Biografi KH. Hasan Saifourridzall, Pengasuh Pesantren Genggong

 
Biografi KH. Hasan Saifourridzall, Pengasuh Pesantren Genggong
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi Biografi KH. Hasan Saifourridzall Genggong

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-guru Beliau
3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Masa Kecil Beliau
3.2  Menjadi Pengasuh Pesantren
3.3  Pejuang Kemerdekaan
4.    Keistimewaan Beliau
5.    Chart Silsilah Sanad

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
KH. Hasan Saifourridzall lahir pada 28 Oktober 1928 atau yang bertepatan pada 13 Jumadil Awal 1347 H di Desa Karangbong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Mohammad Hasan dan Nyai Hj. Siti Aminah binti H. Bakri.

Nama kecil KH. Hasan Saifourridzall adalah Non Ahsan. Nama Hasan Saifourridzall didapatkan beliau saat menunaikan ibadah haji. Nama tersebut diajukan beliau kepada seorang wali dan ulama besar di masa itu yaitu Sayyid Muhammad Amin Al-Kutbi.

Ketika nama itu diajukan Sayyid Muhammad Amin Al-Kutbi mengatakan, saya belum pernah memberi nama seperti ini, Sayyid Amin bertanya, kamu dari mana? Dari Indonesia jawab Kyai Non Ahsan.

Sayyid Muhammad Amin Al-Kutbi bertanya lagi, kamu putranya siapa? Kyai Non Ahsan menjawab saya putra KH. Muhammad Hasan Genggong.

Sayyid Amin Al-Kutbi berkata kepada Kyai Non Ahsan bahwa KH. Muhammad Hasan adalah seorang 'Allamah (sangat Alim dan luas pengetahuan ilmu agamanya) setelah itu Sayyid Muhammad Amin Al-Kutbi menyetujui nama itu untuk digunakan Non Ahsan.

1.2 Riwayat Keluarga
KH. Hasan Saifourridzall menikah dengan Nyai Hj. Himami Hafshawati pada tahun 1952. 

1.3 Wafat
Jauh-jauh hari Kyai Hasan Saifourridzall telah mengetahui bahwa beliau akan wafat hari Jum'at. Suatu hari, beliau sempat meminta kepada putra-putri beliau agar tidak dibawa ke rumah sakit, meski saat itu beliau sedang sakit parah. Pada suatu hari Senin, karena parahnya sakit yang diderita, beliau merasakan kakinya sudah dingin, detak jantungnya pun melemah. Lalu Kyai Hasan Saifourridzall berkata, "aku kok mau dicabut sekarang, aku mau meninggal hari Jum'at."

Siang hari Jum'at, 13 Juni 1991 ketika salah seorang khadim beliau Anam sedang menemani beliau, Kyai Hasan Saifourridzall bertanya kepada Anam, "Kamu mau minta apa padaku?" Anam khadim beliau pun menjawab, "tidak minta apa-apa Yai." Pertanyaan itu diulang sampai tiga kali, Anam pun menjawab dengan kalimat yang sama.

Setelah itu Kyai Hasan Saifourridzall menepuk bahu Anam sebanyak tiga kali seraya mengatakan, "Akhlaq, Akhlaq, Akhlaq Nam." Tak lama setelah itu KH. Hasan Saifourridzall wafat.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Pendidikan

Kehidupan Kyai Non Ahsan bersama ibunda beliau boleh dibilang tidak serba berkecukupan. Meski berangkat dari kondisi yang seperti itu, beliau masih bersemangat untuk menuntut ilmu. Baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Beliau tercatat sebagai salah satu murid di bangku Madrasah Ibtidaiyah di wilayah Kota Probolinggo hingga kelas 5. Sementara pendidikan kelas 6 dijalani di sekolah rakyat (SR; setingkat SD) di Bondowoso pada tahun 1940.

Memasuki usia 16 tahun, saat itu tahun 1944, Kyai Non Ahsan diminta untuk kembali ke Ponpes Genggong oleh sang ayahanda beliau, KH. Mohammad Hasan. Sang ibunda mengizinkan Kyai Non Ahsan berkumpul kembali dengan ayahanda beliau itu.

Panggilan sang ayahanda dipenuhi Kyai Non Ahsan. Sekitar 2 tahun hingga berusia 18 tahun, Non Ahsan menuntut ilmu di Ponpes Genggong. Beliau belajar langsung di bawah bimbingan dan pengawasan ayahanda beliau yakni KH. Muhammad Hasan Genggong.

Kyai Non Ahsan merupakan anak yang teladan dan istiqomah. Beliau tidak pernah meninggalkan sholat wajib berjamaah, salat sunnah Dhuha berjamaah, dan membaca wirid.

“Kalian harus rajin sholat berjamaah. Saya sendiri, tidak pernah meninggalkan sholat berjamaah sejak usia 12 tahun dan sholat Dhuha tidak pernah lowong sejak usia 15 tahun,” ujar Kyai Saiful Islam putra beliau menirukan pesan KH. Hasan Saifourridzall.

Pada tahun 1946 atau pada saat usia beliau 18 tahun, Kyai Non Ahsan berangkat menuntut ilmu di sejumlah pondok pesantren. Khususnya pondok pesantren yang diasuh oleh sahabat-sahabat ayahanda beliau saat mondok di Madura. Di antaranya:

  1. Pesantren Tebuireng Jombang, yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari,
  2. Ponpes Peterongan, Jombang,
  3. Ponpes Lirboyo, Kediri.

2.2 Guru - Guru beliau

  1. KH. Muhammad Hasan Genggong. (ayah),
  2. KH. Hasyim Asy’ari,
  3. KH. Romli Tamim,
  4. KH. Abdul Karim Lirboyo.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Masa Kecil Beliau
Masa kecil Kyai Non Ahsan banyak memberikan gambaran betapa sulitnya beliau menjalani kehidupan. Tak banyak kisah indah yang beliau lalui saat itu. Hal itu bermula ketika kedua orang tua beliau, KH. Mohammad Hasan dan Nyai Hj. Siti Aminah mengalami firaq (perceraian). Pada perkembangannya, Kyai Non Ahsan menjalani kehidupan bersama sang ibunda.

Kyai Non Ahsan dan ibunda beliau pernah tinggal di Kabupaten Bondowoso selama beberapa saat. Ibu dan anak ini juga tinggal di Jl. KH. Ahmad Dahlan, Kelurahan Kebonsari Kulon, Kecamatan Mayangan, (kini Kecamatan Kanigaran), Kota Probolinggo. Hingga kini, rumah tersebut ditempati kerabat Kyai Non Ahsan dari ibunda beliau.

Kyai Non Ahsan kecil tak segan berjualan makanan ringan, sebagai pedagang asongan. Lokasi berjualan Kyai Non Ahsan kebanyakan di kawasan terminal Bayuangga. Sebagaimana pedagang asongan lain, yang dijual tentu makanan seperti kacang, telur asin, permen, dan minuman.

Tak hanya di terminal, beliau juga menjajakan dagangannya pada saat ada pertandingan sepak bola. Untuk melepas penat, sesekali beliau bermain bola bersama teman sebayanya. Khususnya pada saat lapangan sepak bola tidak sedang digunakan. Beliau juga mengantarkan kacang goreng dan makanan ringan lainnya ke toko-toko.

Didikan yang tepat dari orang tua membuat Kyai Non Ahsan tumbuh menjadi pribadi yang mengesankan. Beliau dikenal sebagai anak tawaddhu' (patuh). Sikap patuh yang tinggi diwujudkan dalam keseharian beliau. Di hadapan sang ibunda, tak sekalipun Kyai Non Ahsan mengucapkan kata “tidak”. Khususnya ketika beliau diperintahkan untuk melakukan sebuah tugas.

Sikap itu juga ditunjukkan ketika ibunda beliau marah karena suatu hal. Kyai Non Ahsan hanya menundukkan kepala. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut beliau sebagai bentuk membantah. Justru beliau memohon pada ibunda beliau agar sudi mengampuni kesalahan beliau. Sikap itu ditularkan kepada kerabat beliau yang lain.

Setiap kali Kyai Non Ahsan hendak keluar rumah, beliau selalu berpamitan kepada sang ibunda. Beliau akan keluar jika ibunda beliau mengizinkan. Namun sebelum benar-benar keluar rumah, Kyai Non Ahsan pasti menanyakan lebih dulu, apakah ibunda beliau membutuhkan Kyai Non Ahsan untuk sejumlah keperluan. Jika sang ibunda memerlukan, kyai Non Ahsan pun mengurungkan niat keluar rumah.

Cara Kyai Non Ahsan berpamitan pada ibunda beliau, tak seperti kebanyakan orang. beliau dengan sepenuh hati selalu mengecup sekujur telapak kaki ibunda beliau. Dalam pengertian “surga di bawah telapak kaki ibu”, Kyai Non Ahsan sudah melakukannya sejak kecil, tanpa perlu mengucapkan kalimat itu sendiri.

Kyai Non Ahsan secara istiqomah berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat. Beliau juga mengajak kerabat beliau ke masjid. Tak hanya itu, beliau juga senantiasa membimbing bocah lain yang setara atau lebih muda usianya. Rutinitas beribadah di masjid itu beliau lakukan setiap hari, sepanjang hidup beliau.

Kyai Non Ahsan pantang terlambat dalam menunaikan shalat berjamaah. Beliau memahami betul manfaat dari shalat berjamaah itu. Hal itu mendasari beliau untuk terus mengajak keluarga beliau, untuk istiqamah menunaikan ibadah shalat berjamaah di masjid.

3.2 Menjadi Pengasuh Pesantren
KH. Hasan Saifourridzall merupakan pengasuh pesantren ketiga Pondok Pesantren Genggong. Didirikan oleh KH. Zainal Abidin pada awal abad 19, pengasuh kedua ponpes ini adalah KH. Mohammad Hasan. Beliau menjadi pengasuh pada kurun 1890-1952 masehi, dan wafat pada tahun 1955. Namun sebelum wafat, KH. Mohammad Hasan menyerahkan tongkat kepemimpinan pesantren kepada KH. Hasan Saifourridzall pada 1952.

Prosesi penyerahan amanat itu cukup mengharukan. KH. Mohammad Hasan memberikan sebuah peci berwarna putih. Peci itu dipakaikan langsung oleh beliau sebagai simbol pergantian kepemimpinan. Sejak itulah segala hal yang bersangkutan dengan pesantren diserahkan kepada KH. Hasan Saifourridzall.

Kematangan pengetahuan beliau tak hanya di bidang yang lumrah dikenal seorang ulama. Namun beliau juga memiliki kemampuan menggubah syair, menciptakan lagu, hingga mengaransemen sendiri lagu tersebut. Vokalisnya adalah para santri sendiri, putra-putri. Pada 1990-an, sebuah album musik pesantren diterbitkan. Album ini cukup populer di kalangan sejumlah ponpes lain binaan Ponpes Genggong.

Lain lagi ketika Kyai Hasan berinisiatif membentuk grup drum band yang beranggotakan para santri. Awalnya langkah tersebut sempat ditentang kalangan ulama. Namun langkah itu justru diikuti kalangan ulama tersebut. Justru banyak pesantren lain berlomba-lomba membentuk drum band. Kyai Hasan Saifourridzall menunjukkan bahwa pesantren bukanlah kalangan yang kaku.

3.3 Pejuang Kemerdekaan
Menilik pada sejarah panjang kehidupan beliau, patriotisme membela negara adalah salah satu bentuk ibadah dan pengabdian beliau kepada bangsa. Seakan beriringan dengan semangat kelahiran sumpah pemuda yang bersamaan dengan kelahiran beliau.

Sebuah bukti, tak lain ketika terjadi agresi militer belanda ke-2 pada 1948. Kala itu usia beliau masih 20 tahun, KH. Hasan Saifourridzall sudah memimpin perang gerilya di Tulangan, Sidoarjo. Beliau tergabung dalam Laskar Hizbullah.

Sebelum terjun ke medan Sidoarjo, KH. Hasan Saifourridzall pernah melempar granat toko seorang antek Belanda. Usai melakukannya, beliau menyampaikan kejadian itu kepada sang ayahanda, KH. Mohammad Hasan. Namun sang putra ditegur ayahanda, “Kok digranat nak? Nanti Belanda marah. Kasihanilah masyarakat”. tegur KH. Mohammad Hasan.

Sejak kejadian itulah KH. Hasan Saifourridzall diizinkan menjadi tentara dan bergabung dengan pasukan Hizbullah. Restu ayahanda beliau itu makin mendorong beliau untuk berjuang di garis terdepan.

KH. Hasan Saifourridzall mendapat tugas dari ayah beliau untuk melakukan penyimpanan senjata para gerilyawan di pesantren Genggong. Rupanya tugas beliau ini tercium oleh mata-mata antek Belanda, yang kemudian melaporkannya ke pihak pasukan Belanda.

Tidak lama kemudian datanglah pasukan Belanda ke pesantren dan mengadakan penggeledahan. Tapi mereka tidak menemukan sepucuk senjata apapun.

Karena penasaran dan marah, mereka menangkap KH. Hasan Saifourridzall dan bermaksud membawa beliau ke markas pasukan Belanda dengan Truk. Namun saat truk hendak dijalankan, tiba-tiba mesin truk itu mati. Akhirnya KH. Hasan Saifourridzall tidak jadi dibawa ke markas pasukan Belanda.

Setelah KH. Hasan Saifourridzall turun dari truk mesin truk kembali bisa dihidupkan dan dapat dijalankan, kemudian mereka menaikkan kembali KH. Hasan Saifourridzall ke atas truk dan kembali truk tersebut mati. Akhirnya Belanda menyerah dan kembali ke markas dengan tangan kosong. Entah kenapa di tengah perjalanan 3 km dari arah Utara Pajarakan truk Belanda tersebut terguling.

4. Keistimewaan Beliau
KH. Hasan Saifourridzall Muda dikenal sosok pemuda yang cerdas. Kecerdasan itulah yang memudahkan beliau menuntut ilmu. Karena itu cukup sering KH. Hasan Saifourridzall diajak sang ayahanda untuk mengikuti berbagai acara pengajian. Bahkan pernah diundang untuk berceramah di pengajian umum. Pertama kali menjadi muballigh adalah ketika usia beliau masih 10 tahun. Saat itu, beliau masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI).

5. Chart Silsilah Sanad
Berikut ini chart silsilah sanad guru KH. Hasan Saifourridzall Genggong dapat dilihat di sini.

 

Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 05 September 2022, dan diedit kembali dengan penyalarasan bahasa tanggal 28 Oktober 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya