Keinginan Dalam Ridhlo-Nya

 
Keinginan Dalam Ridhlo-Nya
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Seorang murid bertanya pada gurunya. Apakah keinginan bagian dari nafsu, guru? Bagaimana cara membedakan antara keinginan yang di ridhoi dengan keinginan yang muncul dari nafsu tadi? Pertanyaan lanjutan dari sang murid.

Diri Kita dalah kumpulan makhluk-makhluk yang bersifat materi dan non materi. Secara materi diri kita adalah benih yang muncul dari orang tua kita, benih tadi juga mengandung sifat hewani dan nabati, artinya di dalam pembentukan tulang, darah dan daging pada diri ini di dapat dari saripati mahluk lain.

Secara non materi apapun yang masuk pada diri berupa pengetahuan berasal dari luar diri, isi kepala kita memuat berjuta informasi dari berbagai sumber, yang masuk lewat indera kita, nah semua hal tadilah yang akan mempengaruhi awal kemunculan keinginan-keinginan dalam diri.

Fitrah dasar keinginan manusia itu adalah ketenangan, sedangkan yang disebutkan sebagai kebahagian dan kesusahan karena adanya pembanding. Kita melihat orang bahagia saat memiliki anak, masuklah standard bahagia satu, kita lihat orang bahagia saat dapat rumah munculah standard bahagia dua dan seterusnya, demikian juga dengan kesusahan.

jika kita sejak lahir tinggal di hutan seorang diri, di mana tidak ada pembanding yang sejajar dengan kita (manusia lain) selain binatang maka kata bahagia dan susah itu sirna, kita hanya tenang saat dapat makanan dan gelisah saat tidak atau belum dapat makanan, apakah itu bisa dikatakan bahagia, tidak ada pembandingnya, fikiran kita tidak liar kemana-mana selain pemenuhan perut sehari hari.

Permasalahannya kita hidup di tengah kemajemukan manusia, dengan berbagai sifat dan karakter, dengan berbagai keinginan dan kepentingan yang berbeda-beda, pembanding-pembanding inilah yang memunculkan sifat merasa di dalam diri, dan menjadi pemicu gejolak dari dalam diri.

Itulah sebabnya Allah hanya memanggil orang yang jiwanya tenang:

يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ

Artinya: “Hai jiwa yang tenang.”

Jiwa yang tidak terpengaruh oleh keadaan, jiwa yang berserah diri terhadap Tuhannya terhadap segala keadaan, ini fitrah dasar. Jadi kembali fitri pada idul fitri adalah mengembalikan fitrah keinginan, setelah menetralisir lewat puasa.

Apapun ritual ibadah yang Allah turunkan lewat para Rasulnya untuk mengembalikan fitrah ini, karena hanya yang jiwanya tenang yang akan mampu ber ahlak baik, dan karena ahlak yang baiklah yang akan memunculkan rahmat, yang mampu menciptakan keharmonisan di alam semesta.

Namun jika ritual tadi membuat kita merasa lebih baik dari orang lain, proses pembanding kembali terjadi, gejolak muncul lagi. Jiwa tidak akan bisa tenang , bahkan muncul kata kata ironis, yaitu senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang, yang seperti ini bisa dikatakan jiwanya telah sakit dan menderita oleh prasangkanya sendiri.

kembali ke pertanyaan apakah keinginan bagian dari nafsu, maka jawabannya, ya. Jika apapun yang diinginkannya dari latar belakang pengaruh dari luar tadi, namun saat ditanyakan apakah itu tergolong nafsu baik atau buruk, maka itu semua kembali pada diri masing masing dalam menyikapinya. La hawla wala quwwata ilabillah.

 

Sumber: https://www.facebook.com/groups/263617174966261/permalink/492998658694777