Kisah KH. Moh. Hasan Genggong: Bulan dari Tanah Jawa

 
Kisah KH. Moh. Hasan Genggong: Bulan dari Tanah Jawa
Sumber Gambar: PZH Genggong

Laduni.ID, Jakarta – Suatu hari selepas sholat Jum’at KH. Moh. Hasan Genggong (atau yang dikenal dengan Kiai Sepuh) turun dari Masjid jami’ Al-Barokah Genggong menuju dalem (rumah/kediaman) beliau.

Dalam perjalanan antara masjid dan kediamannya, beliau (kiai sepuh) berjalan sambil berteriak mengucap “Innalillah, Innalillah” sambil menghentak-hentakkan tangannya yang kelihatan basah. Pada waktu itu jam menunjukkan jam 13.00.

Setelah itu, tepat pada hari Senin pagi, ketika Kiai sepuh menemui tamunya yang juga terdapat KH. Akhmad Mudzar (salah seorang santrinya dan perawi kisah ini), datang dua orang tamu menghadap kiai sepuh yang merautkan paras kelelahan seakan-akan baru mengalami musibah yang begitu hebat.

Tatkala dua orang tersebut bertemu dan melihat wajah almarhum Kiai Sepuh, terlontarlah ucapan dari salah seorang dari keduanya, “Dia orang yang tiga hari yang lalu,” ujarnya. Bersamaan dengan itu, Kiai sepuh mengucap kata “Alhamdulillah” sebanyak tiga kali dengan wajah yang berseri.

Dari kejadian tersebut membuat heran KH. Mudzhar dan beliau mengambil keputusan untuk bertanya kepada kedua tamu tersebut, sehingga berceritalah tamu tersebut.

“Tiga hari yang lalu, yaitu hari Jum’at kami berdua dan beberapa teman yang lain menaiki perahu menuju Banjarmasin, tiba-tiba perahu oleng akibat angin topan dan perahu kami tak tertolong lagi. Namun kami sempat diselamatkan berkat kehadiran dan pertolongan yang datang dari seorang sepuh yang tidak kami kenal, waktu itu menunjukkan sekitar jam 13.00 atau ba’da Jumat, setelah itu kami sudah tidak sadar lagi apa yang terjadi hingga kami terdampar di tepi pantai Kraksaan (Kalibuntu).”

“Lalu (lanjut cerita tamu tersebut) setelah kami sadar, kami merasa sangat gembira dan bersyukur karena masih terselamatkan dari bencana itu. Dan kami ingat bahwa yang menolong kami dari malapetaka tiga hari yang lalu itu adalah orang tua yang nampaknya sangat alim. Hingga hati kami terdorong untuk sowan atau bersilaturrahim kepada kiai yang sepuh yang dekat dengan tempat kami terdampar. Setelah kami bertanya kepada orang-orang yang kami jumpai, ‘adakah disekitar tempat ini seorang kiai yang sepuh?’ Lalu kami disuruh menuju ke tempat ini (Genggong). Setelah sampai di sini ternyata orang yang menolong kami waktu itu adalah orang ini, (bersamaan dengan itu tangan tamu tersebut menunjuk ke arah KH. Moh. Hasan Gengong).

Kiai Hasan dilahirkan pada 27 Rajab 1840 hijriyah di Desa Sentong, Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo. Tanda-tanda keistimewaan Kiai Hasan sudah tampak saat masih di dalam kandungan sang ibu.

"Istri Kiai Syamsuddin waktu hamil pernah bermimpi menelan bulan, ini menandakan janinnya kelak akan menjadi orang mulia,"

Ayah Kiai Hasan, Kiai Syamsuddin yang lebih akrab disapa Kiai Miri, adalah seorang pembaca sejarah Nabi dan para wali. Pernah suatu ketika Kiai Miri ceramah di daerah Condong, dan pulang terlalu larut malam, di jalan mendaki Kiai Miri melihat cahaya dari kejauhan yang memancar dari arah timur.

"Ternyata pancaran sinar itu dari bayi Kiai Hasan yang baru lahir"

Kiai Hasan sepuh adalah salah satu santri angkatan pertama Kiai Kholil, Bangkalan, Madura. Pada tahun 1860, almarhum ikut membantu mendirikan pondoknya Kiai Kholil.

Saat menjadi santri Kiai Nawawi Banten di Mekkah, Kiai Sepuh bermimpi berjumpa Rasulullah. Dalam mimpinya, ia memohon agar Nabi Muhammad SAW menginjak kepalanya, sebagai andalan kelak di akhirat.

Pada tahun 1952, Jam'iyah Nahdlatul Ulama' (NU) keluar dari partai Masyumi, yang ketika itu mewadahi organisasi massa Islam. Kiai Asnawi, putra Kiai Hasan, kecewa terhadap Kiai-Kiai NU karena menganggap telah keluar dari barisan Islam yaitu Masyumi. Lalu Kiai Asnawi protes kepada Kiai Hasan dan bahkan Kiai Asnawi menyatakan akan keluar dari NU.

"Jangan kecewa kepada NU nak, jangan keluar. NU adalah Jam'iyah yang diridhai (Allah)," dawuh Kiai Hasan.

Saat mengisi pengajian kitab tafsir di bulan puasa pada tahun 1955, Kiai Hasan mengatakan bahwa santri kembali ke pondok Genggong kala itu diganti tanggal 10 Syawal yang biasanya tanggal 15 Syawal karena menurut Kiai Hasan tanggal 11 Syawal akan ada pengajian besar.

"Ternyata pada pada tanggal 11 Syawal tersebut Kiai Hasan wafat. Beliau wafat di tengah-tengah santri yang sudah kembali ke pesantren."

 

Sumber: KH Saiful Islam Genggong – KH. Akhmad Mudzhar, Situbondo (https://www.facebook.com/groups/1068514559936172/permalink/4005747142879551)