Penjelasan tentang Shalat Sunnah Lidaf’il Bala’

 
Penjelasan tentang Shalat Sunnah Lidaf’il Bala’
Sumber Gambar: themuslimvibe.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Jika shalat sunnah pada hari Rabu terakhir bulan Safar diniatkan sebagai shalat sunnah mutlak atau shalat (hajat) Lidaf’il Bala’, maka hukumnya diperbolehkan. Shalat sunnah ini dilakukan dalam rangka memperingatkan sekaligus menenangkan umat dalam rangka berlindung kepada Allah SWT terkait dengan isyarat ahli makrifat akan datangnya bala’ dan bencana yang terjadi pada bulan Safar.

Hal tersebut dilakukan berdasarkan ilham dan ijtihad para ulama terdahulu yang meyakini bahwa di bulan Safar, hari Rabu pekan keempat merupakan waktu diturunkannya sekitar 320.000 macam bala’.

Syaikh Ibnu Khathiruddin Al-Atthar dalam Kitab Al-Jawahir Al-Khams menyebutkan bahwa Syaikh Al-Kamil Fariduddin Sakarjanji pernah berkata bahwa beliau melihat dalam Kitab Al-Awrad Al-Khawarija karya Syaikh Mu’inuddin tentang bala’ yang dimaksud itu.

أَنَّهُ يَنْزِلُ فِيْ كُلِّ سَنَةٍ ثَلاَثُمِائَةِ اَلْفٍ وَعِشْرِيْنَ أَلَفًا مِنَ الْبَلِيَّاتِ وَكُلُّهَا فَيْ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ الْأَخِرَةِ مِنْ شَهْرِ صَفَرِ فَيَكُوْنُ ذَلِكَ الْيَوْمُ أَصْعَبُ أَيِّمِ تِلْكَ السَّنَةِ، فَمَنْ صَلَّى فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرُأُ فِيْ كُلِّ مِنْهَا بَعْدَ الْفَاتِحَةِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ سَبْعَةَ عَشَرَ وَالْإِخْلاَصَ خَمْسَ مَرَّاتٍ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ مَرَّاةً وِيَدْعُوْ بِهَذَا الدُّعَاءِ حَفَظَهُ االلهُ تَعَالَى بِكَرَمِهِ مِنْ جَمِيْعِ الْبَلاَيَا  الَّتِيْ تَنْزِلُ فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَمْ تُحْمَ حَوْلَهُ بَلِيَّةٌ مِنْ تِلْكَ الْبَلاَيَا إِلَى تَمَام السَّنَةِ

"Sesungguhnya dalam setiap tahun diturunkan sekitar 320.000 macam bala’ yang semuanya ditimpakan pada hari rabu akhir bulan Safar. Maka hari itu adalah hari tersulit dalam tahun itu. Barangsiapa shalat empat rakaat pada hari itu, dengan membaca di masing-masing rakaatnya setelah Al-Fatihah yakni Surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, Mu’awwidzatain masing-masing satu kali dan berdoa (tolak bala’), maka dengan Kemuliaan Allah, akan dijaga oleh Allah dari semua bala’ yang turun pada hari itu dan di sekelilingnya akan terhindar dari bala’ tersebut sampai genap setahun."

Adapun selain melaksanakan shalat sunnah tersebut, terdapat adab dan amalan yang dikerjakan pada hari rabu terakhir bulan Safar sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa kitab, seperti Kitab Fathul Malik Al-Majid Al-Muallaf li Naf'il 'Abid wa Qam'i Kulli Jabbar 'Anid atau yang biasa disebut Mujarrabat Ad-Dairabi karya Syaikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi, Kitab Kanzun Najah was-Surur karya Syaikh Abdul Hamid Al-Quds Al-Makki, Kitab Nurun 'Uyun karya Syaikh Al-Imam Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Saidinnas, Kitab Al-Futuhat Al-Haqqaniyah karya Al-Imam As-Syaikh Adnan Al-Kabbani, Kitab As-Sab’iyyaatu fil Mawaa’idhil Barriyyat karya Al-Imam As-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdurrahman Al-Hamdaani,  Kitab Karunia Agung di Bulan-bulan Agung dari Allah yang Maha Agung karya Al-Habib Ahmad bin Naufal bin Salim bin Ahmad bin Jindan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim, dan Kitab Al-Ad’iyyatul Hasanah Fiimaa Yamurru 'alal Insan fi Kulli Sanah karya KH. Ubaidillah Hamdan.

Status Hukum Shalat Sunnah Lidaf’il Bala’

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa shalat sunnah (hajat) Lidaf’il Bala’ bisa dilaksanakan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Dalam hal ini memang terdapat perbedaan pandangan di kalangan para ulama.

Walaupun shalat sunnah tersebut oleh sebagian kalangan ulama dikategorikan sebagai amalan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW dan bahkan menganggapnya sebagai bid’ah dan haram, namun oleh sebagaian ulama, khususnya para ulama sufi, amalan shalat (hajat) Lidaf’il Bala’ di hari Rebo Wekasan tetap boleh dikerjakan asalkan tidak menganggapnya sebagai keharusan yang mesti dilakukan.

Pelaksanaan shalat sunnah tidak perlu menjadi sesuatu yang membuat perselisihan, sehingga timbul pertentangan di kalangan internal umat muslim. Amalan yang dilaksanakan di hari Rebo Wekasan bisa dijadikan momentum peningkatan kualitas ibadah kepada Allah SWT serta menjadi sebuah sarana agar dapat berlindung kepada-Nya dari segala macam bencana dan mara bahaya yang kapanpun bisa menimpa.

Allah SWT telah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 45:

وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَوةِ

"Carilah pertolongan (Allah) dengan sabar dan shalat."

Begitu juga Hadis dari Hudzaifah r.a. dalam riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud bahwa Rasulullah SAW ketika menemukan suatu kesulitan, maka neliau melaksanakan shalat.

عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزِبَهُ أَمْرٌ فَزَعَ إِلَى الصَّلَاةِ

"Dari Hudzaifah r.a. berkata: Apabila Rasulullah SAW menemui suatu kesulitan, maka beliau segera menunaikan shalat."

Di luar perbedaan pandangan hukum pelaksanaan shalat sunnah (hajat) Lidaf'il Bala', tentu ada hikmah yang bisa kita ambil di antara pandangan para alim ulama yang semuanya memiliki dasar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selama kita berniat menunaikan shalat hajat atau shalat sunah mutlak dan tidak mengkhususkan niat shalat sunah Rebo Wekasan serta tidak menganggapnya sebagai sebuah keharusan yang mesti dilakukan, maka hukumnya adalah boleh. Apalagi jika setelah selesai melaksanakan shalat diiringi dengan ibadah lain yang sangat baik seperti mauidhoh hasanah, bersedekah dan silaturrahim. Berbagai hal baik tersebut merupakan anjuran Rasulullah SAW. Sebagaimana dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani, bahwa sedekah adalah salah satu pencegah turunnya bala'.

بَكِّرُوْا بِا الصَّدَقَةِ فَإِنَّ الْبَلاَءَ لاَ يَتَخَطَّاهَا

"Segeralah bershadaqah, sebab bala’ bencana tidak akan melangkahinya."

Terkadang terdapat kekeliruan yang terjadi di kalangan masyarakat umum dan orang awam. Banyak di kalangan umat Islam meyakini bahwa amalan-amalan yang tidak ada tuntunannya secara langsung dari Rasulullah SAW seperti halnya shalat (hajat) Lidaf’il Bala’ dianggapnya sebagai keharusan yang mesti dikerjakan, akan tetapi ibadah-ibadah yang jelas-jelas ada tuntunannya dari Rasulullah SAW, oleh masyarakat tidak dianggap sebagai keharusan seperti shalat berjamaah, sedekah dan semacamnya.

Pandangan seperti inilah yang perlu dikoreksi. Perkara yang sifatnya qath’i (jelas dalil dan contohnya) harus didahulukan untuk diamalkan daripada perkara yang tidak langsung dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana praktik ritual ibadah yang sudah melalui akulturasi dengan budaya-budaya tertentu. Namun demikian, ibadah sebagaimana yang dibahas di atas bukanlah bermaksud untuk mengubah syariat, tetapi sebagai bentuk ikhtiar dalam rangka meningkatkan kualitas ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Wallahu ‘Alam bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 13 Oktober 2020. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

Editor: Hakim