Menjadi Pribadi yang Optimis

 
Menjadi Pribadi yang Optimis
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Kelemahan diri dan kondisi kehidupan yang buruk (bad situation) akan rentan membuat seseorang menjadi pesimis. Lemahnya ilmu, iman dan amal, ditambah lagi berbagai kesusahan hidup seperti sakit, tak punya uang, PHK dan susah mencari pekerjaan seringkali mendatangkan rasa putus asa, takut, sedih dan gundah. Maka terkait hal itu Allah SWT memberikan motivasi dengan firman-Nya:

وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

Artinya: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali-Imran: 139)

Dalam ayat ini Allah SWT memberikan semangat bagi siapa saja yang sedang mengalami keterpurukan dalam menghadapi permasalahan hidup. Allah melarang kita bersikap lemah dan bersedih hati terhadap kesulitan dan kegagalan hidup. Bahkan dalam kata antum al-a’launa pada ayat ini, menunjukkan bahwa orang yang beriman dan sanggup bertaqwa akan Allah berikan kesuksesan dan kebahagiaan dalam hatinya.

Hal ini sebagaimana kisah kekhawatiran yang menimpa Abu Bakar Shiddiq r.a di dalam Gua Tsur, ia bersama baginda Nabi Muhammad SAW, bersembunyi dari kejaran orang-orang Quraisy. Dari dalam gua, ia melihat beberapa pengejar dengan pedang terhunus. Seandainya mereka melihat ke dalam lubang gua, tentu Abu Bakar dan Nabi Muhammad terlihat dan ditangkap.

Abu Bakar tak bisa menahan kesedihan dan ketakutan itu dan mengungkapkannya kepada baginda Nabi SAW. Namun, bukan perasaan gentar yang dilontarkan Rasul atas perasaan Abu Bakar. Sebaliknya, Rasulullah SAW menegaskan, “Abu Bakar, jangan takut dan khawatir sesungguhnya Allah bersama kita.” Kisah ini diabadikan Allah dalam Al-Qur’an:

 إِذۡ هُمَا فِي ٱلۡغَارِ إِذۡ يَقُولُ لِصَٰحِبِهِۦ لَا تَحۡزَنۡ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَنَاۖ

Artinya: “Ingatlah ketika kedua didalam gua itu. Ketika berkata kepada temannya (saudaranya), ‘Janganlah engkau bersedih. Sesungguhnya Allah bersama kita.’” (QS. At-Taubah: 40)

Dengan Allah melarang agar kita tidak lemah dan bersedih hati, sesungguhnya Allah menghendaki kita untuk menjadi pribadi yang optimis. Hal ini telah dibuktikan oleh Rasul kepada Abu Bakar r.a agar tidak sedih dan takut dengan kesulitan yang mereka hadapi.

Rasulullah SAW bersabda:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكِ، وَ اسْتَعِنْ بِاللّٰهِ وَلَا تَعْجَزْ

“Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah kepada Allah. Dan jangan kamu berlaku lemah.” (HR. Muslim)

Rasulullah sangat memuji sikap optimis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sikap optimis dimaknai dengan orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal.

Dalam bahasa Arab sendiri, sikap optimis dinamai dengan al-fa’i atau at-tafa’ul, yang berarti pandangan positif terhadap apa yang sedang, sudah, atau akan terjadi. Hal senada, Seligman seorang pakar psikologi positif juga menjelaskan bahwa optimisme adalah kebiasaan berpikir positif yang dilihat melalui gaya penjelasan (explanatory style) individu terhadap peristiwa yang dialami atau yang belum dialami.

Dalam Islam optimisme berarti berpikir positif, yaitu percaya kepada Allah dan diri sendiri. Jika sikap ini berkembang dalam setiap diri, seseorang akan selalu berbaik sangka kepada Tuhannya, lalu bergerak berusaha mencapai apa yang dicita-citakan hingga akhirnya terwujud.

Ciri-ciri orang optimis, yaitu memiliki pengharapan tinggi, tidak mudah putus asa, mampu memotivasi diri, merasa banyak akal untuk menemukan cara meraih tujuan, percaya diri tinggi, tidak bersikap pasrah, dan memandang kegagalan sebagai hal yang dapat diubah, bukan dengan menyalahkan diri sendiri.

Dalam Islam, orang yang optimis adalah orang yang berusaha keras mencapai tujuannya dan keluar dari permasalahannya, tidak takut akan usaha yang sia-sia, dan yakin terhadap keberhasilan di masa depan seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran.

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ

Artinya: “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah: 7)

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

اِنَّمَآ اَمْرُهٗٓ اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔاۖ اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ

Artinya: “Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Yasin: 82)

Lebih jauh, Seligman menjelaskan ada tiga dimensi yang dapat dilihat dari pribadi yang optimistik, yakni:

Dimensi Permanence (keabadian)

Orang yang optimis, akan meyakini bahwa peristiwa baik (good situation) akan selalu terjadi dikemudian hari, dan peristiwa buruk (bad situation) hanya terjadi sementara waktu. Pada dimensi ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang berbunyi:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا، إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

Artinya: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6)

Dimensi Pervasiveness (keluasan)

Dalam peristiwa baik (good situation), orang optimis akan menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor yang bersifat universal atau menyeluruh. Pada dimensi ini seseorang yang optimis selalu meyakini bahwa ia tidak hidup sendiri, melainkan banyak orang yang bisa membantu kesulitan kita, terutama Allah SWT yang ada dalam kondisi apapun dan di mana pun kita berada. Sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:

لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا

Artinya: “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40)

Dimensi Personalization (kepribadian)

Orang yang optimis akan meyakini dan menjelaskan bahwa peristiwa baik (good situation) seperti keberhasilan dikarenakan usaha dan perjuangan dirinya. Orang yang optimis akan meyakini bahwa keberhasilan yang dicapai dikarenakan Allah dan usaha mereka sendiri. Pada dimensi ini selaras dengan firman Allah SWT yang berbunyi:

 إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Qs. Ar-Ra’du: 11)

Bila Allah menetapkan takdirnya, maka “Malang tak dapat ditolak, mujur pun tak dapat diraih”, seseorang harus ikhlas menjalani sehingga bisa berdamai dengan keadaan. Bersikap optimis menjadi mulia karena pada sisi lain beriman kepada Allah dan siap dengan apapun yang terjadi dalam hidupnya, namun pada sisi yang lain optimisme mengajarkan keyakinan bahwa masa depan itu akan selalu indah sepanjang kita tetap mau berusaha dan berdoa serta mendekatkan diri kepada-Nya.

Tinimbang orang pesimis yang fatalistic menganggap bahwa dirinya lemah dan tak berdaya, tapi juga menafikan Tuhan serta orang lain karna putus harapan tidak bisa menolong dirinya. Maka pantas saja Allah SWT memberikan pernyataan:

قَالَ وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِۦٓ إِلَّا ٱلضَّآلُّونَ

Artinya: “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr: 56)

Dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda:

لَا عَدْوَى، وَلَا طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِيْ الْفَأْلُ

“Tidak ada penyakit yang menular sendiri dan tidak ada kesialan, optimis membuatku kagum.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Hulaimi rahimahullah mengatakan,

“Nabi SAW suka dengan optimisme, karena pesimis merupakan cermin persangkaan buruk kepada Allah tanpa alasan yang jelas. Optimisme diperintahkan dan merupakan wujud persangkaan yang baik. Seorang mukmin diperintahkan untuk berprasangka baik kepada Allah dalam setiap kondisi.” (Fathul Bari`, 10/226)

Nyatakan dirimu menjadi pribadi yang optimis!

“Aku lelah namun akan tetap berusaha. Aku sedih tetapi aku harus bekerja. Aku menangis namun harus bahagia, Aku gagal namun aku harus menjadi orang yang sukses.”

Oleh: Rakimin Al-Jawiy, S.Pd.i., M.Si., Dosen Psikologi Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Editor: Daniel Simatupang