Jejak Perjuangan Kiai Mas Mansur: Dari Ndresmo Hingga Brangkal

 
Jejak Perjuangan Kiai Mas Mansur: Dari Ndresmo Hingga Brangkal

LADUNI.ID, Jakarta - Kali ini penulis ingin mengajak pembaca menyelami jejak dakwah dan perjuangan KH. Mas Mansur Ndresmo. Pastinya, bukan Kiai Mas Mansur yang juga masyhur dan akhirnya menjadi tokoh Muhammadiyah. Tapi, Kiai Mas Mansur ayahanda KH. Mas Ahmad Muhajir Ndresmo, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Annajiyah Ndresmo Surabaya.

Menurut catatan yang ditemukan dalam kitab "Tasynif al-Asma’ bi Syuyukh al-Ijazah wa al-Sama’" karya Dr. Mahmud Said ibn Muhammad Mamduh al-Syafii, halaman 696-697, bahwa:

“Kiai Mas Mansur adalah turunan sadah (Alawiyyin) dari fam atau marga Basyaiban, penyebar Islam dan pejuang, yang dilahirkan pada tahun 1302 atau –diperkirakan 1885-.  Beliau pernah belajar kepada Habib Abdullah ibn Syaikh Balfaqih. Dalam kondisi hafal al-Quran, lantas melanjutkan belajar ke pesantren Demangan Bangkalan asuhan al-Allamah KH. Kholil ibn Abd Latif dengan takhassus tarekat dan lain-lain. Pernah belajar pula ke Makkah pada Syaikh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah al-Makki, Syekh Ahmad ibn Umar Barakat, Syekh Umar Bajunaid mufti Syafi’iyah, Syekh Syueib ibn Abd al-Rahman al-Shiddiqi al-Makki al-Maghribi, dan lain-lain.”

“Setelah dipandang cukup, Kiai Mas Mansur kembali ke Surabaya untuk berdakwah dan menyebarkan ilmu. Dari sini banyak orang-orang atau santri tertarik untuk belajar dan berharap keberkahan doa-doa beliau. Tapi, sayangnya, era Jepang datang banyak kiai-kiai dipenjara, termasuk Kiai Mas Mansur. Dan –sikap tidak mau kompromi dengan Jepang ini mengantarkan beliau harus meningggal--, setelah sebelumnya disiksa berkali-kali –untuk tetap bersikap keras tidak mengikuti perintah untuk Seikerie–tradisi membungkuk seperti rukuk menghadap matahari atau menolak semua kebijakan Jepang--. Beliau meninggal di penjara tahun 1360 –diperkirakan tahun 1942.” 

Lantas apa kaitannya Kiai Mas Mansur dengan Brangkal, tepatnya pesantren dan Masjid al-Ichsan Brangkal? Padahal Kiai Mas Mansur adalah tokoh pesantren dan pejuang dari Ndresmo Surabaya dan Brangkal adalah masuk wilayah Sooko Mojokerto. Berdasarkan info awal dari beberapa nara sumber, dan penelusuran penulis di lapangan, maka penulis ingin memastikan; memang ada hubungan antara Kiai Mas Mansur dengan pesantren atau Masjid al-Ichsan Brangkal, bahkan banyak cerita hikmah dan teladan kaitan hubungan ini sehingga generasi hari ini layak mengetahui dan banyak belajar.

Secara fisik hubungan ini bisa ditemukan, pada nama Masjid al-Ihsan Brangkal, yang ternyata juga tersebut nama “Masjid al-Basyaiban Brangkal Sooko Mojokerto”. Kedua nama ini termaktub di area dalam masjid, yang berbeda hanya tempatnya. Nama “Masjid al-Basyaiban” menempel jelas di atas dengan tulisan yang besar dengan estetika kuno bentuk ukiran tembok di area dalam Masjid, khususnya pada bagian depan bangunan lama, sementara nama Masjid al-Ichsan ditemukan di beberapa tempat, mulai tempat pengumuman hingga depan masjid yang sangat nampak bila dilihat dari lintasan jalan raya, Mojokerto-Jombang.

Secara khusus, penyebutan al-Basyaiban memiliki kaitan dengan Kiai Mas Mansur. Pasalnya, al-Basyaiban masyhur dikenal merupakan nama fam atau marga turunan Arab yang ada kaitannya dengan Kiai Mas Mansyur, yakni keturunan Syaikh Abdurrahman Basyaiban, ayahanda Sayyid Sulaiman yang makamnya di Mojoagung Jombang. Tak anyal, penyebutan al-Basyaiban menyisakan banyak cerita, mulai spirit dakwah hingga perjuangan membela NKRI sebab ketika itu masjid dirintis pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Karenanya, Meskipun resminya hari ini Masjid Brangkal diberi nama Masjid al-Ichsan, tapi mana al-Basyaiban tetap ada untuk mengingat spirit Kiai Mas Mansur.

Sebagai tambahan, Masjid ini berada dalam area Pondok Pesantren al-Ichsan Brangkal, yang diasuh oleh KH. Chusen Ichsan, dan diteruskan oleh putra-putrinya. Kiai Chusen memiliki kedekatan khusus dengan Kiai Mas Mansur, bahkan sebagian riwayat menyebutkan bahwa Kiai Chusen sebagai anak angkat (bisa jadi anak ideologis). Karenanya, ketika Kiai Mas Mansur sudah kembali ke Ndresmo, setiap kali memutuskan persoalan serius Kiai Chusen harus konsultasi ke Kiai Mas Mansur Ndresmo, termasuk berkomunika dengan putranya Kiai Ahmad Muhajir Mansur yang sempat singgah mengajar di Pesantren al-Ichsan, ketika menjadi target penjajah. Dengan begitu, Kiai Chusen selalu mengingatkan kepada siapapun –terlebih putra-putrinya-- agar tidak merubah jejak-jejak perjuangan Kiai Mas Mansur di Masjid Brangkal.

Soal simbol spirit penjuangan orang terdahulu, layak bahkan penting untuk diselamatkan sebagai titik pijak kita kali ini untuk berpikir, merenungi dan meneladani bagaimana ketulusan orang-orang terdahulu berdakwah dan mencintai bangsanya (hubbub al-wathan)  di tengah kondisi tidak secanggih hari ini. Kita terkadang memandang orang terdahulu kolot, dan tidak jarang atas nama modernitas semua simbol-simbol warisan harus dibongkar. Padahal simbol terdahulu –baik tulisan, ukiran dan lain-lain-- bukan sekedar barang mati, tapi memuat banyak makna yang membangkitkan semangat hidup dan spiritualitas seseorang. Bukankah esensi kita sebagai manusia –mengutip neo-Kantian Jerman Ernst Cassirer-- adalah makhluk simbolik (homo symbolicum).

Karenanya, ada cerita menarik –khususnya dalam konteks pengelolaan Masjid. Konon suatu ketika, pengurus takmir Masjid al-Ihsan ingin merenovasi kuba masjid, yang merupakan salah satu simbol warisan Kiai Mas Mansyur. Sebagian takmir melarang agar tidak dirombak sesuai dengan amanat yang disampaikan oleh Kiai Chusen ketika masih hidup. Tapi takmir yang lain memaksa, dengan pertimbangan perlunya modernisasi bangunan masjid agar semakin menarik, apalagi masjid ini berada ditempat strategis dekat jalan raya.

Perdebatan tidak kunjung selesai, akhirnya terpaksa dibangun, dan yang takmir lainnya mengalah. Proses renovasi terus dilakukan, tapi akhirnya tidak begitu lama yang memaksa membangun harus menyerah diri untuk menghentikan bangunan sebab ia selalu bermimpi dikejar-kejar ular.

Untuk menghilangkan rasa was-was dan takut, rombongan takmir akhirnya harus pergi ke Ndresmo dalam rangka konsultasi spiritual atau ziarah ke makam Ndresmo, yakni makam Kiai Mas Mansur. Harapannya, agar proses renovasi lancar, tapi yang terpenting akhirnya semua takmir menyadari untuk tidak merubah atau merusak total warisan bangunan terdahulu, terlebih warisan jejak Kiai Mas Mansur, seperti kuba masjid, blumbangan jeding tempat wudhu, dan lain-lain. Setelah itu, tidak ada lagi mimpi-mimpi di kejar ular besar.

Cerita ini, bisa percaya bisa tidak. Tapi penulis mendengar langsung dari salah satu takmir, yang juga penderek setia Kiai Chusen Ihsan. Betapapun, ini menjadi pelajaran bersama, bukankah dalam kajian fikih banyak ditemukan argumentasi agar pengelola masjid dimanapun saja berada untuk ekstra hati-hati menggunakan barang-barang masjid, apalagi kaitan kaitan dengan barang-barang yang sengaja diwaqafkan untuk kepentingan masjid. Jangan kemudian atas nama perubahan, lantas merusak atau menghentikan jariah orang terdahulu. Bukankah ini bagian dari kedhaliman?.

Itulah sekilas cerita hubungan –sekaligus jejaring santri-kiai-- Ndresmo Surabaya dan Brangkal Mojokerto; sebuah hubungan yang banyak memberikan makna tentang konsistensi di jalur jihad dalam berdakwah, sekaligus komitmen berjuang membela bangsa dari ancaman penjajah. Semoga kita bisa belajar dan memetik hikmah dan teladan dibalik sejarah singkat. Amin.

"Sukses Haul Mbah Kiai Chusen Ichsan. Mugi keberkahan Terus Mengalir." Amiin.

(Jejak Nyarkub, Brangkal, 13/11/2020)

***

Penulis: Wasid Mansyur
Editor: Muhammad Mihrob