Tidak Boleh memberontak dan Sabar Dalam Keta’atan

 
Tidak Boleh memberontak dan Sabar Dalam Keta’atan
Sumber Gambar: Foto (ist)

Laduni.ID Cianjur – Ta’at kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di antaranya Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’ : 59)

Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh ‘ta’atilah’, karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Pembangkangan dan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah sesuai dengan konstitusi merupakan perbuatan yang tercela dalam Islam. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengajarkan kita untuk bersabar dan patuh pada pemerintah, sekalipun kinerjanya belum memuaskan. Hal ini bahkan bila pemerintah itu zalim sekalipun, kita tidak boleh melakukan pemberontakan.

Baca Juga: Pesan Ulama Salaf: Ta’at dan Doakan Pemerintah

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

إنكم سترون بعدي أثرة، فاصبروا حتى تلقوني

“Sesungguhnya kalian akan melihat pemimpin-pemimpin yang mementingkan kepentingan pribadi, maka bersabarlah hingga kelak kalian bertemu denganku (di akhirat)” (HR. Imam Bukhari rahimahullah).

Al-Imam Al-Mufassir Abu 'Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al-Anshari al-Qurthubi Al-Maliki atau Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah (wafat 29 April 1273 M di  Mesir) berkata:

قال الإمام القرطبي - رحمه الله تعالى :

وَالَّذِي عَلَيْهِ الْأَكْثَرُ مِنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ الصَّبْرَ عَلَى طَاعَةِ الْإِمَامِ الْجَائِرِ أَوْلَى مِنَ الْخُرُوجِ عَلَيْهِ ، لِأَنَّ فِي مُنَازَعَتِهِ وَالْخُرُوجِ عَلَيْهِ اسْتِبْدَالَ الْأَمْنِ بِالْخَوْفِ ، وَإِرَاقَةَ الدِّمَاءِ ، وَانْطِلَاقَ أَيْدِي السُّفَهَاءِ ، وَشَنَّ الْغَارَاتِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ ، وَالْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ .【 تفسير القرطبي (١٠٩/٢) 】

"Sabar dalam ketaatan kepada pemimpin yang buruk itu lebih utama daripada memberontak, karena dengan memusuhinya dan mengkudetanya akan ada beberapa kerusakan: Mengganti keamanan dengan kekacauan (ketakutan), Tertumpahnya darah, Campur tangannya orang-orang bodoh, Mengobarkan penyerangan (permusuhan) terhadap kaum muslimin danTerjadinya kerusakan di muka bumi" (Al-Imam al-Qurthuby rahimahullah, dalam Kitab Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an atau Tafsir Al-Qurthubi rahimahullah, dalam kitab Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an atau Tafsir Al-Qurthubi : 2/109).

Baca Juga: Doa untuk Pemimpin

Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i atau Imam Ghazali rahimahullah (wafat 18 Desember 1111 M di Thus, Iran) jugamenjelaskan:

وَالجَائِزُ مِنْ جُمْلَةِ ذَلِكَ مَعَ السَّلاَطِيْنِ الرُّتْبَتَانِ الأُوْلَيَانِ وَهُمَا التَّعْرِيْفُ وَالوَعْظُ. وَأَمَّا المَنْعُ بِالقَهْرِ فَلَيْسَ ذَلِكَ لِآحَادِ الرَّعِيَّةِ مَعَ السُّلْطَانِ فَإِنَّ ذَلِكَ يُحَرِّكُ الفِتْنَةَ وَيُهيجُ الشَّرَّ وَيَكُوْنُ مَا يُتَوَلَّدُ مِنْهُ مِنَ المَحْذُوْرِ أَكْثَر . إحياء علوم الدين.

“Dari kesemua itu, yang boleh bersama pemimpin adalah dua yang pertama, yaitu mengenalkan dan nasihat. Adapun mencegah dengan paksaan, maka rakyat tak bisa melakukan hal itu bersama pemimpin, karena hal tersebut akan memicu fitnah dan menimbulkan keburukan. Akhirnya, dampak negatifnya lebih besar. (al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, jilid 2, hal. 343)

Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi Asy-Syafi'i atau Al-Imam an-Nawawi rahimahullah (wafat 10 Desember 1277 M Nawa, Suriah) berkata :

“Dalam hadits, ada anjuran untuk mendengar dan taat, meskipun yang menjadi pemimpin itu zalim dan berbuat aniaya. Ketaatan yg menjadi haknya tetap harus ditunaikan, tidak boleh memberontak kepadanya dan melepaskan ketaatan kepadanya. Akan tetapi, hendaknya kembali kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam menyingkirkan gangguannya dan menolak kejelekannya, serta memohon kebaikannya.”(kitab Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim)

Menurut al Hafidz Zainuddin Abul Faraj Abdurahman ibn Syihabuddiin Ahmad ibn Rajab ibn Abdurrahman ibn Hasan ibn Muhammad ibn Abil Barakat Mas’ud  al Baghdadiy al Dimasyqi al Hanbali atau  Imam Ibnu Rajab (ulama terkemuka mazhab Hanbali), rahimahullah (4 November 1335 M, Bagdad, Irak - 14 Juli 1393 M Damaskus, Suriah), dalam kitab Jami‘ul Ulum wal Hikam fi Syarhi Khamsina Haditsan min Jawami‘ al-Kalim, : "Muslim yg mampu boleh melakukan amar makruf nahi mungkar kepada umara (pemerintah) dengan tangannya, tetapi dia tetap tidak boleh memberontak kepada pemerintah tsb".

Pemberontakan, hanya akan menimbulkan kezaliman dan kerusakan yg lebih besar dibandingkan kezaliman yang dilakukan pemerintah. Oleh karena itu, hendaknya mereka bersabar seperti kesabaran yang dituntut ketika beramar ma’ruf dan bernahi munkar dari kezaliman yg dilakukan oleh objek yang menjadi sasarannya. (Kitab Majmu Fatawa karya Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani Al-Hambali atau Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah, 22 Januari 1263 M Harran, Turki - 26 September 1328 M, Damaskus, Suriah).

Baca Juga: Macam-Macam Sabar

Sadruddin Abul Hasan Ali Ibn Abi al-ʻIzz Al-Hanafi Al-Asy'ari atau Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah (1331- 1390 M, usia 59 tahun di Damaskus) menjelaskan, “Pemerintah terkadang menyuruh kepada yang bukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala (maksiat) maka tidak boleh ditaati selain dalam perkara yang mengandung ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Adapun keharusan taat yg tetap diberikan kepada mereka meskipun jahat, karena keluar dari ketaatannya akan melahirkan kerusakan yg lebih besar daripada kejahatan yang dilakukannya.

Bahkan, kesabaran menghadapi kejahatannya menjadi penggugur kesalahan-kesalahan (dosa) dan akan melipatgandakan pahala, karena Allah Subhanahu wata’ala tidaklah membebankannya kepada kita melainkan lantaran jeleknya amalanamalan kita. Balasan yg didapat itu biasanya sesuai dengan jenis amalan yg dilakukan. Karena itu, hendaknya kita bersungguhvsungguh dalam beristighfar, bertobat, dan memperbaiki amalan.

Perlu diketahui bahwa ketaatan pada pemerintah ini berlaku pada setiap pemerintahan yang menerapkan sistem dan ideologi apa pun dalam sebuah negara. Hal ini karena Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sendiri tidak pernah menetapkan sistem tertentu untuk sebuah negara. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bahkan menyebut dalam beberapa riwayat tentang mentaati pemimpin (di samping memang bentuk kepemimpinan dan cara pemilihannya tidak dikhususkan oleh beliau semasa hidup) tetap menyebut mereka dengan istilah amir atau pun Sulthan untuk pemangku jabatan kepemimpinan umat.

Pemahaman dan implementasi sikap moderasi perlu diterapkan dalam konteks faktual, sebab kandungan hikmah dari sikap moderasi tersebut dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan ini adalah untuk menjaga stabilitas keamanan, sebagaimana didawuhkan oleh Al-Hafidz Al-Imam Syaikhul Islam Amirul Mukminin Fil Hadits Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar al-Kinani al-‘Asqalani al-Mishri Asy-Syafi'i atau Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah (18 Februari 1372 - 2 Februari 1449 M Kairo, Mesir) dalam Kitab Fathul Bari bi Syarhi Shahih Al-Bukhari , menukilkan perkataan Abul Hasan Ali bin Khalaf bin Abdul Malik bin Bathal Al-Bakri Al-Qurthubi Al-Maliki atau Imam Ibnu Baththal rahimahullah (wafat 449 H / 1057 M) sbg berikut :

وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى وُجُوبِ طَاعَةِ السُّلْطَانِ الْمُتَغَلِّبِ وَالْجِهَادِ مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَتَهُ خَيْرٌ مِنَ الْخُرُوجِ عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْنِ الدِّمَاءِ وَتَسْكِينِ الدَّهْمَاءِ

“Para fuqaha telah berijma’, akan wajibnya mena'ati penguasa yang menang dan berjihad bersamanya. Dan bahwa mena'atinya lebih baik dari memberontak kepadanya. Karena yang demikian itu lebih mencegah terkucurnya darah dan menenangkan kekacauan” (Kitab Fathul Baari 13/7)

Baca Juga: Bersabar dalam Meminta Pertolongan kepada Allah SWT

Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris Al Marwazi Al Baghdadi atau Ahmad bin Muhammad bin Hanbal atau Imam Hambali atau Imam Ahmad atau  Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (wafat 2 Agustus 855 M, Bagdad, Irak), sebagaimana termaktub dalam kitab Ushulus Sunnah (Pokok-Pokok Aqidah Ahlus Sunnah)

hal. 64, berkata :

“Wajib mendengar dan menaati para pemimpin dan amirul mukminin yang baik maupun yang fajir (berbuat kerusakan). Wajib pula menaati pemegang kuasa suatu pemerintahan, dan setiap pemimpin yang disepakati oleh masyarakat, ataupun penguasa yang mengalahkan suatu wilayah dengan pedang (peperangan) hingga ia menjadi khalifah yang disebut amirul mukminin di wilayah tersebut.”

Loyal pada pemerintah yang sah adalah sebuah kelaziman yg membedakan antara Kelompok Ahlussunnah Wal-Jama’ah dgn kelompok Khawarij dan Neo-Khawarij. Loyalitas ini dijelaskan dalam beberapa riwayat hadits, antara lain:

Hadits riwayat Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu (610 - 693 M, Mekkah):

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ. صحيح مسلم.

“Wajib bagi seorang muslim, untuk mendengar dan ta'at dalam hal yang ia sukai atau tidak ia sukai. Kecuali dia diperintah pada suatu kemaksiatan. Jika diperintah berbuat maksiat, maka tak ada kata mendengar dan ta'at.” (HR. Imam Muslim rahimahullah).

Baca Juga: Sabar Perspektif Sufi

Pendekatan dalam bentuk nasihat kepada penguasa lebih persuasi dilakukan, hal ini tentunya membutuhkan metode khusus, yg berbeda dgn pemberian nasihat kepada masyarakat biasa. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ. رواه أحمَد.

“Barangsiapa ingin menasihati penguasa, tentang suatu urusan, maka hendaknya ia tak menampakkan untuk penguasa itu dengan terang-terangan. Tetapi pegang tangannya, berduaan dengannya. Bila ia menerimanya, maka itulah yg diharapkan. Bila tidak, maka sungguh ia telah menunaikan kewajibannya yang menjadi hak penguasa itu.” (HR Imam Ahmad Bin Hambal rahimahullah)

Wallahu a'lam bish shawab

---------
Oleh: Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi (Khodim Jama'ah Sarinyala Kabupaten Gresik)
Editor: Nasirudin Latif