Gus Nadir: Qurban dan Tradisi (bagian 1)

 
Gus Nadir: Qurban dan Tradisi (bagian 1)
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Kurban merupakan tradisi dari Nabi Ibrahim yang kemudian kita (umat Islam) ikuti. Sebenarnya tradisi berkurban ini bisa dilacak sampai ke belakang jauh sebelum Nabi Ibrahim, yaitu tepatnya pada kisah Habil-Qabil, putra Nabi Adam.

Al-Qur’an mengisahkan:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَقِّۘ اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِۗ قَالَ لَاَقْتُلَنَّكَ ۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ

Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah dua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia (Qabil) berkata, ‘Aku pasti membunuhmu!’ Berkata Habil, Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah: 27)

Dalam kitab Tafsir Ibn Katsir dikisahkan bahwa Habil seorang peternak dan mengurbankan domba gemuk yang sehat. Sedangkan Qabil seorang petani yang menyerahkan gandumnya tapi hanya memberi yang jelek saja, bukan gandum terbaik. Itu sebabnya domba Habil diterima, dan gandum Qabil ditolak.

Menurut kitab Tafsir Thabari, domba milik Habil ini disimpan di surga, dan domba inilah kelak yang dipakai untuk menggantikan Nabi Ismail saat hendak dikurbankan oleh Nabi Ibrahim. Wa Allahu a’lam.

Itulah sebabnya ajaran Islam menganjurkan agar hewan-hewan kurban merupakan hewan pilihan. Hewan yang sehat dan gemuk yang disukai orang. Bukan hewan cacat, sakit atau kurus yang tak layak dimakan, hatta si pemberinya pun tidak mau memakannya. Yang tulus berkurban akan memberikan yang terbaik. Begitulah hukum alam ini. Tengoklah bagaimana pengorbanan ibu kepada anaknya. Ketulusan melahirkan persembahan terbaik. Begitu pula kurban yang kita hendak berikan kepada Allah.

Allah berikan berbagai rezeki dan kasih sayangNya kepada kita sepanjang tahun ini. Allah selamatlan kita dan keluarga dari musibah. Allah jaga kita. Allah berikan perlindungan terbaik. Allah kabulkan permohonan kita dengan cara-cara terbaik sesuai ketentuanNya. Lantas, ketika tiba saatnya Allah meminta kita berkurban, apa tega kita hanya memberikan sekadarnya saja?!

Anjuran demikian bukan berarti Allah memerlukan yang baik-baik untuk diriNya sendiri. Sama sekali Allah tidak memerlukannya. Tetapi semua itu demi kepentingan manusia sendiri, terutama kaum fakir miskin sebagai pihak yang berhak menerimanya.

Maka, menjadi penting sekali firman Allah di bawah ini:

لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya: “Daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Hajj: 37).

Pada masa jahiliah orang Arab memuncratkan darah hewan kurban mereka ke Baitullah, dan mempersembahkan juga daging hewan kurban mereka di Baitullah. Para sahabat yang merasa lebih berhak atas Baitullah menganggap mereka juga lebih berhak melakukan tradisi itu di Baitullah (Ka’bah). Lantas, turunlah firman Allah di atas yang memutuskan benang merah tradisi persembahan darah berabad-abad sebelumnya: Allah tidak membutuhkan darah dan juga daging hewan kurban kalian!

Itulah asbabun nuzul surat al-Hajj ayat 37 di atas. Tidak perlu memuncratkan darah hewan ke Ka’bah. Bahkan daging qurban tidak pula dipersembahkan sebagai “sesajen”, melainkan dibagikan kepada fakir miskin. Muatan teologis yang tegas, dibalut dengan kandungan sosial yang bernas. Kurban itu adalah simbol ujian ketakwaan kita. Takwa itulah yang akan mencapai keridhaan Allah, bukan darah dan daging hewan.

Dan sebenarnya bukan hanya darah dan daging yang tidak Allah butuhkan. Juga zakat, infaq, sadaqah kita. Salat kita. Puasa dan haji kita. Bahkan keimanan dan keislaman kita sekalipun. Kitalah yang membutuhkan Allah. Semua ritual pada hakekatnya kembali manfaatnya untuk diri kita. Kitalah yang lemah. Kitalah yang membutuhkan asupan ibadah.

Allah sama sekali tidak akan berkurang sedikit pun keagunganNya kalau tak ada manusia yang menyembahNya, dan tak bertambah sedikitpun kalau semua penduduk bumi menyembahNya. Maka, tidak mungkin kita bisa menukarkan amal ibadah kita dengan keridhaanNya. Mustahil!

Begitulah contoh bagaimana Islam menganjurkan kita untuk melanjutkan tradisi baik yang dilakukan orang-orang saleh sebelum kita. Pada saat yang sama, dalam tradisi yang baik itu sepanjang sejarah peradaban telah terjadi berbagai penyimpangan ritual maupun pengaburan makna, maka syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad memilah mana tradisi yang harus kita lanjutkan dan mana yang harus kita benahi.

Dikutip dari Gus Nadirsyah Hosen


Editor: Daniel Simatupang