Khutbah Jumat: Pendidikan Agama Islam dan Perubahan Sosial

 
Khutbah Jumat: Pendidikan Agama Islam dan Perubahan Sosial

LADUNI.ID, Jakarta -  Menurut para ahli sosiologi pendidikan, terdapat relasi timbal-balik antara dunia pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat. Relasi ini bermakna bahwa apa yang berlangsung dalam dunia pendidikan merupakan gambaran dari kondisi yang sesungguhnya di dalam kehidupan masyarakat yang kompleks. Begitupun sebaliknya, bahwa kondisi masyarakat, baik dalam aspek kemajuan, peradaban, dan sejenisnya, tercermin dalam kondisi dunia pendidikannya.

Oleh karena itu, majunya dunia pendidikan dapat dijadikan cermin majunya masyarakat, dan dunia pendidikan yang amburadul juga dapat menjadi cermin terhadap kondisi masyarakatnya yang juga penuh dengan persoalan. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi, yaitu, sosialisasi nilai, pengetahuan, sikap, serta keterampilan antar generasi.  Hubungan antara dunia pendidikan dengan masyarakat tidak selalu berbanding lurus. Bahkan di dalam beberapa kasus, seringkali relasi timbal balik tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Representasi dunia pendidikan tidak bisa digeneralisasi secara total untuk mewakili kondisi suatu masyarakat.

Konsekuensi logis yang harus diterima adalah implikasi yang muncul dari  kesenjangan relasi di antara keduanya. Sekarang ini, dunia pendidikan harus berhadapan dengan setumpuk persoalan yang kompleks, baik persoalan dari dunia pendidikan sendiri itu sendiri, maupun persoalan dari luar pendidikan. Rendahnya penyerapan out-put di lapangan kerja, minimnya kreativitas individu produk pendidikan, dan berbagai persoalan lainnya. Kesemuanya itu merupakan bukti adanya kesenjangan antara masyarakat dengan dunia pendidikan.

Selain persoalan-persoalan tersebut, salah satu persoalan yang kini menjadi tantangan besar, termasuk bagi dunia pendidikan, adalah konflik dan kekerasan dalam masyarakat itu sendiri. Kekerasan semakin akrab dengan masyarakat Indonesia. Ada kekerasan dalam skala kecil, tingkat lingkungan, desa, bahkan antar-etnis. Semua fenomena kekerasan yang terjadi membutuhkan kontribusi dunia pendidikan sebagai pemecahannya. Kekerasan tidak bisa diselesaikan secara tuntas dengan pendekatan keamanan semata. Pendekatan pendidikan memiliki kontribusi yang lebih luas dalam memberikan solusi penyelesaian konflik karena mampu membangun kesadaran secara sistematis tehadap pentingnya kehidupan yang damai.

Keragaman pemaknaan pendidikan tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat umum, tetapi terjadi juga di kalangan para ahli pendidikan. Hal itu terjadi karena adanya perbedaan, terutama pada latar belakang sosiologis, pendidikan, budaya, agama, maupun perbedaan-perbedaan lainnya.  Ki Hajar Dewantara sendiri merumuskan hakikat pendidikan sebagai usaha orangtua bagi anak-anaknya dengan maksud untuk menyokong kemajuan hidupnya.

Menurut Darmaningtiyas, pendidikan sebagai usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik. Titik tekan dari definisi ini terletak pada “usaha sadar dan sistematis”. Dari definisi pendidikan di sini, terlihat keragaman makna, namun keragaman tersebut ada titik kesamaan yang dapat dianggap sebagai titik temu, yaitu proses menuju kedewasaan dan memanusiakan manusia.

Keragaman definisi juga terjadi pada istilah pendidikan Islam. Berbeda dengan definisi pendidikan secara umum, maka dalam pendidikan Islam terdapat sebuah karakteristik yang khusus. Misalnya, rekomendasi konferensi internasional pendidikan Islam di Universitas King Abdul Aziz Jeddah 1997 mendefinisikan pendidikan Islam sebagai keseluruhan pengertian yang terkandung dalam istilah al-Ta’lȋm (pengajaran), al-Tarbiyah (pendidikan), dan al-Ta’dȋb (pembiasaan). Berdasarkan pemaknaan ini, maka Abdurahman Al-Nahlawy menyimpulkan bahwa pendidikan Islam sendiri idealnya terdiri dari empat unsur, yaitu (1) menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh, (2) mengembangkan seluruh potensi, (3) mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan, dan (4), dilaksanakan secara gradual atau bertahap.

Pendidikan memiliki kaitan erat dengan setiap perubahan sosial, baik berupa dinamika perkembangan individu maupun proses sosial dalam skala yang lebih luas. Secara tegas, Muhammad Abduh mengatakan bahwa pendidikan merupakan media yang ampuh untuk melakukan perubahan. Pendidikan merupakan pengembangan paradigma intelektual, maka dalam paradigma ini, peserta didik diharapkan akan memiliki mental dan kemampuan teoritik dalam menjalani kehidupannya yang senantiasa berubah seiring dengan laju dan kompleksitas era modern.

Berbagai bentuk perubahan yang tengah terjadi dalam proses pendidikan pada awalnya merupakan sebuah bentuk perubahan paradigmatik yang berada pada wilayah konsepsi pemikiran manusia. Ide ini menemukan ruang artikulasi dalam masyarakat melalui persentuhan ide dalam komunikasi antar personal yang selanjutnya akan membentuk persepsi-persepsi baru. Setiap persepsi yang terbangun di antara personal dalam masyarakat mempunyai kekuatan konsesi dalam menentukan sistem nilai dalam masyarakat.

Fungsionalisasi lembaga pendidikan Islam akan menentukan keberhasilan proses pendidikan secara keseluruhan. Namun perlu juga disadari bersama akan adanya kompleksitas persoalan yang harus dihadapi, terutama berkaitan dengan semakin tingginya tuntutan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk mewujudkan fungsionalisasi ini, dibutuhkan usaha secara simultan dan komprehensif. Langkah penting yang dapat dilakukan untuk mewujudkan fungsionalisasi pendidikan Islam adalah dengan melakukan perubahan paradigma. Salah satu harapan dari perubahan ini adalah agar seluruh komponen dan kekuatan masyarakat terlibat dalam melakukan berbagai perubahan dan perbaikan sektor pendidikan menuju hasil pendidikan yang berkualitas.

Pendidikan yang berkualitas penetrasinya tidak hanya pada satu sisi, yakni penetrasi kognitif, saja. Tema lain pendidikan yang harus benar-benar dibidik adalah etika. Maka dalam hal ini, apabila mengacu pada term etika, secara operational Amin Abdullah mengemukakan bahwa etika sebagai pintu masuk, merupakan proses universal menemui tantangan-tantangan kemanusiaan yang sama. Lewat pintu etika ini pula, seluruh penganut agama-agama dapat tersentuh “religiusitas”-nya. Selain itu, dimensi spritualitas keberagamaan lebih terasa promising and challenging dan bukannya hanya terfokus pada formalitas lahiriah kelembagaan agama.

Etika sendiri memiliki beberapa makna. Pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkahlakunya. Kedua. Kumpulan asas atau nilai moral, atau kode etik. Ketiga, ilmu tentang baik dan buruk. Etika yang dimaksudkan di sini adalah etika dalam pengertian pertama, yaitu etika yang berfungsi sebagai sistem nilai yang operatif. Adapun beberapa prinsip etika dalam Al-Qur’an sebagai pijakan pendidikan Islam dalam hubungan sosial antar umat beragama adalah: Pertama, al-Musāwāt atau prinsip dalam memandang manusia ditakdirkan sama derajatnya. Kedua, al-‘Adālāt, atau prinsip keadilan. Prinsip ini pada dasarnya merupakan implikasi dari konsep takwa. Ketiga adalah al-Tasāmuh atau prinsip toleransi dan spirit berkompetisi dalam rangka melakukan kebaikan atau Istibāq al-Khair. Keempat adalah al-Ukhuwwah atau prinsip saling menghormati, kerja sama, dan menjaga persaudaraan seagama, setanah air, serta antar sesama umat manusia. Kelima, al-Ta’ayusy al-Silmȋ, atau prinsip ko-eksistensi damai yang merupakan dasar hubungan antar manusia sesuai dengan arti generik Islam itu sendiri, yaitu damai. Wallahu A’lam bis Shawab.

Oleh: Ustadz Mohammad Khoiron
Wakil Sekretaris LDNU DKI Jakarta