Penelitian Ilmiah Mengapa Orang Cenderung "Sok Tahu"

 
Penelitian Ilmiah Mengapa Orang Cenderung
Sumber Gambar: bbc.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - David Dunning dan Justin Kruger adalah dua orang psikolog sosial yang telah membuktikan berkali-kali dalam penelitian ilmiahnya sejak tahun 1999, bahwa "orang dengan tingkat keahlian yang rendah" cenderung menilai dirinya melebihi kenyataan (illusory superiority atau khayalan bahwa dirinya hebat), sementara mereka yang benar-benar hebat justru merasa dirinya kurang baik (humble-champion).

Sebenarnya tanpa bukti-bukti ilmiah dari teori di atas, masyarakat kita telah memiliki pribahasa yang mencerminkan temuan ilmiah Dunning dan Kruger di atas. Bukankah telah sering kita dengar, "air beriak tanda tak dalam", alias yang paling berisik, biasanya yang paling dangkal ilmunya; atau nasihat, "Jadilah padi, makin berisi makin merunduk. Jangan jadi tong kosong nyaring bunyinya".

Tapi sepertinya banyak dari kita yang melupakan nasihat di atas, dan terjebak dalam sindrom yang dijelaskan oleh Dunning-Kruger. Sehingga kita melihat fenomena yang sangat jamak ditampilkan di medsos. Para pakar dan ulama sungguhan justru menjaga jempol dan lidahnya, alias sangat berhati-hati dalam memberikan komentar dalam bidang yang sebenarnya mereka kuasai. Sementara mereka yang awam dan dangkal ilmunya merasa sangat paham dan dengan percaya diri memberikan komentar-komentar seenaknya dan "sok ahli/sok tahu", bahkan mem-bully mereka yang ahli di bidang terkait.

Fenomena ini paling parah ditemukan dalam dunia politik. Ian Anson, Professor Politik di University of Maryland melakukan penelitian  dengan sample 2.606 rakyat Amerika. Dan hasilnya? Mereka yang wawasan politiknya paling rendah cenderung "merasa" dirinya paling paham tentang politik. Sementara yang paling berwawasan baik, justru merasa dirinya masih kurang ilmu.

Di antara orang-orang yang mengalami sindrom "ke-GR-an" itu, yang paling parah ditemukan pada orang-orang yang menjadi simpatisan fanatik partai. Dan ini terjadi pada simpatisan kedua partai yang berseteru di Amerika, baik Demokrat maupun Republik. Begitu mereka jadi simpatisan fanatik, partai manapun, mereka jadi semakin parah terkena "illusory superiority".

Profesor Anson memberikan kesimpulan, bahwa sindrom ini memilki efek yang sangat besar pada terjadinya "breakdown in political discourse". Masyarakat jadi terbelah dalam dua kubu yang susah berkomunikasi secara tulus dan rendah hati. Mereka menjadi semakin mengeras dalam keyakinannya masing-masing. Karena mereka tidak sadar kalau mereka tidak paham (ignorance of incompetence). Lebih parahnya lagi, semakin tidak paham mereka, justru semakin yakin pada pendapatnya.

Lalu apa obat dari penyakit "Dunning-Kruger Effect" yang telah menjadi epidemi di tengah masyarakat kita ini?

Saya kira kita bisa dengan mengikuti pesan para bijak bestari berikut: "Kebijaksanaan sejati adalah menyadari keterbatasan diri kita sendiri". Seorang dokter yang hebat adalah yang memahami sampai di mana batas ilmu yang dia kuasai, sehingga untuk kasus-kasus yang lebih rumit, dia siap merujuk ke dokter yang lebih spesialis.

Ulama sejati bukanlah yang serba bisa menjawab semua pertanyaan yang diajukan padanya, tapi yang dengan rendah hati mengakui di bidang apakah keulamaannya, sehingga tidak akan memberikan fatwa-fatwa di luar bidang kompetensinya. Demikian itulah sebabnya ketika Imam Malik yang dikenal sebagai "Faqihul Ummah" (Imam Fiqh umat pada zamannya) ditanya 40 pertanyaan oleh seseorang dari negeri jauh, beliau menjawab hanya 4 pertanyaan, selebihnya beliau menjawab "La Adri" (Aku tidak tahu).

Kalau yang dokter dan ulama saja harus dengan rendah hati dan kebesaran jiwa menyadari batas-batas keilmuannya, bagaimana dengan kita yang awam ini?

Saya kira nasihat dari Al-Qur'an ini perlu direnungkan:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا

"Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra': 36)

Misalnya, karena saya belajar formalnya di bidang psikologi, kewirausahaan, dan bisnis, maka saya menahan diri untuk tidak berkomentar apalagi berdebat dalam urusan politik atau urusan fiqih. Bukan karena saya tidak paham sama sekali urusan politik dan agama, saya bisa saja "sok tahu" dengan cara googling sana-sini, atau forward WA, mengutip twitter, dll.  Tapi tidaklah bagiku, takut malah membuat keruh situasi, toh pemahaman saya dangkal saja di kedua bidang tersebut.

Lagi pula saya takut terkena sindrom "Dunning-Kruger Effect", di mana saya merasa jadi "ahlinya-ahli", padahal ilmunya dangkal di bidang itu. Lebih parah lagi, karena saya "tidak sadar kalau saya sebenarnya tidak paham", lalu dengan "ke-GR-an" plus emosional, lalu saya bebas berkomentar sana-sini, menyerang orang, bahkan kepada orang yang ahli sungguhan yang berseberangan dengan pilihan politik atau mazhab keagamaan saya, padahal sejatinya saya tak lebih dari "tong kosong nyaring bunyinya".

Karena itu, Bismillah, saya ikut saran Nabi Muhammad saja: "Berkatalah yang baik, atau diam!"

Saya juga mengikuti saran guru saya, "tiap kali kamu mau bicara, tanyakanlah 4 hal ini:

1. Is it True? Apakah ini benar? Sudah dipastikan bukan hoax?
2. Is It Necessary? Kalaupun benar, apa memang dibutuhkan?
3. Is it Kind? Kalaupun benar dan dibutuhkan, apakah itu mencerminkan "kebaikan hati"?
4. Is it the right time? Dan apakah ini saat yang paling tepat untuk mengatakannya?

Alhamdulillah, bisanya saat saya bisa menahan nafsu bicara (atau menulis) dengan mengikuti 4 kaidah di atas, yang tercipta adalah kedamaian di hati saya, keluarga saya, dan di lingkungan sekitar saya. []

 


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 25 April 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ahmad Faiz Zainuddin

Editor: Hakim