Kiprah Tokoh Muda NU dari Luar Jawa yang Terlupakan (3)

 
Kiprah Tokoh Muda NU dari Luar Jawa yang Terlupakan (3)

LADUNI.ID, Jakarta - Tulisan ini merupakan kelanjutan  dari tulisan KH. Ahmad Baso sebelumnya, yang berisi tentang sejarah beberapa riwayat tokoh muda NU dari luar Jawa, ternyata kini banyak dilupakan. Meski dari luar Pulau Jawa, tokoh-tokoh ini banyak berkontribusi untuk NU kala itu. Siapa saja mereka? Bagaimana kontribusinya pada NU?

Berikut tulisan KH Ahmad Baso yang kami kumpulkan secara berseri. Selamat membaca.

***

5. KH. Ridwan Sjachrani

KH. Ridwan Sjachrani lahir 1910 di Banjarmasin, guru di beberapa madrasah di Kalimantan, di tahun 1930-an jadi pegawai KUA Kabupaten Banjar. Beliau adalah tokoh NU organisatoris ulung dari Kalimantan selatan sekaligus pendiri Musyawaratut Thalibin di Banjarmasin dalam usia 21 tahun.

Sejak tahun 1932 gabung ke Partai Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) berbasis di Kalimantan Selatan, yang dibentuk pada tahun 1930 oleh Merah Johansyah dan Masri. PBI lalu berfusi dengan Budi Utomo dan organisasi lainnya di Jawa hingga menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) di tahun 1935 di bawah pimpinan dr. Soetomo.

Lalu pada 1951 beliau gabung ke NU, dan menggerakkan mesin organisasi NU di Kalimantan Selatan, hingga memenangkan suara Partai NU di Pemilu 1955 dengan mengantongi 3 kursi DPR RI. Salah satunya diraih KH. Ridwan Sjachrani sendiri, sisanya diraih Mochamad Hanafiah dan Nj. Asmah Sjahchruni, tokoh aktifis perempuan NU. Beliau memang dikenal unggul mengorganisir NU, terutama sayap perempuannya.

Dalam usia 21 tahun beliau mendirikan Musyawaratut Thalibin di Banjarmasin pada tanggal 2 Januari 1931 bersama Haji Majedi Effendi dan Haji Amin. Menurut beliau, organisasi ini dibentuk untuk membentengi paham Islam Ahlussunnah wal jamaah di kalangan guru-guru agama dengan "mewujudkan dan menggembirakan cara hidup dan kehidupan dengan mengamalkan segala perintah Allah yang sudah umum dikerjakan oleh ummat Islam di Indonesia dengan mazhab Imam Syafi'i berdasar al-Qur'an, Hadis, Ijma dan Qiyas".

Lalu mempunyai beberapa cabang di Kalimantan Selatan, hingga sampai ke pesisir Sumatera seperti Tembilahan, Enok dan Kuala Tungkal, di tempat mana terdapat permukiman orang-orang Banjar perantauan. Seperti Banjarmasin, Kuin, Kandangan, Barabai, Amuntai, Kalua, Samarinda, Balikpapan, Sanga-Sanga Dalam, Kotabaru, Samuda, Senakin, Alabio dan cabang Tembilahan.


Foto: Pengurus organisasi Musyawaratut Thalibin di Banjarmasin, Mei 1932. Duduk paling kanan adalah KH. Ridwan Sjachrani. Paling tengah Habib Salim bin Jindan Betawi di depan gedung Musyawaratut Thalibin, Jalan Pasar Lama (Jl. Andalas) Banjarmasin.

Lahul Fatihah ....

***

6. Nj. Hj. Aisjah Dachlan

Nj. Hj. Aisjah Dachlan adalah tokoh muda penggerak organisasi perempuan santri untuk kemajuan Aswaja, Partai NU dan Islam Nusantara. Beliau lahir pada tahun 1921 di  Padang Pariaman, Sumatera Barat, tepatnya di Jalan  Hadji Agus Salam 47 Kab. Padang Pariaman, Sumatera Barat.

Beliau nyatri di Madrasah Sumatra Thawalib Padang Panjang, lalu di De Meisjes Vervolg School (Sekolah Lanjutan untuk Anak Perempuan), lalu guru di Darul Ma'arif Islamic Collage.

Setelah itu menjadi guru di Sumatra Thawalib pada 1938, di P.M.D.S Pariaman (Ikatan Pelajar), juga guru pada Madrasah Thawalib Puteri Padang Panjang, sejak 1941 Guru Kepala pada Taman Pendidikan Puteri Islam Airbangis Sumatra Barat. sejak 1947 jadi guru pada Sekolah M.I.N Padang Panjang.

Di jaman Jepang 1942-1945, aktif di Sumatra Hokokai dan Fujinkai. Di masa revolusi kemerdekaan 1945-1949, menjadi Ketua Umum bahagian Putri GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), dan juga  salah satu Ketua Kongres Wanita Sumatra Barat, dan sebagai sekretaris umum Badan Pembantu Ketjilakaan Kurban Perang  (BPKKP) pada Kantor Gubernur Militer di Sumatra Tengah.

Selama menjadi pimpinan bagian putri GPII yang didirikan pada 2 Oktober 1945 oleh KH. Wachid Hasjim, dkk., Nj. Aisyah aktif menyatukan aspirasi para pemudi Muslim dari berbagai latar belakang pendidikan. Pada tahun 1946 ikut dalam kongres Persatuan Perjuangan (PP) di Purwokerto yang diketuai Tan Malaka. GPII Putri lalu menjadi pelopor penyebaran gagasan-gagasan nasionalisme dan kemerdekaan 100 persen di kalangan para pemudi Muslimah dan para santri putri. Apalagi dalam posisi beliau sebagai guru agama Islam, maka penyebaran gagasan-gagasan Islam kebangsaan ini tercapai dengan mudah.

Setelah revolusi, beliau menikah dengan Ketua PBNU, KH Mochamad Dachlan (Menteri Agama periode 1967-1971).

Nj. Hj. Aisjah Dachlan juga menjadi Ketua Umum PP Fatajat NU, dan Wakil Ketua PB Muslimat NU. Pasca Pemilu 1955 terpilih sebagai anggota Konstituante (9 November 1956-5 Juli 1959) mewakili Partai NU. Lahal Fatihah ...(*)

***

Penulis: KH Ahmad Baso
Editor: Muhammad Mihrob