَّقَاكَ

DOA KHUTBAH

اللَّهمَّ اغْفِرْ لِلمُسلِمينَ والمُسلماتِ والمُؤْمنينَ والمُؤْمِناتِ الْأَحْياءِ مِنْهُمْ والْأَمْواتِ بِرَحْمَتِكَ يَا وَاهِبَ الْعَطِيَّاتِ. اللَّهمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ والوَباءَ والزِّنا والزَّلَازِلَ وَالمِحَنَ وَسُوءَ الفِتَنِ ما ظَهَرَ مِنْها وما بَطَنَ عَنْ بَلَدِنا هَذا خاصَّةً وعَنْ سائِرِ بِلَادِ الْمُسلمينَ عامَّةً يا رَبَّ الْعَالَمِينَ.رَبَّنا آتِنا في الدّنيا حَسَنَةً وَفي الآخرة حَسَنَةً  وقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبادَ اللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ والْإِحْسان وإِيتاءَ ذِي الْقُرْبَى  ويَنْهَى عَنِ الْفَحْشاءِ والْمُنْكَرِوَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ العَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوهُ على نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَكْبَرُ.

_________________________
Oleh:  Dr. KH. Zakky Mubarak, MA