Telaah Integrasi Aqidah dan Akhlak Menurut Imam Ghazali

 
Telaah Integrasi Aqidah dan Akhlak Menurut Imam Ghazali
Sumber Gambar: Dok. Pribadi Gus Djibran sedang di depan Makam Imam Ghazali Rahimahullah (Syukuran Hari santri 22 oktober 2021)

Laduni.ID, Jakarta – Di dalam konsep akhlak Al-Ghazali, dia tidak menyebutkan secara lansung adanya integrasi antara konsep akhlaknya dengan aqidah Islamiyyah. Namun, hal itu bisa secara jelas kita simpulkan dengan berbagai pembahasan yang ada dalam konsep akhlak Al-Ghazali.

Akhlak adalah bagian dari iman dan ketundukan kepada syari’at Nabi Muhammad SAW dengan melakukan berbagai amal ibadah yang disyariatkannya. Hal ini seiring dengan pernyataan bahwa akal dan syari’at itu saling melengkapi. Akal saja tidak cukup dalam kehidupan moral dan begitu pula wahyu, keduanya haruslah dipertemukan.

Akhlak merupakan manifestasi iman, pengakuan keimanan meniscayakan lahirnya perilaku yang tidak bertentangan dengan konsep iman. Sehingga perilaku seperti bohong dalam berbicara, tidak menepati janji, mengkhianati sebuah amanah yang diembankan kepadanya, atau keterlaluan dalam menyikapi sebuah permusuhan, merupakan sikap-sikap yang bertentangan dengan karakter iman, sehingga disebut sebagai ciri-ciri kemunafikan. Karena itu, pengakuan iman meniscayakan lahirnya akhlak yang mulia.

Perilaku akhlak yang mulia itu diakui oleh Rasulullah SAW sebagai bagian dari Iman.

“Iman terdiri dari 69 atau 79 bagian. Bagian paling utama adalah mengucapkan laa ilaaha illallaah. Bagian paling rendah membuang benda yang bisa mencelakakan dari jalan. Dan malu bagian dari iman.” (HR. Muslim)

Semakin serius bagian-bagian iman itu diwujudkan dalam diri seseorang, semakin sempurna imannya. Sehingga dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baiknya kalian adalah orang yang akhlaknya paling baik terhadap istrinya.” (HR Tirmidzi: 1162)

Akhlak merupakan manifestasi ibadah karena ibadah-ibadah yang diajarkan dalam Islam bukan ritual aneh yang menghubungkan manusia dengan alam ghaib yang tidak bisa diketahui, dengan praktik dan gerakan-gerakan yang tidak memiliki makna. Kewajiban-kewajiban yang dibebankan Islam kepada para penganutnya merupakan latihan-latihan spiritual dan moral yang terus diulang-ulang, tujuannya agar mensucikan dirinya, terbiasa hidup dengan konsisten menjalankan akhlak mulia (Al-Ghazali).

Perilaku manusia dalam Islam memiliki konsep bahwa Allah SWT adalah pencipta semua tindakan hamba-hamba-Nya, baik yang beriman maupun yang kafir, yang taat maupun yang ingkar, semuanya terjadi karena kehendak Allah. Sedangkan hamba-hamba-Nya memiliki pilihan (ikhtiar) yang menyebabkan mereka diberi pahala ataupun azab. Semua kebaikan yang mereka lakukan akan dibalas dengan kebaikan di sisi Allah SWT, dan semua kejahatan yang mereka lakukan tidak akan dibalas dengan kebaikan di sisi-Nya (Fazlur Rahman, 1967).

Menurut Sayyed Hossein Nasr, manusia berhutang wujud kepada penciptanya. Pandangan mengenai keberhutangan manusia dengan Tuhan merupakan salah satu unsur paling penting dalam pemahaman dan kehidupan beragama secara Islami. Kondisi keberhutangan ini mencegahnya dari menganggap diri, kehidupan, dan tubuhnya sebagai miliknya yang dapat dipakai semaunya.

Akhlak pada gilirannya merupakan keniscayaan dari akidah dan syari’ah tadi. Karena ketika akidah melahirkan ketundukan kepada syari’ah, ketika itu akan lahir akhlak. Sebab akhlak merupakan respon psikis terhadap apa yang harus dia lakukan sehingga melakukannya, dan terhadap apa yang tidak boleh dilakukan sehingga dia meninggalkannya. Bahkan dalam hadis diterangkan, bahwa Nabi Muhammad diutus untuk memperbaiki akhlak, “Sesungguhnya aku diutus untuk melengkapi akhlak-akhlak yang mulia.” (HR. Al-Hakim)

Seolah-olah, risalah yang menentukan perjalanan hidup manusia dan pembawanya memaksimalkan segenap kemampuannya untuk mendakwahkannya. Serta mengumpulkan orang-orang di sekitarnya tidak lebih dari memperkuat kemuliaan atau keutamaan mereka dan menunjukan jalan menuju cakrawala kesempurnaan di hadapan mereka, sehingga mereka dapat menapakinya dengan penuh kewaspadaan.

Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari memperjelas bahwa tauhid mewajibkan wujudnya iman. Maka barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syari’at, maka barangsiapa yang tidak ada syari’at padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syari’at mewajibkan adanya adab, maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya) tiada syari’at, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.

Teori integrasi antara aqidah dan akhlak bisa kita lihat salah satunya dalam pendidikan akhlak Ghazali. Dia menjelaskan terdapat tiga dimensi dalam pendidikan akhlak yaitu:

1. Dimensi diri, yaitu dirinya dengan Tuhannya

2. Dimensi sosial, yakni masyarakat, pemerintah, dan pergaulan dengan sesamanya

3. Dimensi metafisik, yakni aqidah dan pegangan dasar

Disini secara jelas dapat kita simpulkan bahwa melalui dimensi-dimensi yang berhubungan dengan Tuhan dan metafisik dapat menjadi sebuah pendidikan terhadap akhlak. Bahkan lebih jauh Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa fungsi akhlak adalah sebagai alat untuk ikut mendukung fungsi tertinggi jiwa dalam mencapai kebenaran tertinggi, ma’rifat Allah, yang di dalamnya manusia dapat menikmati kebahagiaan.

Adapun kebahagiaan yang diharapkan oleh jiwa manusia adalah terukirnya dan menyatunya hakikat-hakikat ketuhanan di dalam jiwa sehingga hakikat-hakikat tersebut seakan-akan jiwa itu sendiri.

Oleh: Gus Firmansyah Djibran El'Syirazi B.Ed, Lc