Pendidikan Pesantren Tempo Dulu Dan Kini

 
Pendidikan Pesantren Tempo Dulu Dan Kini
Sumber Gambar: Facebook Gwen

Laduni.ID, Jakarta – Ketika membaca catatan sejarah, sungguh benar jika pesantren telah memberikan darmabakti kepada negara yang sangat besar.

Dari rahim pesantren banyak terlahir tokoh-tokoh besar bangsa yang dengan gagah memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan Indonesia.

Dengan ilmu agama yang tinggi, para ulama pesantren terbukti mampu menggerakkan diri dan masyarakat luas untuk bertempur melawan pejajah. Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari ialah contoh konkretnya.

Pendiri sekaligus pengasuh pertama Pesantren Tebuireng Jombang ini berhasil menggerakkan hati para santri dan ratusan ribu masyarakat sipil untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia bersama dengan 20 ribu tentara.

Semangat perjuangan pada pertempuran terberat sekaligus terbesar dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia pada 10 November 1945, tak lepas dari hasil bincang-bincang Presiden Soekarno dengan KH Hasyim dalam menghadapi sekutu yang akan kembali merebut kemerdekaan Indonesia.

Maka, KH Hasyim beserta kiai-kiai lain berunding hingga menghasilkan fatwa perang suci (resolusi jihad). Resolusi jihad inilah yang mampu menggerakkan hati para santri dan ratusan ribu masyarakat sipil untuk berperang melawan penjajah dengan mempertaruhkan nyawa secara ikhlas.

Pada masa KH Hasyim, jamak pendidikan pesantren sangat sederhana (baca: seadanya). Fasilitas pendidikan jauh dari memadai. Sering kali, pesantren tidak memiliki ruang kelas khusus untuk belajar. Kiai dan santri belajar di masjid, musala, atau bahkan dalem (rumah) kiai.

Metode pengajarannya pun seadanya. Beberapa metode belajar yang diterapkan di pesantren, antara lain bandongan (kiai membaca kitab lengkap dengan arti dan keterangan, sementara para santri mencatat keterangan dari kiai), sorogan (santri menghadap kiai secara individu untuk mempelajar satu disiplin ilmu atau menyetorkan hafalan), dan lain sebagainya.

Kendati fasilitas pesantren tempo dulu jauh dari memadai, tidak sedikit ulama pesantren memiliki prestasi gemilang dalam kancah nasional.

Selain KH Hasyim, ada juga KH As'ad Syamsul Arifin yang baru saja dianugerahi pangkat sebagai pahlawan nasional, KH Wahab Hasbullah, KH Hasyim Wahid (Menteri Agama RI perdana), dan lain sebagainya. Mereka ialah orang-orang jebolan pesantren yang mampu memberikan sumbangsih besar terhadap tegaknya NKRI.

Sejalan dengan realitas ini, para kiai pesantren ini juga mampu mendidik para santri hingga menjadi generasi penerus juangnya. Di samping itu, mereka juga mampu menjadi imam bagi masyarakat sekitarnya dengan baik.

Produk kekinianProduk unggulan pesantren tempo dulu ini jauh berbeda dengan produk masa kini. Saat ini banyak pesantren tersebar di bumi Nusantara dengan beragam modelnya. Namun, produk yang dihasilkan tidak begitu membanggakan jika dibandingkan dengan produk-produk tempo dulu.

Padahal, fasilitas belajar pesantren saat ini semakin memadai. Banyak pesantren yang memiliki bangunan menjulang dengan kemegahan yang luar biasa. Di dalam kelas juga banyak yang sudah tersedia beragam teknologi peralatan ajar yang memadai.

Namun, fasilitas ini seakan tak mampu menjamin kualitas peserta didiknya. Lihatlah orang-orang jebolan pesantren yang kini duduk di pemerintahan. Sudahkah mereka mencerminkan sebagai orang yang berwawasan luas dan bijaksana sebagaimana KH Hasyim dan kawan-kawan?

Tak dapat dimungkiri, para pejabat lulusan pesantren memiliki keistimewaan tersendiri dalam mengemban amanah bangsa. Namun, mereka sangat jauh panggang dari api manakala disandingkan dengan KH Hasyim.

Bermula dari sinilah, keluarga besar pesantren mesti mengadakan muhasabah (introspeksi diri). Hal mendasar yang mesti dipertanyakan ialah kenapa keberhasilan pendidikan pesantren saat ini kalah jauh jika dibandingkan dengan tempo dulu?

Padahal, dari segi sarana dan prasarana, pendidikan pesantren saat ini jauh lebih unggul jika dibandingkan dengan zaman dulu. Dengan adanya dana yang selalu dikucurkan dari pemerintah serta donatur yang begitu banyak, sarana pendidikan pesantren semakin hari semakin memadai.

Jika diselisik lebih dalam, faktor keberhasilan pendidikan pesantren tempo dulu dan 'ketidakberhasilan' saat ini ialah sumber daya manusianya.

Para santri zaman dulu ingin masuk pesantren niatnya ialah menghilangkan kebodohan sehingga mendapat rida Allah.

Mereka mencari guru (kiai) yang alim dan memiliki keluhuran pekerti di mata Tuhan dan masyarakat.

Para calon santri ini tidak pernah mempertanyakan bagaimana bangunan fisik pesantren yang akan dijadikan empat belajar ataupun metode pengajaran yang digunakan gurunya.

Baginya, berguru pada seorang yang alim (memiliki kedalaman ilmu agama) lengkap dengan penerapannya, merupakan pertanda akan keberhasilan pendidikannya.

Bermodalkan sarana dan prasarana yang serbakekurangan, para santri ini selalu ikhlas dalam menapaki proses pendidikan.

Cengkir (kencenge pikir) atau kemauan kuat untuk terus belajar menjadi modal yang paling utama.

Sarana dan prasarana yang serbaterbatas tidak menjadi kendala yang berarti. Bahkan, dalam dunia pesantren terdapat istilah 'berkah' (zaidatul khair/tambahan kebaikan).

Para santri memilih menggunakan fasilitas yang serbaterbatas asalkan memiliki keberkahan jika dibandingkan dengan fasilitas memadai tetapi tidak membawa keberkahan.

Bermula dari sinilah, mereka selalu nyaman belajar dalam suasana keterbatasan. Kejar keberkahan Para santri dalam belajar selalu menjadikan keberkahan sebagai tujuan utama dalam belajar. Maka, dalam belajar pun mereka selalu berusaha ikhlas, dalam keadaan suci, dan ta'dzim (menghormat) kepada guru agar ilmu yang didapatkan memiliki keberkahan. Para santri juga selalu berdoa agar terhindar dari ilmu yang tidak berkah.

Dalam pada itu, kiai yang notabene sebagai pemilik pesantren juga selalu selektif dalam menerima bantuan. Jangan korupsi ataupun 'main mata' dengan pejabat agar mendapatkan bantuan dana untuk pembangunan gedung atau pengadaan sarana-prasarana pendidikan.

Kiai-kiai pesantren zaman dulu selalu menghindari uang subhat (tidak jelas kehalalan/keharaman) yang diperuntukkan bagi pesantrennya. Hal ini tertanam kuat dalam diri kiai karena mereka menginginkan pesantrennya penuh dengan keberkahan dari Allah.

Bermula dari niatan kuat para santri untuk belajar dan para kiai mengajar dengan penuh keikhlasan inilah, pesantren terdahulu mampu menunjukkan produk yang unggulan.

Para santri yang dididik dengan keterbatasan fasilitas mampu menjadi ulama yang dapat dimanfaatkan masyarakat luas (termasuk dalam pemerintahan).

Sikap ikhlas dan selalu mengharap keberkahan ini terus dipupuk hingga mereka terjun di masyarakat.

Alhasil, tidak ada kamus lulusan pesantren yang mengabdikan dirinya di pemerintahan hanya karena ingin jabatan atau harta.

Bandingkan dengan pesantren saat ini, tak jarang para calon santri memilih pesantren bukan karena keunggulan ilmu dan akhlak sang kiai.

Mereka masuk pesantren dengan mempertimbangkan fasilitas dan metode pendidikan yang diterapkan pesantren.

Keberkahan yang dulunya menjadi landasan utama, berangsur-angsur mulai luntur. Bahkan, tak sedikit kiai masa kini yang sengaja mendekati pemerintah atau tokoh politik dengan tujuan ingin mendapatkan bantuan fisik.

Segendang sepenarian dengan apa yang dilakukan para kiai pesantren saat ini, tidak mengherankan manakala para lulusan pesantren saat ini tidak memiliki keikhlasan tinggi.

Para lulusan pesantren saat ini banyak yang terjun ke dunia politik atau berusaha menjadi pejabat negara dalam rangka mencari jabatan atau harta kekayaan.

Padahal, kemampuan mereka juga tidak setinggi para lulusan pesantren zaman dulu. Para lulusan pesantren saat ini banyak yang lupa akan nilai keberkahan dalam seluruh aktivitas yang dikerjakan. Maka, perkara subhat pun sering diterjang.

 

Oleh: Anton Prasetyo – Alumnus Pesantren Nurul Ummah, Studi S-2 KPI UIN Yogyakarta.