Biografi KH. Abdul Karim Hasyim

 
Biografi KH. Abdul Karim Hasyim

Daftar Isi Profil KH. Abdul Karim Hasyim

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Guru-guru
3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Menjadi Pengasuh Pesantren
3.2  Karier Beliau

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Abdul Majid atau yang kerap disapa dengan panggilan KH. Abdul Karim Hasyim lahir pada 30 September 1919 M./1338 H, di Tebuireng. Beliau merupakan putra ke tujuh dari pasangan Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari  dan Nyai Nafiqoh. 

Saudara-saudara beliau diantaranya KH. Wahid Hasyim, Hannah, Khairiyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul  Khalik), Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurroh, dan Muhammad Yusuf.

1.2 Riwayat Keluarga
Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, KH. Abdul Karim Hasyim menikah dengan Masykuroh, putri seorang Kyai yang kaya raya di Jombang. Buah dari pernikahan beliau dikaruniai empat orang anak, yaitu :

  1. Muhammad Nasir
  2. Lilik Nailufari
  3. Muhammad Hasyim
  4. Lilik Nafiqoh

1.3 Wafat
Pada tahun 1972, ketika KH. Abdul Karim Hasyim menunaikan ibadah haji bersama Kyai Idris Kamali dan keluarga Pesantren Seblak, Kyai Karim menderita sakit yang diakibatkan oleh perubahan cuaca. Setelah beberapa hari dirawat, akhirnya nyawa beliau tidak bisa tertolong lagi. KH. Abdul Karim Hasyim meninggal dunia pada  31 Desember 1972 dan jenazahnya dimakamkan di Makkah.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
Sejak kecil KH. Abdul Karim Hasyim dididik langsung oleh kakaknya, KH. Wahid Hasyim, serta kakak iparnya, Kyai Baidlawi. Beliau terkenal sebagai anak yang rajin belajar.

Masa pendidikan beliau lebih banyak dihabiskan di Tebuireng. Dia tercatat sebagai salah seorang siswa pertama Madrasah Nidzamiyah yang didirikan kakaknya, Kyai Wahid Hasyim.

2.1 Guru-guru Beliau

  1. KH. Hasyim Asy'ari
  2. KH. Wahab Chasbullah
  3. KH. Bisri Syansuri
  4. KH. Wahid Hasyim
  5. KH. Baidlawi

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah Beliau

3.1 Menjadi Pengasuh Pesantren

Selama Kyai Wahid Hasyim menjadi pengasuh Tebuireng, Kyai Abdul Karim Hasyim sudah dipercaya sebagai wakil beliau sejak tahun 1947.

Di kalangan pesantren, Kyai Karim terkenal sebagai ahli bahasa dan sastra Arab. Beliau juga produktif menulis dengan nama samaran Akarhanaf, singkatan dari Abdul Karim-Hasyim-Nafisah.

Ketika KH. Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama, kepemimpinan Pesantren Tebuireng menjadi kosong sehingga keluarga besar Bani Hasyim memilih KH. Abdul Karim Hasyim sebagai penggantinya. KH. Abdul Karim Hasyim resmi menjadi pengasuh Tebuireng sejak tanggal 1 Januari 1950 M.

Selama satu tahun memimpin Pondok Pesantren Tebuireng, Kyai Karim banyak melakukan reorganisasi dan revitalisasi sistem madrasah. Pada masa kepemimpinannya, madrasah-madrasah di berbagai pesantren sedang mengalami masa-masa suram. Dikatakan suram karena sejak penyerahan Kedaulatan RI dari pemerintah Belanda kepada pemerintah RI tahun 1949, Pemerintah lebih memprioritaskan sistem persekolahan formal (schooling) daripada madrasah. Sebuah perlakuan diskriminatif yang tidak adil. Perlakuan diskriminatif lainnya terlihat dari keputusan bahwa yang boleh menjadi pegawai negeri hanya mereka yang lulus sekolah umum.

Oleh sebab itu, madrasah-madrasah di Tebuireng pun akhirnya diformalkan sesuai dengan sistem persekolahan. Jika sebelumnya jenjang madrasah hanya dua tingkat, yakni Shifir dan Ibtidaiyah, pada masa Kyai Karim ditambah menjadi tiga tingkat. Yaitu Shifir dua tahun, Ibtidaiyah enam tahun, dan Tsanawiyah tiga tahun. Periode Kyai Karim merupakan masa transisi menuju intregasi sistem salaf dan sistem formal. Inilah tonggak awal dimulainya era pendidikan formal di Pesantren Tebuireng, yang kemudian diikuti oleh sejumlah pondok pesantren lainnya, khususnya di tanah Jawa.

Pada masa kepemimpinan KH. Abdul Karim Hasyim, didirikan pula Madrasah Mu’allimin enam tahun. Jenjang ini lebih berorientasi pada pencetakan calon guru yang memilki kelayakan mengajar. Selain pelajaran agama dan umum, para siswa Mu’allimin juga dibekali keahlian mengajar seperti didaktik-metodik dan ilmu psikologi. Dengan adanya jenjang Mu’allimin, permintaan tenaga guru dari berbagai daerah dapat dipenuhi.

Setelah satu tahun mengasuh Tebuireng, KH. Abdul Karim Hasyim menyerahkan estafet kepemimpinan kepada Kyai Baidlawi, yang merupakan kakak iparnya sendiri. Pergantian jabatan pengasuh Tebuireng dari Kyai Karim kepada Kyai Baidlawi, merupakan hal yang baru dari sistem kepemimpnan Tebuireng, karena seorang menantu dapat menggantikan kedudukan anak kandung di saat si anak kandung masih hidup.

3.2 Karier Beliau

Selain aktif di Tebuireng, KH. Abdul Karim Hasyim juga bekerja sebagai KN I Kabupaten Jombang dan merangkap menjadi guru pada tahun 1945-1948. Pada saat yang sama, KH. Abdul Karim Hasyim merangkap sebagai penghubung staf Grup M I di pulau Jawa.

Lalu pada tahun 1954, ketika sudah tidak menjabat sebagai pengasuh Tebuireng, KH. Abdul Karim Hasyim diangkat menjadi Ahli dan Pengawas Pendidikan Agama di Semarang. Lalu pada tahun 1960, Kyai Karim dipindahkan ke wilayah Surabaya dan Bojonegoro. Kemudian pada tahun 1968, beliau diangkat menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Pada pemilu tahun 1971, di mana partai Golkar mendapat suara 62,8 % dan memperoleh 227 kursi di parlemen, Kyai Karim terpilih sebagai salah satu anggota DPR-RI dari fraksi Golongan Karya.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya