Biografi KH. Abdul Choliq Hasyim

 
Biografi KH. Abdul Choliq Hasyim

Daftar Isi Profil KH. Abdul Kholik Hasyim

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Keluarga
  4. Pendidikan
  5. Mengasuh Pesantren
  6. Anggota PETA
  7. Kiprah di Politik

Kelahiran

KH. Abdul Hafidz atau yang kerap disapa dengan panggilan KH. Abdul Choliq Hasyim lahir pada tahun 1916. Beliau merupakan putra keenam pasangan KH. Hasyim Asy'ari dan Nyai Nafiqah.

Wafat

Bulan Juni 1965, atau tiga bulan sebelum meletusnya pemberontakan G.30.S/PKI, KH. Abdul Choliq Hasyim menderita sakit selama beberapa hari. Semua keluarga dan santri Tebuireng cemas dibuatnya. Mereka semua mengharap kesembuhan sang pengasuh. Namun beberapa hari setelah itu, Kiai Choliq menghembuskan nafasnya yang terakhir. Inna liLlahi wa inna ilayhi raji’un. Tebuireng pun berduka.

Sebagaimana keluarga lainnya, jenazah Kiai Choliq dimakamkan di komplek pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng, diiringi ribuan pentakziyah yang mengantarkannya hingga ke liang lahat.

Keluarga

Pada tahun 1939, KH. Abdul Choliq Hasyim pulang ke tanah air. Setahun kemudian, ia menikah dengan salah seorang keponakan Kiai Baidhawi yang bernama Siti Azzah. Pada tahun 1942, Kiai Choliq dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Abdul Hakam. Inilah satu-satunya keturunan Kiai Choliq.

Pendidikan

Sejak kecil KH. Abdul Choliq Hasyim dididik langsung oleh ayahnya sendiri. Setelah dianggap mampu, KH. Abdul Choliq melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Sekar Putih, Nganjuk. Selepas dari sana, dia meneruskan ke Pesantren Kasingan, Rembang, Jawa Tengah, di bawah asuhan KH. Cholil bin Harun yang terkenal sebagai pakar nahwu. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Abdul Choliq melanjutkan studinya ke Pesantren Kajen, Juwono, Pati, Jawa Tengah.

Pada tahun 1936, dalam usia 20 tahun, Abdul Choliq pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Di sana ia bermukim selama empat tahun sambil memperdalam ilmu pengetahuan. Salah seorang gurunya bernama Syekh Ali al-Maliki al-Murtadha.

Mengasuh Pesantren

Sepulang dari Makkah, KH. Abdul Choliq Hasyim mampir dulu ke Jakarta menemui Kiai Wahid Hasyim yang saat itu menjadi Menteri Agama. Di sana beliau membicarakan masalah kepemimpinan Tebuireng yang waktu itu dipegang oleh Kiai Baidlawi. Dalam pandangan Kiai Choliq, naiknya Kiai Baidlawi sebagai pimpinan Tebuireng telah merubah tradisi kepemimpinan pesantren yang biasanya diteruskan oleh putra pengasuhnya, bukan oleh menantunya.

Setelah dari Jakarta, Kiai Choliq mampir ke Desa Kwaron, Jombang. Di sana ia tinggal di rumah adiknya yang paling bungsu, Muhammad Yusuf Hasyim. Dari Desa Kwaron Kiai Choliq mengirim utusan ke Tebuireng untuk membicarakan masalah suksesi kepemimpinan Tebuireng dengan Kiai Baidhawi. Mendengar rencana tersebut, Kiai Baidhawi lalu menyerahkan kepemimpinan Tebuireng kepada Kiai Choliq.

Sejak awal kepemimpinannya, Kiai Choliq banyak melakukan pembenahan pada sistem pendidikan dan pengajaran kitab kuning, yang pada tahun-tahun sebelumnya digantikan dengan sistem klasikal. Langkah pertama yang diambilnya ialah meminta bantuan kakak iparnya, Kiai Idris Kamali (tahun 1953), untuk mengajar di Tebuireng. Kiai Idris diminta untuk mengajarkan kembali kitab-kitab kuning guna mempertahankan sistem salaf, serta melakukan revitalisasi sistem pengajaran.

Dalam memimpin Tebuireng, Kiai Choliq terkenal sangat disiplin. Ini mungkin merupakan pengaruh tidak langsung dari jiwa militernya. Meskipun demikian, Kiai Choliq sangat hormat kepada Kiai Idris, karena dianggap lebih tinggi ilmu spiritualnya. Kiai Idris juga sangat dihormati oleh santri dan masyarakat. Sedangkan Kiai Choliq sebagai pemimpin formal Tebuireng, mengajar kitab-kitab tasawwuf.

Sedangkan Kiai Choliq sangat disegani masyarakat, karena memiliki ilmu kanuragan yang cukup tinggi. Hampir setiap hari tamu-tamu berdatangan ke rumahnya, baik meminta doa-doa atau meminta syarat kesembuhan. Masyarakat percaya bahwa Kiai Choliq mewarisi kesufian dan kekaromahan Kiai Hasyim, sehingga beliau sering melakukan keajaiban-keajaiban tertentu.

Konon, Kiai Choliq pernah menurunkan buah kelapa tanpa memanjatnya. Beliau cukup menggerakkan tenaga dari bawah, buah kelapa sudah berjatuhan. Kiai Choliq juga terkenal kebal senjata tajam. Saat terjadi peristiwa G30S PKI, Kiai Kholik memberikan amalan untuk kekebalan dan kesaktian kepada para santri dan masyarakat.

Pada masa penjajahan, Kiai Choliq pernah ditahan oleh tentara Belanda tanpa alasan yang jelas. Beliau dijatuhi hukuman mati. Keluarga dan santri Tebuireng cemas dibuatnya. Pada detik-detik terakhir menjelang eksekusi, Kiai Kholik meminta waktu kepada algojo untuk salat dua rakaat. Seusai salat, Kiai Choliq mengangkat tangan berdoa kepada Allah. Anehnya, setelah itu pihak Belanda menyatakan bahwa Kiai Kholik tidak jadi dihukum mati.

Selain terkenal memiliki karomah tinggi, Kiai Choliq juga memiliki kebiasaan mengoleksi kitab-kitab syair berbahasa Arab (semacam ontologi). Hal ini dapat dilihat dari kitab-kitab peninggalannya yang masih tersimpan rapi di Perpustakaan Tebuireng.

Pada masa Kiai Choliq, madrasah yang telah dirintis oleh para pendahulunya tetap dipertahankan. Saat itu Madrasah Tebuireng terdiri dari tiga jenjang, yakni Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SLTP), dan Mu’allimin. Kurikulumnya 70% ilmu agama dan 30% ilmu umum. Pada masa ini pula, Madrasah Nidzamiyah yang dulunya didirikan oleh Kiai Wahid, berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah.

Anggota PETA

Selama masa revolusi fisik, KH. Abdul Choliq Hasyim aktif berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI. Sejak tahun 1944, atau satu tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, Kiai Choliq masuk dalam dinas ketentaraan nasional. Dia menjadi anggota PETA.

Kiai Choliq merupakan orang dekat Jenderal Sudirman bersama kakaknya, Kiai Wahid Hasyim. Kiai Choliq mengundurkan diri dari militer pada tahun 1952 dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel (Letkol), kemudian pergi ke Makkah guna menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya.

Kiprah di Politik

Di bidang politik, pada masa kepemimpinan KH. Abdul Choliq Hasyim terdapat polaritas internal di kalangan pemimpin Tebuireng. Pertama, Kiai Choliq mendirikan partai Aksi Kemenangan Umat Islam (AKUI) tahun 1955 dan melarang segala aktivitas politik dan organisasi apapun di Tebuireng. Kedua, Kiai Karim (kakak Kiai Choliq) tetap konsisten menjadi anggota Masyumi. Ketiga, sebagian warga pesantren dan masyarakat Tebuireng mengikuti Partai NU. Padahal Kiai Choliq saat itu melarang segala kegiatan yang berbau NU. Segala aktifitas harus dilakukan di luar pondok. Di pondok hanya untuk ibadah dan mengaji.

Ketika Presiden Soekarno menjatuhkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Kiai Kholik sebagai anggota Konstituante, menentang dengan keras. Dalam pandangannya, jalan musyawarah dan diplomasi masih bisa dilanjutkan. Kiai Choliq mendapat teguran keras atas penentangannya itu, sehingga partai AKUI yang didirikannya dibubarkan. Kiai Kholik kemudian keluar dari politik.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya