Sebelum Mantap Dengan Islam, Dian Sastro Pernah Menjadi 'Turis Spiritual'

 
Sebelum Mantap Dengan Islam, Dian Sastro Pernah Menjadi 'Turis Spiritual'
Sumber Gambar: Foto : (YouTube/Daniel Mananta Network)

Laduni. ID, Jakarta- Sejak usia 17 tahun, aktris Dian Sastrowardoyo rupanya pernah mengalami perjalanan spiritual sebelum akhirnya teguh memeluk Islam. Terhadap hal itu, Dian muda mengaku kerap berdialog dengan diri sendiri sekaligus bercermin dari kedua orangtuanya. Pengakuan itu diungkapkan aktris pemeran Daya dalam Film Pasir Berbisik (2001) dalam perbincangannya dengan presenter tersohor, Daniel Mananta.

"Gue pernah menjadi spiritual touris sih. Gue mempelajari banyak agama, banyak aliran, termasuk filsafat. Gue selalu always fascinated,  karena gua dibesarkan secara Katolik oleh nyokap. Dan taat banget, kelompok doanya kuat banget. Terus bokap Buddha. Terus di umur 17 itu gue sempet pengen cari, dan disaat (yang) bersamaan gue tertarik dengan filsafat. Gue bener-bener pengen punya kebebasan, pengen nyari and finding, kalau gua apa ya? Bokap kan sempat nyari, dan akhirnya menemukan di Buddha. Mungkin gak sih gua kayak gitu? Atau gua punya jalan (spritual) sendiri? Dan akhirnya gua coba cari-cari, ngobrol-ngobrol, dan akhirnya gua ketemunya di Islam," terang Dian Sastro kepada Daniel Mananta, seperti yang ditayangkan Daniel Mananta Network. Tayangan itu disajikan dalam platform Youtube yang bertajuk; 'Cerita Hidup Seorang Dian Sastrowardoyo - Daniel Tetangga Kamu' yang diupload pada Sabtu, 1 Mei 2021.

Alumnus Filsafat UI itu bersyukur melihat respon Ibundanya, Dewi Parwati Setyorini yang menerima akhir pencarian spiritualitas putri tunggalnya itu berlabuh ke Islam. "I'm so grateful, nyokap gua punya keterbukaan, pemikiran yang sangat sportif. Yang penting kamu taat yah dan jangan karena orang," kenang Dian mengisahkan pesan ibunya.

Dalam penuturannya, Dian menargetkan bahwa fase pengembaraan spiritualitas itu harus tamat sebelum dirinya memutuskan untuk menikah. "Gua janji harus ada satu pencapaian (spiritualitas) sebelum gua menikah. Karena biasanya, setelah menikah, fokus hidup itu kan akan di fokuskan ke keluarga. Sebelum chapter yang itu, gua mau sampai di satu stage ini dulu (spiritualitas). Walaupun nanti akan mendalami lagi, tetapi at least sudah sampai disini dulu milestone nya. Gua belum pernah khatamin Qur'an. Jadi gua ngatamin Qur'an sebelum menikah untuk pertama kalinya. Dan itu sangat emosional sekali, ternyata gua bisa yah, gua juga gak tau ternyata gua bisa juga. Dan waktu gua ngatamin Qur'an itu nyokap gua sempat nangis, padahal nyokap gua itu Katolik. Jadi nyokap gua itu bangga sama pencapaian gua. Dan itulah toleransi di keluarga gue. I'm so grateful about it dan sampai sekarang gue masih serumah dengan nyokap," terang Dian yang menapaki karirnya di dunia modeling.

Pada tahapan itu, perihal keyakinan keagamaan, menurut Dian tidak ada persoalan dengan orangtuanya begitu juga sebaliknya. Bahkan dalam beberapa kegiatan keagamaan, Dian sering membantu kegiatan peribadatan Katolik, begitu juga sang Ibu. "Kemarin nyokap Paskah, gua buatin makanannya, lalu mereka doa-doa. Dan kalau gua lagi pengajian, nyokap juga ikut bantuin buatin makanan dan mengatur makanannya. Jadi keluarga kita, Alhamdulillah warna-warni banget, dan bhinneka banget. Sejak itu, gua komit, kalau bulan puasa (Ramadhan), gue ikut grup tadarusan. Biar gak berat, kita ngatamin Qur'an itu rame-rame," sambung Dian.

Kisah Pengembaraan Spiritualitas Dian Sastro
"Lo bilang tadi sempat bilang, sempat menjadi spiritual turis. Lo keliling-keliling, lo pelajarin semuanya, dan pada akhirnya, lo nyaman dengan Islam. Why?" tanya Daniel kepada Dian.

Ia menuturkan, hal itu bermula dari pertanyaan-pertanyaan filosofis yang kerap menghantui batin dan pikirannya sejak belia. "Jadi gua punya pertanyaan-pertanyaan labil banget, umur 17 tahun nanya yang nggak-nggak. Kalau universe itu gede banget, lalu kita hanya segilintir debu, ngapain perlu ada sih? Ribed amat, ngapain perlu diadain? Ya bener juga dong. Kalau nanti mau kiamat juga, repot amat perlu ada (manusia dan kehidupan,red)? Gak usah ada juga lah sekalian, boleh gak Tuhan? Pertanyaan filosofis banget. Dan itu gua tanyain ke pendeta, ke pastur, ke biksu, ke pemuka agama Hindu, ke Taoisme, Buddha, ya pokoknya macam-macam lah. Dan jawaban mereka macam-macam juga. Dan entah kenapa, gua gak merasa bener-bener terjawab, dengan cara jawab mereka yang berbeda-beda," ulas Dian.

Kegundahan batin seorang Dian sampai di satu fase, dimana dirinya diajak tantenye ke sebuah pengajian. "Disitu ada pak ustadz, yang pembahasannya logis banget. Gua kan anak filsafat, gue perlu (penjelasan) yang logis. To my on surprised, jawabannya dia kok bagi gua nyes banget dan terjawab banget, which is gua lupa juga jawabannya dia apa," kata Dian yang menyayangkan dirinya tidak begitu ingat dengan apa yang dijelaskan ustadz tersebut.

Ingatannya yang masih membekas, adalah cara ustadz itu memberikan pemahaman kepada Dian. Satu diantara metode ustadz tersebut, kata Dian, adalah dengan membuka beberapa kitab suci beberapa agama, selain Al Qur'an. "Tapi yang menarik adalah, dia (ustadz) menjawabnya dengan buka kitab. Kitab Al-Qur'an dan Kitab Injil, Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Dia ngajakin kita baca ini semua, dan bayangin, ini semua bersumber dari Tuhan yang sama. Betapa yang kita cari itu adalah hikmahnya. Jadi even, murid-murid dia yang sejak kecil juga sudah muslim, berguru sama dia, jadi lebih toleransi dan lebih terbuka pikirannya. Dan itu indah banget menurut gue. Jadi for somebody yang baru datang dari luar dari agama lain, oh ternyata toleransi yah agama ini. Jadi, gua mau belajar dari bapak ini, karena dalem banget dan bisa memuaskan dahaga penasaran gue," terang Dian.

Kenapa kemudian dirinya berlabuh di Islam? Dian menjelaskan, setelah berguru dengan ustadz tersebut, esensi seorang manusia dengan Tuhan dalam Islam adalah kepasrahan atau berserah diri terhadap kehendak-Nya. "Pasrah dan berserah itu, lo jadi lebih enteng. Pada saat kita lebih berserah, Tuhan lebih gampang menyentuh kita. Karena kalau lo nya heboh sendiri. Communication kan from you to Him kan? And in order to kind of feel that He actually He is really love you, you need to be lighter, to more sensitive and in order to that, lo perlu pasrah. Sebenarnya kalau kita pasrah dan peka, lo akan merasa sendiri, lo merasa akan dijagain sama cinta kasih-Nya, yang gak bisa lo bayangin. Tapi sebenarnya lo lagi dirawat sama kehidupan, sama Tuhan itu sendiri. That's religion teach me to felt realize it. This religion. Dan gua dikasih bantuan lagi, (yaitu) struktur untuk mendisiplinkan diri kita untuk komunikasi lebih sering lagi. Dan sehari saja diberi waktu lima kali sehari. Yang jadi challenge buat gua itu gimana caranya me maintenance ke-khusukannya itu. (Sholat) Jangan hanya jadi ritual," tukas Dian.

Kendati tidak mudah dilakukan, dan masih terus belajar, dirinya tetap berupaya khusyuk dalam menjalani sholat. "Lagi sholat, tiba-tiba kita mikir, ini sudah bayar cicilan rumah belum yah, ribed yah, kan Ibu-Ibu begitu, ini kan soal kedisiplinan mind kita. Kayak orang meditasi. Itu disiplin yang dulu bokap gua punya dalam agamanya dia. Untuk mendiamkan pikiran, dia fokus pada satu hal. Mungkin gak sih, gua punya fokus dan konsen yang sama dalam ibadah gua. Sebenarnya kalau dijalanin bener-bener intinya, mestinya begitu," pungkas Dian. (Editor: Ali Ramadhan)