Biografi Dr. KH. Idham Chalid

 
Biografi Dr. KH. Idham Chalid
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: Dens_art1 laduni.ID

Daftar Isi Biografi Dr. KH. Idham Chalid

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Pendidikan
  4. Karier di Nahdlatul Ulama (NU)
  5. Aktif di Politik
  6. Keistimewaan

Kelahiran

Dr. KH. Idham Chalid atau yang kerap disapa dengan panggilan Pak Idham lahir pada 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan. Beliau merupakan anak sulung dari lima bersaudara, dari pasangan H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 kilometer dari Banjarmasin.

Wafat

Pak Idham wafat pada tanggal 11 Juli 2010, jam 08.00 WIB di kediamannya Komplek Pesantren Darul Ma’arif, Cipete, Jakarta Selatan, karena sakit yang diderita.

Pendidikan

Sejak kecil Kiyai Idham dikenal sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR ia langsung duduk di kelas dua karena bakat pidatonya yang mulai terlihat dan terasah.

Selepas SR, Kiyai Idham melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah. Beliau tumbuh dan gandrung dengan pengetahuan. Kiyai Idham mendapatkan banyak kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan umum. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Gontor yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur. Kesempatan belajar di Gontor juga dimanfaatkan Kiyai Idham untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis.

Tamat dari Gontor, 1943, Kiyai Idham melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di ibu kota, kefasihannya dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum. Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan dengan para ulama. Dalam pertemuan-pertemuan itulah Kiyai Idham mulai akrab dengan tokoh-tokoh utama NU.

Karier di Nahdlatul Ulama (NU)

KH. Idham Chalid memulai kariernya di NU dengan aktif di GP Ansor. Tahun 1952, beliau diangkat sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun yang sama ia juga diangkat menjadi sekretaris jenderal partai, dan dua tahun kemudian menjadi wakil ketua. Selama masa kampanye pemilu 1955, Kiyai Idham memegang peran penting sebagai ketua Lajnah Pemilihan Umum NU.

Sepanjang tahun 1952-1955, Kiyai Idham yang juga duduk dalam Majelis Pertimbangan Politik PBNU, sering mendampingi Rais 'Aam KH. Abdul Wahab Chasbullah berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara.

Dalam Pemilu 1955, NU berhasil meraih peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Karena perolehan suara yang cukup besar dalam Pemilu 1955, pada pembentukan kabinet tahun berikutnya, Kabinet Ali Sastroamidjojo II, NU mendapat jatah lima menteri, termasuk satu kursi wakil perdana menteri, yang oleh PBNU diserahkan kepada KH. Idham Chalid.

Pada Muktamar NU ke-21 di Medan bulan Desember tahun yang sama, Kiyai Idham terpilih menjadi ketua umum PBNU. Saat dipercaya menjadi orang nomor satu NU beliau masih berusia 34 tahun. Jabatan tersebut dijabatya hingga tahun 1984 dan menjadikannya orang terlama yang menjadi ketua umum PBNU selama 28 tahun.

Aktif di Politik

Pak Idham adalah ulama intelektual, piawai dalam politiknya yang cerdas. Beliau menjabat ketua umum PBNU terlama, selama 28 tahun. Selain itu, Kiyai Idham juga merupakan salah satu anggota NU yang berhasil menjabat pimpinan tinggi di pemerintahan, yakni sebagai wakil perdana menteri di era Presiden Soekarno pada tahun 1959.

Kiyai Idham kemudian ditarik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan setahun kemudian menjadi wakil ketua MPRS.

Lalu, pertengahan tahun 1966 Orde Lama tumbang dan tampillah Orde Baru. Namun posisi Kiyai Idham di pemerintahan tidak ikut tumbang. Dalam Kabinet Ampera I, Kabinet Ampera II dan Kabinet Pembangunan I yang dibentuk Soeharto, beliau dipercaya menjabat Menteri Kesejahteraan Rakyat. Kemudian, di akhir tahun 1970 beliau juga merangkap jabatan sebagai Menteri Sosial untuk melanjutkan tugas dari mendiang A.M. Tambunan yang telah meninggal dunia pada 12 Desember 1970, sampai dengan terpilihnya pengganti yang tetap sampai akhir masa bakti Kabinet Pembangunan I pada tahun 1973.

Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Kiyai Idham kembali mengulang sukses dalam Pemilu 1971. Namun setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga partai: Golkar, PDI, dan PPP dan NU tergabung di dalam PPP.

KH. Idham Chalid menjabat presiden PPP, yang dijabatnya sampai tahun 1989. Beliau juga terpilih menjadi ketua MPR/DPR RI sampai tahun 1977. Jabatan terakhir yang diemban Kiyai Idham Chalid adalah ketua Dewan Pertimbangan Agung sampai tahun 1983.

Dalam bidang pendidikan, Kiyai Idham mendirikan Universitas Nahdlatul Ulama/ UNNU (Sekarang Universitas Islam Nusantara) pada 30 November 1950 bersama KH. Subhan Z.E (Alm), KH. Achsien (Alm), KH. Habib Utsman Al-Aydarus (Alm), dan lain-lain dengan KH. E. Z Muttaqien (Alm).

Keistimewaan

Peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo, ini seorang tokoh nasional, yang mampu berperan ganda dalam satu situasi, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai ulama, beliau bersikap fleksibel dan akomodatif dengan tetap berpegang pada tradisi dan prinsip Islam yang diembannya.

Demikian pula sebagai politisi, beliau mampu melakukan gerakan strategis, kompromistis, bahkan pragmatis. Dengan sikap dan peran ganda demikian, termasuk kemampuan mengubah warna kulit politik dan kemampuan beradaptasi terhadap penguasa politik ketika itu, ulama dari Madrasah Pondok Modern Gontor, ini tidak khawatir mendapat kritikan dan stereotip negatif sebagai tokoh yang tidak mempunyai pendirian, bunglon bahkan avonturir.

Peran ganda dan kemampuan beradaptasi dan mengakomodir itu kadang kala membuat banyak orang salah memahami dan mendepksripsikan dirinya, pemikiran serta sikap-sikap socio-polticnya.

Namun jika disimak dengan seksama, sesungguhnya KH. Idham Chalid yang berlatarbelakang guru itu adalah seorang tokoh nasional (bangsa) yang visi perjuangannya dalam berbagai peran selalu berorientasi pada kebaikan serta manfaat bagi umat dan bangsa.

Menurut Kiyai Idham, seperti termuat dalam Buku Idham Chalid: Guru Politik Orang NU karya Ahmad Muhajir, politisi yang baik mestilah memahami filosofi air.

Apabila air dimasukkan ke dalam gelas, ia akan berbentuk gelas; bila dimasukkan ke dalam ember, ia akan berbentuk ember; bila dibelah dengan benda tajam, ia akan terputus sesaat dan cepat kembali ke bentuk aslinya. Air juga selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Jika disumbat atau dibendung, ia bisa bertahan, bergerak elastis mencari resapan. Bila dibuatkan kanal, ia mampu menghasilkan tenaga penggerak turbin listrik serta mengairi sawah dan tanaman sehingga berguna bagi kehidupan makhluk di dunia.

Di ranah politik, Idham menganggap NU harus ikut dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini menurutnya lebih tepat ketimbang berada di luar kekuasaan yang justru menyulitkannya untuk bergerak.

Dengan visi perjuangan seperti itu, pemimpin NU selama 28 tahun (1955-1984) itu berpandangan tak harus kaku dalam bersikap, sehingga umat selalu terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi situasi politik di masa demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila, tidak jarang adanya tekanan keras dari pihak penguasa serta partai politik dan Ormas radikal.

KH. Idham Chalid diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, bersama dengan 6 tokoh lain, berdasarkan Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011.

Al-Fatihah teruntuk Kiyai Idham.


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal, 05 Januari 2023 dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 07 Juli 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya