Ringkasan Pemikiran Fakhr Ar-Razi

 
Ringkasan Pemikiran Fakhr Ar-Razi
Sumber Gambar: Syihabussaybani

Laduni.ID, Jakarta – Perbedaan persepsi tentang Tuhan antara Ibnu Sina dan al-Razi dimulai dari perspektif keduanya tentang sifat. Untuk memfokuskan pendapat al-Razi dalam konsep Tuhan, maka akan penulis fokuskan menjadi dua titik atau pokok pembahasan yaitu:

1. Teori Gerak (Kausalitas)

Teori gerak al-Razi, bisa dikatakan sebagai bentuk kritikan terhadap teori Ibnu Sina mengenai emanasi. Tuhan sebagai Prima Kausa tidak ditolak oleh al-Razi, namun lain halnya dengan ungkapan “alam ada bersamaan dengan Tuhan”.

Dalam menanggapi hal ini, al-Razi menyebutkan adanya faktor yang terlupakan oleh Ibnu Sina, yaitu, iradah Tuhan dalam menentukan waktu yang tepat untuk menciptakan alam. Logikanya al-Razi menilai bahwa kausalitas Ibnu Sina telah menafikan kemungkinan adanya perubahan di alam. Sebab sebagaimana dikemukakan Ibnu Sina, bahwa kausa yang sama akan selalu melahirkan akibat yang sama.

Padahal sebagaimana yang terjadi, perubahan di alam tetaplah terus menerus terjadi. Sebagaimana terjadinya segala kejadian dengan sebab yang berbeda-beda, namun berakibat sama ataupun sebaliknya. Jika seandainya hal ini diterima, maka ia akan tetap melahirkan sebuah penjelasan yang absurd tentang konsep “sebab awal tanpa penyebab lain”.

Sebab, merupakan suatu kemustahilan dalam perspektif Ibnu Sina, bagi Yang Maha Esa untuk berinteraksi dengan yang tidak Esa. Padahal, ia sendiri menyatakan bahwa bumi ini terlahir dari akal yang kesepuluh. Artinya, proses kelahiran alam adalah melalui media-media dalam hierarki emanasinya.

Lebih lanjut, akan terjadi penafian sifat berkehendak Allah, yang secara tidak langsung akan mengerucut kepada pernyataan bahwa Allah bukanlah Sang Pencipta. Hal ini bertolak belakang dengan statemen Ibnu Sina sendiri,

“Meskipun kami tidak mengatakan bahwa Tuhan adalah yang berkehendak atas kebermulaan alam, dan bahwa alam semesta memiliki awal dalam kalkulasi rangkaian waktu, kami pun mengatakan bahwa alam semesta adalah karya-Nya, dan bahwa alam berasal dari-Nya. Namun, yang ingin kami katakan ialah bahwa Dia masih tetap mempunyai sifat yang dimiliki oleh para pelaku. Maka Dia masih tetap merupakan seorang pelaku (fa’il). Tetapi di luar semua ini, kami tidak sepakat dengan yang lain. Sejauh pertanyaan fundamental ‘apakah merupakan karya Tuhan’ diperhatikan, mutlak tak ada perbedaan pendapat. Apabila telah disepakati bahwa seorang pelaku harus mengetahui pekerjaannya, maka semuanya menurut keyakinan kami – berasal dari karya-Nya.”

Dalam teori atomnya sendiri, al-Razi menolak kekekalan alam. Ia menambahkan bahwa alam adalah sekumpulan jawhar dan aksiden-aksiden yang membentuk suatu jism. Keberadaan atom tidak dapat bertahan lebih dari sesaat, karenanya atom selalu ada dan lenyap. Sederhananya, bahwa terwujudnya sesuatu di dunia ini karena adanya kekuasaan Tuhan. Di sini Tuhan selalu mencipta.

Segala makhluk-Nya mempunyai ukuran dan aturannya masing-masing, dalam artian, bahwa pada hakikatnya jism itu berasal dari sekumpulan atom yang tak terbagi lagi, yang berada pada ilmu Tuhan dan kemudian ber-determinasi pada benda-benda. Sehingga mewujud secara nyata serta memiliki bagian-bagian, kesemuanya tunduk atas ketentuan Tuhan. Dengan kata lain, keberlangsungan alam secara mutlak berada di tangan Tuhan.

Bagi al-Razi penggerak yang hanya diam tanpa bergerak merupakan kondisi yang tidak seharusnya disematkan kepada Tuhan. Alasannya meskipun tujuan awal dari konsep tersebut adalah tanzih, namun ia tampak menempatkan Tuhan menjadi sesuatu yang begitu transenden, dan pada saat bersamaan menjadi tidak mengetahui yang partikular dan memerlukan media-media untuk mengatur alam.

Lebih lanjut al-Razi menilai bahwa teori gerak (kausalitas) Ibnu Sina telah menafikan kemungkinan adanya perubahan di alam dan menempatkan alam sebagai kekal menemani kekekalan Tuhan. Hal semacam ini secara tidak langsung menjadi ‘boomerang’ bagi tanzih itu sendiri.

2. Titik singularitas

Al-Razi telah menekankan arti pentingnya kausalitas untuk memahami fenomena alam, namun, tidak ada jaminan kalau kausalitas juga berlaku bagi Tuhan. Sebab, kausalitas (sunnatullah) merupakan sebuah sistem yang berfungsi menjaga keteraturan alam, tetapi ia tidak mutlak sampai menghalangi qudrah dan iradah Allah.

Dengan kata lain, segala sesuatu memang terjadi dengan sebabnya masing-masing, namun ada faktor “X” yang memegang kendali kesemuanya itu. Faktor tersebut adalah Tuhan dengan qudrah dan iradah-Nya. Oleh karena itu, tidak mustahil jika dalam suatu ketika terjadi perkara-perkara yang secara logis bertentangan dengan konsepsi kausalitas, seperti halnya mukjizat para nabi dan rasul. Memutlakkan prinsip kausalitas, sama halnya dengan ingin menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya.

Hal ini berarti membatasi qudrah Allah, yang tentu saja sangat bertolak belakang dengan konsepsi keesaan-Nya. Salah satu bentuk pembatasan tersebut adalah pernyataan bahwa emanasi adalah konsekuensi logis dari proses ta’aqqul. Jika kehendak Tuhan menjadi terbatas, maka itu sama artinya dengan mengatakan Tuhan tidak absolut. Jika demikian, apakah Dia masih bisa disebut sebagai Tuhan?

Lebih lanjut, al-Razi menegaskan bahwa Tuhan dapat meniadakan dan menciptakan dalam sekejap. Karena itu, tidak mungkin dunia ini berjalan dengan teratur hanya karena mengikuti hukum-hukum fisika. Tidak mungkin juga terjadi kesinambungan antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lainnya dengan bersandar kepada teori sebab akibat. Satu perbuatan tidaklah secara pasti menyebabkan akibat tertentu.

Singkatnya menurut al-Razi, Tuhanlah yang menjadi Penyebab semua peristiwa dan fenomena fisik dan terus menerus campur tangan di alam. Sebagaimana al Ghazali, al-Razi lebih jauh menjelaskan bahwa secara umum dalam proses penciptaan alam ini tergantung pada iradah Allah sebagai sebab dari penciptaan alam ini, alias alam ini dari creation ex nihilo.

Argumentasi bahwa emanasi merupakan konsekuensi logis dari ta’aqqul, secara tidak langsung telah menafikan Prima Kausa yang Ibnu Sina canangkan sendiri. Karena itu, emanasi merupakan sebuah konsepsi yang kontradiktif.

Di satu sisi Ibnu Sina menyatakan Tuhan sebagai Prima Kausa, di lain pihak ia memarginalkan qudrah dan iradah Tuhan itu sendiri. Al-Razi memandang berbeda dengan bagaimana Ibnu Sina menilai. Baginya, titik singularitas adalah titik di mana Tuhan menciptakan makhluk dari ketiadaan. Dengan demikian, terjadi proses penciptaan semesta terus-menerus (creatio continua).

Dalam creatio continua ini, al-Razi menjelaskan pendapatnya melalui teori jauhar (atom) dan ‘ard (aksiden). Keduanya secara kontinu mengalami serangkaian proses penciptaan, penghancuran, ataupun pemusnahan.

Ketika Tuhan menciptakan atom suatu makhluk, Dia juga menciptakan bersamanya aksiden-aksiden yang menegaskan wujud atom itu. Adapun saat atom-atom itu lenyap, Tuhan menggantinya dengan jenis yang sama, selama Tuhan menghendakinya untuk tetap ada. Sehingga, kehendak Tuhan tetaplah menjadi faktor utama dalam penciptaan dan keberlangsungan alam ini.

Logika inilah yang menurut penulis paling dekat dalam menjelaskan mukjizat. Jika Tuhan menginginkan suatu mukjizat terjadi, maka Tuhan cukup secara serentak menggantikannya dengan atom dan aksiden-aksiden penyusun benda tersebut. Sebagaimana yang terjadi dari berubahnya tongkat menjadi ular dan Nabi Ibrahim yang tidak terbakar. Dalam teori atom ini, alam didefinisikan sebagai suatu hal yang tersusun dari kumpulan atom dan aksiden-aksiden.

Oleh: Gus Firmansyah Djibran El'Syirazi


Editor: Daniel Simatupang