Biografi Hadhratussyaikh KH. M. Utsman bin Nadi Al-Ishaqi

 
Biografi Hadhratussyaikh KH. M. Utsman bin Nadi Al-Ishaqi
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Nasab
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Mendirikan Pesantren
3.2  Menjadi Mursyid Thariqat
3.3  Penggagas Haul dan Manaqib

4.    Karomah
5.    Chart Silsilah Sanad

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Hadhratussyekh KH. M. Utsman Al-Ishaqi lahir di Jatipurwo, Surabaya pada hari Rabu, bulan Jumadil, Akhir tahun 1334 H. sekitar tahun 1915 M.

1.2 Nasab
Menurut nasab yang sudah tersusun rapi di dalam keluarga, Hadhratussyekh KH. Utsman Al-Ishaqi adalah seorang sayyid dan seorang habib. dari jalur ibu beliau adalah keturunan Maulana Muhammad Ainul Yaqin atau yang biasa disebut sebagai Sunan Giri bin Maulana Ishaq Al-Husaini. Sedangkan ayah beliau adalah keturunan Sunan Gunung Jati yang juga bermarga Al-Husaini. Dengan demikian Hadhratussyekh KH. M. Utsman Al-Ishaqi adalah keturunan Rasulullah SAW. dengan urutan yang ke-38.

Nasab beliau yakni:

  1. Nabi Muhammad SAW,
  2. Ali bin Abi Thalib/Fathimah,
  3. Husain,
  4. Ali Zainal Abidin,
  5. Muhammad Al-Baqir,
  6. Ja’far Ash-Shadiq,
  7. Ali Al-Uraidli,
  8. Muhammad An-Naqib,
  9. Isa An-Naqib Ar-Rumi,
  10. Ahmad Al-Muhajir,
  11. Ubaidillah,
  12. Alawi,
  13. Muhammad,
  14. Alawi,
  15. Ali Kholi’ Qasam,
  16. Muhammad Shohib Mirbath,
  17. Alawi,
  18. Abdul Malik,
  19. Abdullah Khan,
  20. Ahmad Syah Jalalul Amri,
  21. Jamaluddin Al-Akbar Al-Husain,
  22. Barokat Zainul Alam,
  23. Ali Nurul Alam,
  24. Ibrahim Al-Akbar,
  25. Maulana Ishaq,
  26. Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri),
  27. Ali Sumodiro,
  28. Fadhlullah Sido Sunan Prapen,
  29. Pangeran Kawis Guo,
  30. Panembahan Agung Sido Mergi,
  31. Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana,
  32. Ki Panembahan Bagus,
  33. Ki Ageng Mas,
  34. Mbah Jarangan,
  35. Mbah Deso,
  36. Abdullah,
  37. Surati,
  38. Muhammad Utsman.

1.3 Wafat
Hadhratussyekh KH. M. Utsman Al-Ishaqi wafat di Rumah Sakit Islam Surabaya pada saat Tarhim Subuh di hari Ahad tanggal 8 Januari tahun 1984 Masehi yang bertepatan dengan tanggal 5 Robi’uts Tsani tahun 1404 Hijriyah dan dimakamkan di Pondok Sepuh, di Jatipurwo VII/15, Kelurahan Ujung, Kecamatan Semampir.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Pada suatu hari Kyai Utsman sampai larut malam tidak pulang dari madrasah seperti biasanya pada jam 10.00 pagi, sehingga orang tua mengkhawatirkan keadaannya. Maka Imam Raudhah Kyai Nur, atas izin orang tua beliau, berangkat mencari Kyai Utsman, dan diberitakan bahwa Kyai Utsman berada di pondok Kyai Khozin Panji, maka Kyai Nur pun berangkat ke sana.

Tetapi sesampai Kyai Nur di Siwalan Panji, Kyai Utsman sudah pindah ke pondok Kyai Munir Jambu Madura. Setelah orang tua beliau mendengar kabar yang demikian itu, beliau mengatakan: “Tidak usah mencari Utsman, yang penting dia sehat.”

Setelah beberapa lama tinggal di pondok, beliau sakit keras, maka terpaksa beliau pulang ke rumah. Setelah berobat beliau akhirnya sembuh kembali. Kemudian Kyai Utsman dipondokkan ke Hadhratussyekh KH. Hasyim Asy’ari di Tebuireng.

Selanjutnya beliau dipondokkan ke Kyai Romli Peterongan Jombang. Pada waktu itu Kyai Utsman benar-benar terikat, beliau mengatakan: “Sewaktu saya dikirim oleh orang tua saya ke pondok, sarung saya hanya satu lembar. Apabila najis maka saya memakai tikar sebagai gantinya untuk shalat. Dan selama saya di pondok, saya tidak pernah pulang ke rumah kecuali badan saya sudah kurus benar. Sebab apabila saya pulang dan badan saya gemuk, saya dimarahi oleh orang tua dan nenek. Pernah pada suatu hari saya pulang badan saya gemuk, spontan nenek saya mengatakan: “Kalau kamu tinggal di pondok hanya untuk makan dan minum, lebih baik tinggal di rumah saja!”

Suatu hari saat kepulangan Kyai Utsman dari pondok, beliau menyaksikan adanya hubungan-hubungan khusus yang diselenggarakan oleh tujuh orang pemuda dan tujuh orang pemudi setiap hari di samping mushola depan rumah beliau.

Melihat hal yang tidak senonoh itu, akhirnya beliau adukan kepada Kyai Romli dengan mengatakan: “Kyai, saya melihat ada mutiara di dalam air yang keruh dan najis, apakah saya harus mengentasnya (menyelamatkanya)?”

Kyai Romli menjawab: “Entaslah wahai Utsman! Dengan syarat hatimu tidak berpaling kepadanya. Kalau hatimu berpaling kepadanya, maka kamu tidak akan berjumpa denganku besok di Mahsyar.”

Maka beliaupun mengumpulkan pemuda dan pemudi yang berjumlah 14 orang itu di rumah beliau setiap malam. Beliau ikuti pembicaraan-pembicaraan mereka yang intim itu sambil beliau masuki urusan keagamaan mereka. Dan beliau peringatkan kepada mereka akan siksa Allah SWT. Sampai akhirnya mereka pun bertaubat dengan taubat nasuha..

Kyai Utsman pernah diadukan oleh seorang ulama kepada Kyai Romli karena beliau diketahui telah mengadu ayam. Mendengar pengaduan itu Kyai Romli menjawab: “Saya tidak berani melarangnya dan Kyai tidak usah menirunya mengadu ayam.”

2.2 Guru-Guru

  1. Kyai Abdullah,
  2. Kyai Adro’i Nyamplungan,
  3. Kyai Khozin Panji,
  4. Kyai Munir Jambu Madura,
  5. Hadhratussyekh KH. Hasyim Asy’ari,
  6. KH. Romli Tamim, Peterongan Jombang.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Mendirikan Pesantren
Ponpes Darul Ubudiyah Raudlatul Muta'allimin didirikan KH. Muhammad Usman Al-Ishaqi pada tahun 1957 M. Saat itu hanya 15 santri yang merupakan warga kampung sekitar. Baru pada tahun 1963 M. dengan menempati empat kamar, santri pondok bertambah menjadi 70 orang.

"Belasan santri itu oleh Kyai Utsman diajari ilmu fiqih dengan kitab Sulam Safinah sebagai bekal untuk menjalankan ubudiyah, termasuk rukun maupun wajibnya shalat," kata Kyai Minnanurrochman, putra ketiga almarhum KH. Muhammad Utsman.

Semasa hidupnya, Kyai Utsman amat dekat dengan semua lapisan masyarakat. Hal itu tak lain karena sikap dan perilakunya yang luwes dan supel kepada semua orang, termasuk orang-orang Cina dan non-Muslim. Sikapnya yang santun dan menjaga perasaan orang lain membuat Kyai Utsman disegani masyarakat, termasuk mereka-mereka yang suka minum minuman keras.

3.2 Menjadi Mursyid Thariqat
Kawan dekat Hadhratussyekh yang bernama KH. Hasyim Bawean pernah bercerita: “Hadhratussyekh dibaiat oleh KH. Romli pada hari Rabu, tanggal 16 Sya’ban tahun 1361 H/1941 M. Setelah beliau dibaiat selama satu minggu beliau menyusun silsilah Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah atas perintah KH. Romli yang diberi nama Tsamrat Al-Fikriyyah.”

Hadhratussyekh mengatakan: “Saya dibaiat oleh KH. Romli atas permintaan KH. Romli sendiri. Pada waktu itu saya dimasukkan ke kamar KH. dan didudukkan di atas Burdah yang putih bersih di atas tempat tidur KH. dan dipinjami Tasbih. Padahal waktu itu kaki saya berlumpur karena hujan. Karena sudah menjadi tradisi, setiap kali saya masuk ke rumah Kyai, kaki saya pasti telanjang tanpa alas kaki. Dengan demikian sebelum saya jadi Murid, saya adalah Murad dan sebelum saya menjadi Thalib saya adalah Mathlub.”

Dalam kesempatan lain Hadhratussyekh mengatakan akan menghadiri majelis khusus atau wirid khataman selama 4 tahun. “Saya terus menerus berjalan kaki memakai klompen dari Surabaya ke Paterongan. Barulah kadang-kadang saya naik kendaraan setelah ketahuan KH. Hasyim Asy’ari di Mojoagung dan beliau mengatakan: “Jangan jalan kaki terus-menerus Utsman!”

Selanjutnya Kyai Hasyim Bawean mengatakan: “Sewaktu terjadi Perang Dunia II tahun 1942 M. Hadhratussyekh sekeluarga pindah sementara ke Peterongan. Kalau siang hari berada di dalam pondok. Pada suatu hari, yakni hari Selasa, beliau disuruh menghadap KH. Romli pada jam 2.00 malam untuk diangkat menjadi mursyid Thariqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah”. 

Hadhratusyekh waktu itu mengatakan: “Tidak kuat Kyai.” Tetapi KH. Romli tetap melaksanakan perintah Allah SWT, kemudian mengusapkan tangannya di atas kepala Kyai Utsman. Seketika itu pula Hadhratusayekh jatuh pingsan tak sadarkan diri dan langsung jadzab.

Selama satu minggu Hadhratussyekh mengalami jadzab, beliau tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak buang air besar maupun kecil dan tidak shalat.

Setelah Hadhratussyekh mengalami jadzab satu minggu, beliau berkata kepada Kyai Hasyim Bawean: “Nanti malam akan datang tamu-tamu banyak sekali tidak perlu suguhan makanan atau minuman.” Maka pada jam 8.00 kurang sepuluh menit malam Hadhratussyekh sudah siap menerima para tamu di kamar, dan menghadap ke pintu.

Tidak lama kemudian beliau mengucapkan: “Wa’alaikumussalam, Wa’alaikumussalam”,selama kurang lebih lima menit dan nampak seakan-akan Hadhratussyekh menjabat tangan orang-orang sambil menundukkan kepala.

Kemudian beliau mengatakan: “Mulai hari ini saya ditetapkan sebagai mursyid langsung oleh Syekh Abdul Qodir Al-Jailani Ra. dan Nabiyullah Khidhir As. serta oleh sejumlah masyayikh Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dan sejak sekarang saya diizinkan untuk membaiat”, sambil menyerahkan sepucuk kertas kepada Kyai Hasyim Bawean.

Kemudian Hadhratussyekh menghadap ke barat sekali lagi dan mengucapkan: “Na’am, na’am.” Tepat pada jam 8.00 lebih 5 menit malam itu, Hadhratussyekh berdiri menuju ke pintu. Setelah diam sejenak, beliau mengucapkan: “Wa’alaikumussalam, wa’alaikumussalam.”

Kemudian oleh Kyai Hasyim, Hadhratussyekh disuruh mandi setelah satu minggu tidak mandi. Dan ketika itulah Kyai Hasyim cepat-cepat pergi ke KH. Romli untuk mengantarkan sepucuk kertas tadi. Setelah menerima kertas itu, KH. Romli spontan menemuinya di luar rumah seraya mengatakan: “Ada apa? Ada apa? Ada apa?”

Ketika Kyai Romli membaca sepucuk kertas itu spontan Kyai mengatakan dengan bahasa Madura yang maksudnya: “Alhamdulillah sekarang saya punya anak yang bisa menggantikan saya (sampai 3 kali).”

Orang tua Kyai Utsman juga pernah menyatakan kepada salah seorang habib bahwa Hadhratussyekh telah mendapatkan ijazah dari Syekh Abdul Qodir Al-Jailani Ra., untuk berdakwah dan diangkat sebagai khalifahnya tanpa perantara. Pernyataan ini disampaikan pada tahun 1947 M.

3.3 Penggagas Haul dan Manaqib
“Habib Utsman Surabaya,” begitu Habib Ali Bungur menyebut kepada kyai yang kita kenal dengan KH. M. Utsman bin Nadi Al-Ishaqi Jatipurwo, Surabaya. Yang merupakan murid kesayangan dari Syekhona Kholil, Hadhratussyekh Hasyim Asy’ari dan Mbah Romli Tamim. Semua tokoh besar ulama dan habaib waktu itu pasti mengenalnya, menyayanginya dan mengakui kewalian dan keulamaannya.

Di Jombang, saat mudanya, beliau sudah dikenal sebagai “Singa Podium”. Melanglang buana dari podium ke podium untuk memberikan ceramah. Pernah suatu hari beliau diundang untuk berceramah di Jombang. Tiba-tiba di tengah ceramahnya sang guru datang, Mbah Romli Tamim. Demi menjaga adabnya terhadap guru, seketika ceramah dirubahnya menjadi pertunjukan dalang. Mendalang dipilihnya karena itu yang tidak bisa dilakukan sang guru.

Setelah sekian lama memberikan ceramah kesana kemari, beliau merasa kurang mengena manfaatnya di khalayak. Akhirnya digagaslah kegiatan “Manaqiban” sebagaimana yang ramai dan kita kenal saat ini. Beliaulah penggagasnya, dan Haul.

4. Karomah
Semenjak kecil keistimewaan dan kekeramatan beliau sudah nampak tatkala Kyai Utsman kecil sudah bisa berjalan. Beliau selalu tidak ada di rumah setelah Maghrib, dan baru pulang setelah jam 11 malam dengan badan yang penuh berlumuran lumpur. Kejadian itu menjadi pertanyaan sendiri oleh keluarga. Setelah diselidiki, ternyata beliau berada di sungai didekap oleh seekor Buaya Putih.

Setiap malamnya Kyai Utsman kecil selalu tidur di surau (langgar) bersama sang kakek, Kyai Abdullah. Selain kakeknya, tak ada seorangpun yang berani mendampingi Kyai Utsman kecil tidur. Karena dari kedua mata Kyai Utsman memancarkan sinar yang terang seakan menembus Iangit bagaikan lampu sorot.

Sejak beliau berumur 4 tahun setiap pagi pada jam 3.00 waktu Istiwa’, beliau keluar rumah menuju Masjid Jami’ Ampel Surabaya dengan diantar oleh kakak perempuan beliau yang bernama Nyai Khadijah untuk membaca Tarhim (panggilan shalat Fajar) sampai datang waktu Subuh di menara Masjid.

“Setiap kali beliau sampai di pintu gerbang Ampel, beliau selalu disambut banyak anak-anak kecil yang memakai kopyah berwarna putih-putih. Sesampainya di masjid anak-anak kecil tersebut hilang entah ke mana dan baru muncul kembali sewaktu beliau hendak pulang dari masjid pada jam 7.00 pagi untuk mengantarkan beliau ke pintu gerbang. Dan setelah itu mereka menghilang kembali.” Ungkap Nyai Khadijah dan Kyai Anwar.

Ketika beliau berumur 6 atau 7 tahun, pada suatu malam nampak sang rembulan atau bintang-gemintang turun dari langit seraya memancarkan sinarnya menuju Kyai Utsman kecil, dan mengitari beliau dari segala arah.

Di umur 7 tahun, beliau sudah mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 3 kali di bawah asuhan sang kakek, Kyai Abdullah. Kemudian di usia itu beliau dikhitan (sunat). Setelah itu barulah beliau berpindah mengaji kepada Kyai Adro’i Nyamplungan.

Semenjak mengaji kepada Kyai Adro’i, setiap beliau pulang dari Ampel, diteruskan menuju ke Nyamplungan untuk mengaji Al-Qur’an. Setelah itu beliau menuju ke Madrasah Tashwirul Afkar di Gubbah untuk mengaji ilmu agama. Dan baru pulang setelah jam 10.00 pagi. Seharinya beliau hanya mendapatkan sangu (uang saku) sebesar 5 Sen yang berlobang tengahnya yang beliau tempelkan di kancing baju.

Pernah selama 4 tahun, Kyai Utsman kecil tidak memakan makanan kecuali hanya daun-daunan dan buah-buahan. Pada waktu itu beliau menentukan untuk kebutuhan belanjanya hanya 1/2 Sen perhari. Beliau mengatakan: “Pada waktu saya masih kecil, suatu hari saya bernafsu sekali ingin makan. Maka sayapun makan sekenyang-kenyangnya. Tetapi sebagai dendanya saya harus mengkhatamkan Al-Qur’an sekali duduk.”

Dan beliau juga menceritakan: “Pada suatu hari saya menangisi diri saya sendiri, karena ketika saya shalat teringat layang-layang, padahal saya sudah berumur 12 tahun. Berarti 3 tahun lagi saya sudah baligh dan mukallaf, bagaimana kalau saya masih ingat pada layang-layang pada waktu sholat?!”

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi (salah satu putra Kyai Utsman) menceritakan, ketika ayahanda berusia 13 tahun mempunyai kemampuan melihat Ka’bah secara nyata dari rumahnya Jatipurwo, Surabaya.

Beliau menganggap apa yang dilihatnya merupakan mimpi, tapi setelah berkali-kali matanya diusap, bahwa apa yang beliau lihat bukan sekedar mimpi, akan tetapi benar-benar terjadi dan yang tampak hanyalah Ka’bah di Makkah. Kemudian Kyai Utsman minta dibelikan kaca mata, beliau mengira bahwa matanya sudah rusak. Setelah dibelikan dan dipakai, ternyata hasilnya sama saja.

Menurut Kyai Asrori, itulah awal kasyaf yang dialami ayahandanya dan sejak saat itu Kyai Utsman bisa melihat orang dengan segala kepribadiannya. Ada yang menyerupai serigala, ada yang seperti ayam dan kucing tergantung pembawaan nafsu masing-masing. Akan tetapi Kyai Utsman tidak berani mengatakan terus terang, karena hal itu menyangkut kerahasiaan seseorang.

KH. Muhammad Faqih Langitan Tuban pernah mengatakan bahwa Kyai Zubair Sarang Rembang bermimpi ketemu Rasulullah SAW. sedang menemui 2 orang laki-laki dan Rasulullah SAW. menyatakan kepada Kyai Zubair: “Keluargaku banyak tersebar di tanah Jawa diantaranya ialah Romli dan Utsman”.

Salah seorang sopir Kyai Utsman pernah mengatakan, dalam perjalanan dari Rejoso menuju Surabaya, tiba-tiba mobil yang dikendarai Kyai Utsman bensinnya habis padahal seluruh uang sakunya telah diserahkan ke pondok. Kemudian Kyai memerintahkan kepada sopirnya: “Begini saja, tangki mobil diisi dengan air teh tanpa gula secukupnya.”

Karena sopir itu percaya dengan kyai, maka perintah itu dilaksanakan dengan sepenuh hati. Kemudian Kyai Utsman menanyakan: “Sudah kau isi bensin?”

“Mobil sudah saya isi dengan teh sesuai dawuh Kyai,” jawab sopir.

Kyai Utsman pun segera mengajak pulang ke Surabaya. Dan atas izin Allah SWT, mobil itu bisa berjalan sampai ke Surabaya dengan bahan bakar air teh.

Takluknya Sang Pengadu Ayam Kawakan di Hadapan Kyai Utsman

Pada waktu Kyai Utsman tinggal di Rejoso, ada seorang tukang adu ayam kawakan yang sangat populer di Jombang bernama Wak Sud. Dia memiliki jago-jago yang khusus untuk diadu. Hadhratussyekh tertarik untuk menundukkan orang ini melalui adu ayam. Maka beliau membawa ayam ke Wak Sud dengan maksud untuk mengajak bertanding adu ayam.

Atas ajakan Kyai Utsman itu Wak Sud menjawab: “Apabila jagomu menang melawan jagoku maka semua kekayaanku adalah milikmu. Sebaliknya apabila jagomu kalah saya tidak menuntut apa-apa darimu.”

Maka Kyai Utsman menjawab: “Apabila jagomu menang kemudian kau ambil kekayaanku, memang saya tidak mempunyai sesuatu yang patut disebut. Dan apabila sebaliknya jagoku yang menang maka saya sama sekali tidak butuh kepada kekayaanmu. Pokoknya begini, apabila jagoku menang kamu harus tunduk dan patuh di bawah perintahku.” Akhirnya Wak Sud menyetujui tawaran itu.

Dengan kuasaan Allah SWT., menanglah ayam yang dibawa Kyai Utsman dalam pertandingan itu sekalipun jago miliknya kurus kecil dan lemah sekali. Berbeda jauh dengan jago kepunyaan Wak Sud yang kekar dan gagah itu. Alhasil Wak Sud pun harus menerima kesepakatan bersama setelah kekalahannya. Kini ia tunduk dan patuh pada KH. Utsman.

Maka saat Kyai Romli melihat Wak Sud melakukan shalat, Kyai Romli memegang pundak Kyai Utsman dari belakang seraya mengatakan dengan nada heran: “Apa yang kamu lakukan terhadap Wak Sud wahai Utsman, sehingga dia mendatangi shalat Jum’at. Padahal saya tidak mampu menundukkannya?”

Pindahnya dari Jombang ke Ngawi dan nerpulang ke Surabaya

Di Peterongan, Kyai Utsman tinggal di Desa Ngelunggih tidak jauh dari Rejoso atas saran Kyai Romli dengan maksud agar beliau menjadi imam di Ngelunggih. Akibatnya murid-murid Kyai Romli banyak yang pindah ke Ngelunggih untuk mendapatkan barokah dari Kyai Utsman serta ilmu dari beliau. Akhirnya Kyai Utsman disuruh pindah oleh Kyai Romli ke salah satu desa dekat Gunung Lawu di Ngawi.

Ketika Kyai Utsman sampai di lereng Gunung Lawu, sangu (bekal) beliau tinggal Rp. 1.70 (satu rupiah tujuh puluh sen) tidak cukup untuk membeli beras 1 liter sekalipun. Maka untuk mendapatkan rizki, beliau setiap harinya mengunjungi pesarean (ziarah kubur) yang paling dikenal oleh orang di desa itu. Karena beliau cinta dan hobi melakukan ziarah kubur, akhirnya atas kemurahan Allah SWT. beliau sekeluarga mendapatkan rizki yang tidak diduga-duga sebelumnya.

Diantara orang kampung ada yang mengundang beliau untuk mengikuti tahlilan, adapula yang minta barokah doa, ada yang meminta fatwa, sampai akhirnya Kyai Utsman menjadi populer di desa itu dan kemudian menjadi imam di desa itu.

Di desa barunya itu, suatu hari beliau bermimpi berjumpa dengan gurunya, Hadhratussyekh KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng, berpamitan kepada beliau dengan mengatakan: “Saya duluan Utsman.” Mimpinya tersebut ternyata sebuah isyarat akan berpulangnya sang guru ke rahmatullah. Karena esok harinya beliau mendengar berita bahwa KH. Hasyim Asy’ari meninggal dunia.

Menjelang meletusnya Madiun Effer (peristiwa Madiun pada tahun 1948 M) Kyai Utsman berkali-kali menerima surat serta saran agar beliau pulang saja ke Surabaya karena situasi yang tidak aman lagi di daerah itu.

Mendengar kabar pulangnya Hadhratussyekh KH. Utsman ini, sebagian besar penduduk di lereng Gunung Lawu itu keberatan ditinggalkan oleh beliau. Karena mereka masih amat memerlukan doa, ilmu serta barokah dari beliau. Bahkan ada warga yang berjanji memberikan 20 hektar kebun kepada Kyai Utsman agar beliau sudi tetap tinggal di desa itu. Tetapi setelah beliau melakukan istikharah akhirnya beliau menetapkan kembali ke Surabaya.

5. Chart Silsilah Sanad
Berikut ini chart silsilah sanad guru Hadhratussyekh KH. M. Utsman bin Nadi Al-Ishaqi dapat dilihat DI SINIdan chart silsilah sanad murid beliau dapat dilihat DI SINI.

Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 31 Agustus 2022, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 08 Januari 2024.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya