Istri Shalihah dalam Pandangan KH Husein Muhammad (3)

 
Istri Shalihah dalam Pandangan KH Husein Muhammad (3)

LADUNI.ID, Jakarta - Pada artikel sebelumnya dengan judul yang sama, KH Husein Muhammad telah menjelaskan perspektif istri shalihah berdasarkan berbagai pendapat dari ahli tafsir yang berkaitan dengan beberapa hadis Nabi. Tulisan ini merupakan edisi selanjutnya dalam seri artikel keluarga yang membahas tentang istri shalihah dalam pandangan KH Husein Muhammad.

Pandangan para ahli tafsir tersebut dikaitkan dengan sejumlah hadits Nabi Saw. Antara lain hadits yang menyebutkan :

خَيْرُ النِّسَآء مَنْ إِذَا نَظَرْتَ اِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَاِنْ أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ وَاِنْ غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِى مَالِكَ وَنَفْسِهَا

“Perempuan yang shalih adalah perempuan yang menyenangkanmu saat memandangnya,  yang menurut kepadamu ketika kamu memerintahkannya, dan jika kamu pergi, dia menjaga diri dan hartamu.

Hadits lain menyebutkan bahwa perempuan yang shalih adalah yang selalu sabar terhadap kelakuan suaminya dan selalu mengharapkan ridhanya. Nabi misalnya mengatakan : istri yang mati dalam keadaan suaminya ridha (rela), maka dia akan masuk sorga.(H.R. Ibnu Majah). Dalam kesempatan lain beliau mengatakan : Maukah kalian aku tunjukkan perempuan penghuni sorga?. Dialah perempuan yang penuh kasih. Apabila dia menyakiti atau disakiti suaminya, dia segera menarik tangan suaminya, lalu mengatakan : Demi Tuhan, aku tidak akan bisa tidur sampai engkau memaafkan dan ridha kepadaku.

Baca juga: Istri Shalihah dalam Pandangan KH Husein Muhammad (1)

Muhammad Syarif al Shawaf mengatakan bahwa salah satu kriteria perempuan yang shalih adalah adalah perempuan yang sabar atas kondisi ekonomi suaminya. Dia tidak membebaninya di luar kemampuannya. Dia harus menerima sepenuhnya terhadap kenyataan hidup suaminya dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan suaminya. Apabila suami mempunyai utang kepada orang lain, dia harus bisa berhemat sehingga suami dapat melunasi utangnya.

Siti Aisyah r.a suatu saat bertanya kepada Nabi : Siapakah yang lebih diutamakan bagi seorang perempuan?. Nabi menjawab  : suaminya. Lalu, siapakah orang yang paling agung untuk dihormati dari seorang lak-laki ?. Nabi mengatakan : Ibunya.

Hadits ini menurut Al Shawaf menunjukkan bahwa kewajiban seorang perempuan setelah dia menikah adalah memperoleh kerelaan (rida) dari suaminya, taat dan memperhatikan keperluannya. Suami adalah orang yang paling utama daripada yang lainnya, termasuk orang tuanya sendiri. Maka sorang istri yang baik hendaklah menyadari bahwa dirinya sudah pindah rumah, dari rumah orang tuanya ke rumah suaminya, dan kepada suaminyalah dia mengabdikan diri sepenuh hati dan untuk seluruh hari.

Baca juga: Istri Shalihah dalam Pandangan KH Husein Muhammad (2)

Demikianlah gambaran istri shalihah dalam khazanah intelektual Islam. Atau menurut pandangan orang/ulama/sebagian masyarakat. Uraian tersebut tentu saja dapat melahirkan kesan umum tentang posisi istri sebagai manusia domestik yang harus selalu berada di rumah dan tak boleh meninggalkannya bila suami melarangnya. Istri juga dengan begitu diabggap tidak patut beraktifitas di luar rumahnya, meski masyarakat membutuhkannya. Dalam waku yang sama istri juga menjadi manusia subordinat/kelas dua, di bawah laki-laki, inferior, menjadi orang yang menerima dan menjalankan perintah. Sementara laki-laki/suami menjadi orang yang memerintah, nomor satu dan superior.

Kesan ini boleh jadi wajar saja adanya dalam sebuah sejarah kebudayaan. Soalnya adalah bahwa sejauh yang saya pahami teks-teks keagamaan tersebut lahir dari dan dalam sebuah sistem sosial yang patriarkhis. Ketika Islam datang, sistem tersebut masih mengakar dalam kebudayaan Arabia ketika itu, dan Islam kemudian berusaha mereduksi dan memperbaiki secara bertahap sistem tersebut. Ketentuan-ketentuan Islam sebagaimana di atas, sesungguhnya jauh lebih baik bahkan boleh dikatakan lebih progresif pada masanya daripada keadaan yang berlaku sebelumnya. Al-Quran  menyebutkan kata perempuan dan memberinya bagian. Ini tidak terjadi pada masa sebelumnya. Saya kira kita tidak bisa melihat kasus pada masa lalu, di tempat tertentu dan dalam budaya tertentu menjadi ukuran, kacamata dan pikiran serta  aturan kita hari ini di tempat kita berada. Pepatah mengatakan :

لكل مقال مقام ولكل مقام مقال

Li Kulli Maqal Maqam wa li Kuli Maqam Maqal, Setiap wacana ada konteks sosialnya dan setiap konteks sosial ada wacananya.

Saya selalu ingin mengatakan : kasus-kasus atau masalah-masalah partikukar atau aturan-aturan adalah kontekstual. Sementara nilai-nilai kemanusiaan adalah universal.

Bersambung. Sabar

Jangan buru-buru menyimpulkan.

 

(KH Husein Muhammad)