Asketisme Manusia Jawa

 
Asketisme Manusia Jawa
Sumber Gambar: Ilustrasi/BorobudurNews

Laduni.ID, Jakarta – Berbicara tentang manusia Jawa dan lebih spesifik mengenai tradisi kebatinannya di era saat ini dan juga sedikit meneropong ke dalam jejak-jejak kebatinan Jawa Wiwitan/Awal. Ada sesuatu yang sangat khas, yang begitu berbeda dengan tradisi kebatinan dari berbagai belahan dunia yang lain. Seperti misalnya dengan tradisi kebatinan di Tibet, Bhutan, Thailand, Myanmar, Nepal, dan juga di India.

Di negara-negara yang saya sebutkan itu, tradisi kebatinan masyarakatnya terpolarisasi secara formalistik dalam dua bagian yang tegas, yaitu kaum awam atau "Perumah Tangga" dan kaum rahib atau "Pertapa".

Kaum Perumah Tangga pada umumnya adalah orang-orang yang awam mengenai laku-laku kebatinan dan seluk beluk pengetahuan batin. Mereka seperti manusia pada umumnya yaitu menikah dan bekerja mencari nafkah. Hidup mereka lebih diarahkan hanya semata untuk fokus dan bekerja pada perkara-perkara yang sekuler/keduniawian semata. Untuk itu soal kebatinan, soal spiritualitas mereka serahkan sepenuhnya pada otoritas kaum Pertapa.

Sementara mengenai kaum Pertapa adalah orang-orang yang dipandang expert (pakar) dalam laku-laku kebatinan dan seluk beluk pengetahuan batin. Hidup mereka haram untuk diorientasikan pada mencari nafkah dan hal-hal duniawi (sekuler), mereka harus selibat, haram untuk menikah atau sekadar berhubungan seks. Itu sebabnya mengenai penghidupan (makan dam minum) mereka bergantung sepenuhnya pada sumbangan kaum Perumah Tangga.

Jadi dengan demikian ada sebuah kesenjangan kebatinan/spiritualitas yang sangat besar dalam negara-negara dengan akar tradisi kebatinan semacam itu. Atau sedikit meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Karl Marx, mungkin sistem masyarakat seperti itu menciptakan kelas "Proletar Spiritual" dan kelas "Borjuis Spiritual", yang salah satu kelas menghisap/mengeksploitasi kelas yang lain.

Jika dalam Marxisme dikatakan kaum kaya Borjuis yang karena punya modal lahan/alat-alat industri mereka bisa memanfaatkan (baca: memperbudak) kaum miskin Proletar yang tidak memiliki modal lahan/alat-alat industri dan hanya semata punya tenaga. Maka kiranya hubungan kelas Proletar Spiritual dan kelas Borjuis Spiritual pun juga mirip-mirip seperti itu.

Kelas Borjuis Spiritual (Pertapa) karena mempunyai modal pengetahuan spiritual mereka bisa memanfaatkan atau bahkan membodohi kaum Proletar Spiritual (Perumah Tangga) yang tidak mempunyai modal dalam akses pengetahuan spiritual yang memadai dan semata mereka hanya memiliki harta benda untuk disumbangkan.

Lalu bagaimanakah dengan bangunan spiritualitas masyarakat Jawa dahulu kala, apakah masyarakat Jawa juga memiliki pondasi ajaran asketisme (pertapaan) yang polaritatif formal semacam itu?

Sejauh pembacaan saya, sebelum era masuknya Buddhisme dan beberapa sub varian Hinduisme di bumi Nusantara, tidak pernah tercatat manusia Jawa mempunyai bangunan sistem baku yang menciptakan dua kelas baku seperti itu.

Tidak pernah tercatat manusia Jawa awal menciptakan sistem asketik selibat yang menggantungkan kehidupan sepenuhnya pada masyarakat biasa yang non pertapa. Juga tidak pernah menciptakan institusi pertapaan yang tercerabut sepenuhnya dari 'bebrayan agung' (kehidupan masyarakat), serta bangunan spiritual Jawa juga tidak pernah menciptakan sistem yang mengarahkan masyarakat yang non pertapa benar-benar awam soal kebatinan, soal spiritualitas

Pulau Jawa memang sejak dahulu kala dipenuhi oleh atmosfer pertapa atau manusia-manusia asketik, namun asketisme asli Jawa berbeda sekali dengan asketisme selibat Sangha Buddhisme maupun kerahiban Kristen Katolik yang sangat formalistik itu.

Meski begitu, bangunan spiritual masyarakat "Jawa Awal" pun juga berbeda dengan pandangan dari dunia Islam yang mewajibkan seseorang untuk menikah dan tidak boleh berselibat.

Jadi dalam bangunan spiritual "Jawa Awal", manusia mau menjalani laku asketisme dengan metode selibat ya silahkan, mau laku asketisme dengan tetap menjalani bebrayan agung atau sosial bermasyarakat ya silahkan. Intinya tidak pernah ada perintah untuk "selibat" atau tidak "selibat", juga tidak pernah ada larangan untuk memilih "tidak menikah" atau "menikah".

Bangunan spiritualisme "Jawa Awal" itu luwes dan demokratis. Sedikit meminjam bahasa Arab, bangunan spiritual masyarakat Jawa itu sejatinya bisa dinamai dengan "Umatan Wasathan", yang berarti umat yang berada di tengah-tengah (moderat).

Dalam spiritualitas tidak ekstrim saklek memilih selibat, tidak ekstrim sekuler juga dengan berpoligami atau memperbanyak pasangan. Singkatnya spiritualisme Jawa itu 'sak madyo', tidak mengingkari naluri biologis, tetapi juga tidak menganut ideologi seks ugal-ugalan.

Oleh sebab itu tidaklah heran jika di masa Jawa kuno ajaran Tantrisme Hindu yang berfilsafat spiritual Lingga Yoni dan Non Kerahiban menjadi agama mayoritas masyarakat Jawa kala itu, dan Sufisme Islam yang juga tidak mempunyai sistem baku mengenai kerahiban juga menjadi agama mayoritas masyarakat Jawa sejak pasca keruntuhan Majapahit hingga sampai saat ini.

Bagaimanapun harus diakui, di dalam kedua ajaran spiritual yang berbeda tradisi itu ada keselarasan dengan bangunan spiritual asli Jawa yang tidak menafikan dan memusuhi dengan bengis eksistensi nafsu (hasrat seks) yang ada dalam kedirian manusia. Alih-alih pandangan asketisme Jawa menerima fakta bahwa nafsu adalah anasir mutlak yang berkelit kelindan dan menjadi bagian dalam diri manusia. Dan ia ada untuk ‘dikelola’ dengan manajemen batin, bukan untuk sekonyong-konyong diingkari dan dimusnahkan.

Spiritual Jawa juga tidak mencontohkan mengumbar sesuatu yang disebut nafsu itu dengan kebebasan yang ugal-ugalan, sebagaimana dalam agama Charvaka India atau Ateistik Barat. Asketisme manusia Jawa adalah asketisme tapa ngrame, tetap menjalani kehidupan di bumi sosial kemasyaratan, tetapi di satu sisi tetap tidak meninggalkan laku-laku batin yang ada di duniawi.

Oleh karena itu dalam pandangan sebagaian besar manusia asketis Jawa, ia tidak ketakutan kehidupan rohaninya akan jatuh manakala menjalani kehidupan rumah tangga dan mengarungi bebrayan agung.

Jadi alih-alih seperti agama-agama asketisme pada umumnya yang beranggapan perempuan (atau sebaliknya laki-laki) dan kerumunan masyarakat sebagai penghalang dalam kehidupan rohani dan laku-laku spiritual, Asketisme Spiritual Jawa dengan laku Tapa Ngrame (bertapa di keramaian) lebih memandang pasangan hidup dan kerumunan masyarakat sebagai kawah candradimuka dalam kehidupan rohani dan laku-laku spiritual.

Dan kiranya juga menarik manakala kita menenggok gagasan-gagasan salah satu guru spiritual dunia di abad 20, Master Osho.

Master Osho ini sendiri meski berasal dari latar belakang agama asketis paling ekstrim yaitu Jainisme, bahkan juga mengkritik habis-habisan para pemuka agama yang selibat, beliau dengan ketus bahkan mengatakan yang pada intinya; Kerahiban itu adalah sejenis kehidupan yang parasit.

Menolak dunia dan bertapa di puncak Himalaya atau di hutan belantara itu hal biasa dan banyak para pengecut yang melakukannya, semata karena ketakutan menghadapi problema dunia.

Yang luar biasa itu manakala kita bisa seperti pohon teratai, akarnya tetap menancap di lumpur duniawi tetapi bunganya tetap suci dari kemelekatan noda lumpur duniawi.

Pada realitanya, laku tapa di pengasingan sunyi itu memang hebat, tetapi jauh lebih hebat lagi manakala kita sanggup menjalani laku tapa ngrame di dunia.

Dan sebagai antitesis terhadap kehidupan selibat kebiarawanan itu, Master Osho menggagas perkumpulan “Zorba Buddha”, suatu model kehidupan spiritual yang berdasarkan pada dialektik harmoni antara keceriaan tawa sekuleris Zorba dan keheningan tapa meditasi Buddha, antara kecerdasan analitik filsafat Yunani yang bertemu dan bersatu dengan pencerahan batin universal Zen Buddhisme, serta antara segenap kejayaan material yang bisa bersenggama sempurna dengan keagungan benteng spiritual.

Sesungguhnya apa yang digagas oleh Master Osho mengenai Zorba Buddha itu mirip dan selaras dengan bangunan lelakon Tapa Ngrame yang sudah dijalani sealama ribuan tahun oleh manusia Jawa.

Di mana pondasi lelaku batin mampu selaras dengan segenap aspek keduniawian.

Sebab dalam epistomologi Asketisme Jawa, tujuan puncaknya di satu aspek adalah untuk menyadari Sangkan Paraning Dumadi (Keilahian) dan di satu aspek lainnya adalah untuk Memayu Hayuning Bawono atau Mempercantik Peradaban. Untuk dua tujuan besar itulah, bangunan Spiritual atau Asketisme Jawa menggabungkan aspek Tapa (Spiritual) dan Ngrame (Sosial) menjadi Manunggal (Bersatu).

Oleh: Alvian Fachrurrozi

Ngawi, 21 Agustus 2021


Editor: Daniel Simatupang