Biografi Syekh Abdul Karim Banten

 
Biografi Syekh Abdul Karim Banten
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru Beliau

3.    Penerus
3.1  Murid-Murid

4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1  Menjadi Mursyid Tarekat
4.2  Masa Penjajahan
4.3  Hijrah ke Tanah Suci
4.4  Mendirikan Cabang Tarekat

5.    Chart Silsilah Sanad
6.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir

Syekh Abdul Karim Banten diperkirakan lahir pada tahun 1830 M/1250 H, di Tanara, Serang, Banten. Tidak banyak diketahui tentang masa kecil dan pendidikannya kecuali hanya memang tinggal di Banten. beliau dikenal karena kemudian belajar ke Makkah. Sezaman dengan para sahabat yang ditemuinya, yaitu:

  1. Syekh Nawawi Al-Bantani,
  2. Syekhona Muhammad Kholil Bangkalan,
  3. Syekh Mahfudz At-Tarmasi, dan lain-lain.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Pendidikan

Sejak muda Syekh Abdul Karim berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas. Pemimpin tarekat yang juga menguasai hampir semua cabang ilmu keislaman ini dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat, dan bermukim di Makkah sejak perempat kedua abad ke-19. Pengarang Fathul ‘Arifin ini (kitab pedoman praktis untuk para pengamal tarekat di Asia Tenggara) mengajar di Masjidil Haram sampai wafatnya pada 1875.

Ulama terkemuka ini punya banyak pengikut, sehingga ajaran Qadiriyah menyebar di berbagai daerah di Nusantara, seperti Bogor, Tangerang, Solok, Sambas, Bali, Madura, dan Banten. Kecuali di Madura, semua pengikut tersebut berada di bawah bimbingan Syekh Abdul Karim. Boleh dikatakan, Syekh Abdul Karim adalah murid Syekh Ahmad Khatib Sambas yang paling terkemuka. Tidak heran, jika beliau mendapat kepercayaan gurunya untuk menyebarkan ajaran Tarekat Qadiriyah.

2.2 Guru Beliau
Syekh Ahmad Khatib Sambas

3. Penerus
3. Murid-Murid

Di antara murid-muridnya yang terkemuka, yang mempunyai peranan penting dalam pemberontakan Banten, antara lain:

  1. Haji Sangadeli dari Kaloran,
  2. Haji Asnawi dari Bendung Lampuyang,
  3. Haji Abu Bakar dari Pontang,
  4. Haji Tubagus Ismail dari Gulacir,
  5. Haji Marjuki dari Tanara,
  6. KH. Ibrohim Brumbungan Demak,
  7. Syekh Muhammad Saad Mungka,
  8. Syekh Fadhil Al-Bantani,
  9. TGH. Abdul Halim, Muasis Pesantren Al-Halimy Lombok Barat.

Mereka juga dikenal sebagai pribadi-pribadi yang punya kharisma.

4. Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1 Menjadi Mursyid Tarekat

Tugas pertama yang diemban Syekh Abdul Karim adalah menjadi guru tarekat di Singapura. Setelah beberapa tahun, beliau kembali ke tempat asalnya, Lampuyang, Tanara, pada tahun 1872. beliau mendirikan pesantren, dan karena sudah amat terkenal, dalam waktu singkat beliau sudah banyak memperoleh murid dan pengikut. Sulit diperkirakan berapa jumlah pengikutnya. Yang pasti, beliaulah yang paling dominan di kalangan elite agama di Banten kala itu.

Kurang lebih tiga tahun Syekh Abdul Karim tinggal di Banten. Ditunjang kekayaan yang dimiliknya, beliau mengunjungi berbagai daerah di negeri ulama dan jawara itu, sambil menyebarkan ajaran tarekatnya.

Selain kalangan rakyat, beliau juga berhasil meyakinkan banyak pejabat pamong praja untuk mendukung dakwahnya. Tidak kurang dari Bupati Serang sendiri yang menjadi pendukungnya. Sedangkan tokoh-tokoh terkemuka lainnya, seperti Haji R.A Prawiranegara, pensiunan patih, merupakan sahabat-sahabatnya, dan mereka amat terkesan dengan dakwahnya.

Alhasil, Syekh Abdul Karim sangat populer dan sangat dihormati oleh rakyat, sedangkan para pejabat kolonial takut kepadanya. Kediamannya dikunjungi Bupati Serang dan Residen Banten. Dan tentu saja kunjungan kedua petinggi di Banten itu membuat gengsinya semakin naik. Tidak berlebihan jika dikatakan, Syekh Abdul Karim benar-benar orang yang paling dihormati di Banten

Sebelum kedatangan Kyai Agung dengan tarekat Qadiriyahnya, para kyai bekerja tanpa ikatan satu sama lainnya. Tiap kyai menyelenggarakan pesantrennnya sendiri dengan caranya sendiri dan bersaing satu sama lainnya. Maka, setelah kedatangan Syekh Abdul Karim, tarekat Qadiriyah bukan saja semakin mengakar di kalangan rakyat, tapi mampu mempersatukan para kyai di Banten.

Penyebaran tarekat ini diperkuat oleh kedatangan Haji Marjuki, murid Syekh Abdul Karim  yang paling setia, dari Makkah Syekh Abdul Karim memang orang kaya. Dan kekayaan itu memungkinkannya menjelajahi berbagai daerah di Banten.

Dalam kunjungan-kunjungan itu beliau tidak henti-hentinya berseru kepada rakyat supaya memperbarui kehidupan agama mereka dengan jalan lebih taat beribadah. beliau menjelaskan bahwa aqidah (keyakinan) dan ibadah (praktek agama) harus terus dimurnikan.

Syekh Abdul Karim memfokuskan dzikir sebagai tema keangkitan kembali kehidupan agama (revival). Maka dzikir diselenggarakan di mana-mana, menggelorakan semangat keagamaan rakyat. Dan berkat kedudukannya yang luar biasa, khotbah-khotbah Syekh Abdul Karim mempunyai pengaruh yang besar terhadap penduduk.

Dalam waktu singkat, setelah Syekh Abdul Karim memulai kunjungannya dari satu tempat ketempat lain, daerah Banten diwarnai kehidupan keagamaan yang luar biasa aktifnya. Pengaruh dari meluasnya kegiatan keagamaan ini adalah bangkitnya semangat di kalangan umat dalam menentang penguasa asing. Kebetulan pada waktu itu sudah berkembang rasa ketidakpuasaan rakyat kepada pemerintah kolonial akibat tindakan politik dan ekonomi mereka yang merugikan rakyat.

4.2 Masa Penjajahan
Dalam situasi demikian, para ulama secara bertahap membangunkan semangat rakyat untuk melawan pemerintah kolonial Belanda. Ketidakpuasan itu kemudian memuncak sedemikian rupa sehingga beberapa ulama merencanakan waktu untuk memberontak terhadap Belanda. Syekh Abdul Karim sendiri menganggap bahwa pemberontakan belum tiba saatnya karena rakyat belum siap.

Seperti diungkapkan sejarawan Sartono Kartodirdjo, gerakan kebangkitan kembali yang dipimpin Syekh Abdul Karim memang memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal keagamaan dan bernada puritan. Tetapi beliau bukan seorang revolusioner yang radikal. Kegiatan-kegiatannya terbatas pada tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama, dengan tekanan khusus kepada shalat, puasa, mengeluarkan zakat dan fitrah, agar benar-benar dilaksanakan.

Dan tentu saja, dzikir merupakan kegiatan yang pokok pula. Setelah Syekh Abdul Karim meninggalkan Banten, menurut Sartono, gerakan itu berpaling dari semata-semata sebagai gerakan kebangkitan kembali. Semangat yang sangat anti asing mulai merembesi gerakan tarekat yang telah ditumbuhsuburkan Syekh Abdul Karim. Dan pada akhirnya haji-haji dan guru-guru tarekat yang berjiwa pemberontak menempatkan ajaran tarekat sepenuhnya di bawah tujuan politik.

Syekh Abdul Karim disebut sebagai salah satu di antara tiga kyai utama yang memegang peranan penting dalam pemberontakan rakyat Banten di Cilegon pada tahun 1888. Dua tokoh kunci lainnya adalah KH. Wasyid dan KH. Tubagus Ismail.

4.3 Hijrah Ke Tanah Suci
Sebelum bertolak ke Makkah, sekali lagi beliau berkeliling Banten. Di tempat-tempat yang dikunjunginya, beliau berseru kepada rakyat agar berpegang teguh pada ajaran agama, dan menjauhkan diri dari perbuatan mungkar. beliau memilih beberapa ulama terkemuka untuk memperhatikan kesejahteraan tarekat qadiriyah. beliau juga pamit kepada para pamong praja terkemuka, dan berpesan kepada mereka untuk menyokong perjuangan para ulama dalam membangun kembali kehidupan keagamaan, dan agar selalu minta nasihat kepada mereka mengenai soal-soal keagamaan.

Menjelang keberangkatannya, kepada murid-murid dekatnya Syekh Abdul Karim mengatakan bahwa beliau tidak akan kembali lagi ke Banten selama daerah ini masih dalam genggaman kekuasaan asing. Beliau memang tidak terlibat secara langsung pemberontakan yang meletus 12 tahun setelah keberangkatannya ke Tanah Suci itu.

Tapi beliaulah yang menjadi perata jalan bagi murid-murid dan pengikutnya untuk melakukan jihad atau perang suci. Di antara murid-muridnya yang terkemuka, yang mempunyai peranan penting dalam pemberontakan Banten, antara lain: Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Asnawi dari Bendung Lampuyang, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Tubagus Ismail dari Gulacir, dan Haji Marjuki dari Tanara. Mereka juga dikenal sebagai pribadi-pribadi yang punya kharisma.

Kepergian Abdul Karim ke Makkah, ternayata tidak menyurutkan pengaruhnya di Banten. Popularitasnya bahkan meningkat. Rakyat selah dilanda rindu dan ingin bertemu dengannya. Sementara para muridnya sendiri sudah tidak sabar menantikan seruannya untuk berontak.

Snouck Hurgronje, yang menghadiri pengajiannya di Makkah pada 1884-1885, menceritakan:

“Setiap malam ratusan orang yang mencari pahala berduyun-duyun ke tempat tinggalnya, untuk belajar dzikir dari beliau, untuk mencium tangannya, dan untuk menayakan apakah saatnya sudah hampir tiba, dan berapa tahun lagi pemerintahan kafir masih akan berkuasa.”

Tetapi Syekh Abdul Karim tidak memberikan jawaban pasti. beliau selalu memberikan jawaban-jawaban yang samar tentang soal-soal yang sangat penting seperti mengenai pemulihan kesultanan atau saat dimulainya jihad. beliau hanya mengisyaratkan bahwa waktunya belum tiba untuk melancarkan perang sabil.

Selain itu, Syekh Abdul Karim kembali meninggalkan Tanara. beliau terpaksa meninggalkan Banten menuju Tanah Airnya yang kedua, Makkah, menyusul pengangkatannya sebagai Pemimpin Tarekat Qadiriyah, menggantikan Syekh Ahmad Khatib Sambas. Ikut bersamanya 10 anggota keluarga, enam orang pengawal, dan 30 atau 40 orang yang menyertainya hanya sampai Batavia.

Khawatir akan kemungkinan turunnya rakyat secara besar-besaran ke jalan, Residen Banten meminta Syekh Abdul Karim  mengubah rute perjalanannya. Rencananya singgah di beberapa tempat di Tangerang dibatalkan; diputuskan beliau akan menumpang kapal langsung ke Batavia. Padahal banyak haji dari Tangerang dan Distrik Bogor sudah berangkat ke Karawaci.

Selain itu, satu pertemuan besar akan digelar di rumah Raden Kencana, jandaTumenggung Karawaci dan ahli waris perkebunan swasta Kali Pasir, yang selain oleh anggota keluarganya juga bakal dihadiri orang-orang yang dicap pemerintah kolonial sebagai “fanatik” dan pembangkang. Semuanya urung. Toh murid dan para pengikut Abdul Karim berduyun-duyun bertolak dari desa-desa pantai, seperti Pasilian dan Mauk, dengan menggunakan berbagai perahu, untuk menyatakan salam perpisahan dan semoga kyai kembali.

Tidak salah lagi, Syekh Abdul Karim adalah salah satu ulama yang sangat dihormati dan paling berpengaruh di Nusantara pada penghujung abad ke-19. beliau digelari Kyai Agung. Bahkan sebagian orang menganggapnya sebagai Wali Allah, yang telah dianugerahi karamah. Di antara peristiwa yang disebut-sebut sebagai petunjuk kekaramatannya, pertama, beliau selamat ketika seluruh daerah dilanda banjir air Sungai Cidurian; kedua, setelah beliau dikenai hukuman denda, residen diganti dan bupati dipensiunkan.

Besarnya pengaruh Syekh Abdul Karim, juga tampak ketika beliau melangsungkan pernikahan putrinya. Seluruh desa Lampuyang, tempat tinggalnya, dihias dengan megah. Kyai-kyai terkemuka (termasuk dari Batavia dan Priangan) datang di pesta yang antara lain dimeriahkan rombongan musik dari Batavia dan berlangsung sepekan itu.

4.4 Mendirikan Cabang Tarekat

Pada 1883 murid Syekh Abdul Karim, Kyai Haji Tubagus Ismail, kembali dari Makkah, mendirikan pesantren dan mendirikan cabang Tarekat Qadiriyah di kampung halamannya, Gulacir. Bangsawan yang ingin menghidupkan kembali kesultanan Banten ini juga dianggap sebagai wali beliau tidak mencukur rambutnya seperti umumnya para haji, dan dalam setiap jamuan hampir tidak pernah makan apa-apa.

Ditambah bahwa beliau juga cucu Tubagus Urip, yang sudah dikenal sebagai wali, maka dalam waktu singkat KH. Tubagus Ismail sudah punya banyak pengikut , dan kepemimpinannya semakin diakui di Banten.

Menyadari dirinya mulai menarik perhatian umum, beliau pun segera melancarkan propaganda untuk melawan penguasa kafir. Banyak ulama yang mendukungnya seperti Haji Wasyid dari Beji, Haji Iskak dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak, selain kyai-kyai seperguruannya seperti Haji Abu Bakar, Haji Sangadeli dan Haji Asnawi. Untuk mengkonkretkan rencana pemberontakan, rapat pertama diadakan pada tahun 1884 di kediaman Haji Wasyid.

Pada Maret 1887 Haji Marjuki, yang sering pulang pergi Banten-Makkah, tiba di Tanara. Murid kesayangan dan wakil Syekh Abdul Karim  ini juga sahabat dekat Haji Tubagus Ismail. Menurut dugaan para pendudukung pemberontakan, kedatangan Haji Marjuki itu adalah atas permintaan sahabatnya itu.

Haji Marjuki segera melakukan kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah di Banten, Tangerang, Batavia, dan Bogor untuk mendakwahkan gagasan tentang jihad. Propagandanya cepat diterima umum, karena beliau bertindak atas nama Syekh Abdul Karim. Dilaporkan, setelah berbagai kunjungannya itu, masjid-masjid dipenuhi orang-orang yang beribadah, jamaah pada hari-hari Jum’at meningkat tajam.

Dalam berdakwah di luar Banten, Haji Marjuki dibantu oleh Haji Wasid, yang juga sangat berhasil meyakinkan para kyai di daerah Jawa Barat. Dikatakann, kedua haji ini sesungguhnya merupakan jiwa gerakan jihad di Banten. Bahkan pejabat-pejabat tertentu di Banten, seperti residen, menganggap bahwa Haji Marjuki bertanggung jawab sepenuhnya atas pemberontakan itu.

Tetapi, menjelang pemberontakan meletus, Haji Marjuki segera berangkat ke Makkah bersama istri dan anaknya. Sebelum berangkat Beliau sempat memberkati pakaian putih yang akan dikenakan para pemberontak di masjid kediamannya di Tanara. Rupanya ia tidak sependapat dengan kyai lainnya, khususnya Haji Wasyid, yang akan memulai pemberontakan pada bulan Juli.

Kepada mereka beliau menjelaskan bahwa pemberontakan itu terlalu dini, dan beliau meninggalkan Banten sebelum pemberontakan pecah. Dan jika pemberontakan itu berhasil, ia akan mengundang Syekh Abdul Karim dan Syekh Nawawi untuk datang ke Banten dan ikut serta dalam perang sabil.

Di Makkah Haji Marjuki melanjutkan pekerjaan lamanya, yatu mengajar nahwu, sharaf, dan fiqih. Muridnya tergolong banyak. beliau juga tidak pernah menyembunyikan sikap politiknya. beliau misalnya mengecam pemberontakan yang dipimpin Haji Wasyid yang dinilainya terlalu pagi dan menimbulkan korban yang sia-sia. Menurutnya, agar berhasil, pemberontakan harus pecah di seluruh Nusantara, selain bahwa pemberontak harus punya cukup uang dan senjata.

Karena pendapatnya itu, terjadilah perselisihan yang sulit didamaikan dengan Haji Wasyid dan kawan-kawan. Dan kepada mereka ia mengatakan bahwa tangan kananya yang berpuru tidak memungkinnya aktif dalam perjuangan. Andaikan dia tetap di Banten, ia pasti akan menghadapi dilema, dibunuh oleh seradu-serdadu Belanda atau tidak berbuat apa-apa dan menghadapi risiko tindakan pembalasan Haji Wasyid.

Maka hanya satu alternatif pergi ke Makkah. Lagi pula istri dan anak-anaknya masih ada di sana. Apakah alasana-alasan itu merupakan dalih yang dibuat-buat untuk meninggalkan medan pertempuran menjelang saat meletusnya pemberontakan, dan merupakan bukti bahwa pada saat-saat terakhir Haji Marjuki hanya mementingkan keselamatannya sendiri? .

Kedudukan pribadi yang sulit seperti itu, sebenarnya pernah dialami beberapa tahun sebelumnya oleh guru Haji Marjuki sendiri, Syekh Abdul Karim. Hanya saja sang guru tampaknya lebih “beruntung” karena keburu dipanggil untuk menggantikan kedudukan Syekh Ahmad Khatib Sambas.

Bukankah Syekh Abdul Karim  dulu, ketika masih di Banten, berpendapat bahwa rakyat sebenarnya belum siap untuk mengadakan pemberontakan? Bahkan, di tahun-tahun ketika murid-muridnya tidak sabar menungu “fatwa” untuk mulai berjihad, beliau tidak pernah memberikan kepastian waktu. Sementara itu, sebagai kyai agung dan pengaruh, ia dituntut untuk merestui dan secara tidak langsung memimpin pemberontakan. Jadi, apakah sang murid kesayangan sebenarnya hanya mengikuti pendapat gurunya, Syekh Abdul Karim? Wallahu a’lam.

Yang pasti, setelah pemberontakan dipadamkan, pemerintah kolonial terus memburu orang-orang yang terlibat atau mereka yang diduga terlibat dalam terlibat. Ada yang dihukum mati dengan cara digantung di Alun-alun Cilegon, diasingkan, dipenjara, dan, yang laing ringan, dikenai hukuman kerja paksa.

Beberapa pemimpin pemberontak berhasil meloloskan diri, dan di antaranya ada yang lari ke Makkah. Dan meskipun diburu sampai Tanah Suci, pemerintah tidak bisa menjangkau mereka. Sementara itu, Syekh Abdul Karim dan Haji Marjuki terus dimata-matai.

Sekarang, jejak Syekh Abdul Karim kita temukan dalam perbagai kumpulan tarekat. Organisasi-organisasi tarekat di Tanah Air, terutama Jawa (di pesantren-pesantren Cilongok, Tangerang, Pagentongan, Bogor, Suralaya, Tasikmalaya, Mranggen, Semarang, Bejosa dan Tebuireng, keduanya di Jombang), yang paling berpengruh dan memiliki puluhan ribu pengikut, menyambungkan silsilah mereka ke Syekh Abdul Karim.

5. Chart Silsilah Sanad

Berikut ini chart silsilah sanad guru Syekh Abdul Karim Banten dapat dilihat DI SINIdan chart silsilah sanad murid beliau dapat dilihat DI SINI.

6. Referensi
NU Online


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 06 September 2022, dan kembali diedit dengan penyelarasan tanggal 12 Februari 2024.

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya