Mengembalikan Pancasila sebagai Kesepakatan Luhur (Modus Vivendi) dalam Sistem Hukum di Indonesia

 
Mengembalikan Pancasila sebagai Kesepakatan Luhur (Modus Vivendi) dalam Sistem Hukum di Indonesia

LADUNI.ID, Jakarta - Mengawali tulisan ini, mari kita renungkan bunyi alinea keempat Pembukaan UUD RI 1945 yang memuat Pancasila sebagai berikut:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,  Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca juga: Pancasila dan Pedagang Sate Madura

Munculnya Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang mulai rame diperbincangkan publik bahkan menjadi topik perdebatan diberbagai media massa, seminar webinar, diskusi-diskusi seakan mengalihkan sejenak konsentrasi publik adanya wabah pandemic covid-19 di Indonesia. Hal itu menunjukan bahwa persoalan RUU HIP menjadi hal yang sangat penting sehingga menjadi perhatian publik karena menyangkut ideologi Negara Indonesia yakni Pancasila.

Tulisan ini secara substansi bukan untuk membedah isi dari RUU HIP, namun semata-mata adalah untuk membawa kita semua agar mengingat, menelusuri dan mengenang kembali bagaimana kedudukan Pancasila sebagai Modus Vivendi (kesepakatan luhur) sehingga menjadi dasar dan ideologi negara bagi Bangsa Indonesia.

Menilik dari petikan alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945 tersebut diatas menunjukan bahwa Pancasila dari dahulu telah dimasukan menjadi bagian dalam Pembukaan (Prembule) UUD NRI 1945 oleh Founding Fathers, istilah Prof. Satjipto Rahardjo menggunakan istilah Founding People yang diikuti pula istilahnya oleh Prof. Dr. Moh. Mahfud MD dalam buku “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”.

Baca juga: Garuda Pancasila, Lambang Negara Hasil Karya Dzurriyah Rasul

Soekarno sebagai proklamator Kemerdekaan dan salah seorang bapak pendiri bangsa (Founding Fathers) telah mencetuskan Pancasila sebagai Dasar Negara, Philosophische grondslag atau Weltanschauung yang menjadi Ideologi NKRI sejak kemerdekaan hingga sekarang. Soekarno Dalam pidatonya saat sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, apa yang disebut  Weltanschauung oleh Soekarno menyangkut lima prinsip yang dia sebut sebagai Panca Sila, yang terdiri :

Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme, atau peri-kemanusiaan; Mufakat, atau Demokrasi; Kesejahteraan Sosial; Ketuhanan.

Kelima prinsip rumusan yang dicetuskan oleh Soekarno tersebut selanjutnya menjadi cikal bakal rumusan sila-sila dalam pancasila dengan urutan 5 sila butirnya:

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa;
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab;
Sila Persatuan Indonesia;
Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan;
Sila Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Pembukaan UUD NRI 1945 yang memuat Pancasila menjadi dasar falsafah Negara yang melahirkan cita hukum (rechtside) dan dasar sistem hukum tersendiri sesuai dengan kepribadian jiwa bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara (Philosophische grondslag atau Weltanschauung) yang terkandung dalam pembukaan UUD NRI 1945 merupakan suatu Modus Vivendi (kesepakatan Luhur) dan harus menjadi sumber dari segala sumber hukum yang memberi penuntun hukum serta mengatasi semua peraturan perundang-undangan, artinya dalam membuat sebuah peraturan perundang-undangan pun harus mencerminkan nilai-nilai pancasila, dan sebaliknya tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan tidak mencerminkan nilai-nilai pancasila, tidak boleh ada hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan yang berkeadaban, tidak boleh ada hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia, tidak boleh ada hukum yang mengancam atau berpotensi merusak keutuhan ideologis dan teritori bangsa dan negara Indonesia, tidak boleh ada hukum yang melanggar prinsip kedaulatan rakyat dan nilai-nilai keadilan sosial.

Fenomena yang ada saat ini RUU tentang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menjadi sebuah Rancangan produk perundang-undangan yang mendapatkan reaksi yang sangat keras dari publik, baik dari kalangan Akademisi, organisasi kemasyarakatan (ormas), organisasi keagamaan bahkan sampai tingkat elit partai politik, hal ini menunjukan bahwa dalam membicarakan konsep Pancasila yang sudah menjadi modus vivendi (kesepakatan luhur) sejak dulu menjadi sangat sensitif, di tengah munculnya informasi adanya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pasca peristiwa G.30 S/PKI sudah dilarang hidup di Bumi Indonesia mulai bermunculan beritanya di dunia maya. Kekhawatiran publikpun beralasan ketika adanya RUU tentang  Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang dikaitkan dengan informasi munculnya organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pembukaan UUD NRI 1945 yang didalamnya terkandung Pancasila menjadi Staatsfundamentalnorms atau pokok-pokok kaidah-kaidah Negara yang fundamental dan tidak dapat diubah dengan jalan hukum.

Prof. Dr. Moh. Mahfud MD dalam buku “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”  mengurai bahwa sistem hukum Pancasila mengambil segi-segi terbaik dari rechtsstaat (eropa kontinental) dan the rule of law (anglo saxon) yang di dalamnya bertemu dalam sebuah ikatan prismatik dan integratif prinsip kepastian hukum dan keadilan substansial.

Dalam penegakan hukum, sistem hukum Pancasila menghendaki kepastian hukum bahwa keadilan telah ditegakkan. Sistem Hukum Pancasila menghendaki penegakan keadilan substansial melalui aturan-aturan hukum yang formal yang menjamin terpenuhinya keadilan substansial.

Permusyawaratan dan sikap Gotong-Royong yang penuh kekeluargaan ditonjolkan didalam sistem hukum Pancasila sehingga membawa perkara ke Pengadilan hanya akan ditempuh apabila penyelesaian secara kekeluargaan tidak dapat tercapai (gagal).

Konsep prismatik sistem hukum Pancasila yang sesuai dengan akar budaya bangsa yang khas telah hidup dalam kehidupan bangsa Indonesia telah ada sejak berabad-abad lampau oleh karenanya harus tetap dijaga sebagai Modus Vivendi (kesepakatan luhur) dan sebagai penuntun dalam politik hukum nasional.

Akhirnya dengan semangat jatidiri dan komitmen terhadap Pancasila sebagai modus vivendi (kesepakatan luhur) dan sebagai penuntun dalam sistem hukum nasional, disaat sekarang tanpa ragu untuk menggelorakan kembali bahwa Pancasila tidak akan tergantikan sebagai dasar dan ideologi negara yang dapat menampung, meramu, mengakomodir dan menghasilkan solusi dengan kearifan dan toleransi atas berbagai kepentingan dan aliran di masyarakat Indonesia yang sangat beragam (majemuk).  (*)

Penulis: Imam Asmarudin, SH., MH