Apakah Seorang Ibu Wajib Menyusui? Begini Menurut Para Ulama

 
Apakah Seorang Ibu Wajib Menyusui? Begini Menurut Para Ulama
Sumber Gambar: ilustrasi.Png

LADUNI.ID, Jakarta – Menjadi seorang ibu adalah impian dari setiap wanita. Mengandung selama 9 bulan hingga akhirnya bisa menggendong sang buah hati dan menyusuinya. Menyusui bayi hingga usia 2 tahun merupakan salah satu kewajiban seorang ibu. Bahkan pemerintah juga menggalang program ini. Merawat dan mengasuh buah hati menjadi tanggung jawab bagi setiap orang tua. Pemberian air susu ibu (ASI) pun menjadi kewajiban guna menjaga tumbuh kembang anak dengan baik.

Di dalam Islam sendiri, menyusui memang dianjurkan untuk dilakukan. Sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Baqoroh 2:233

۞ وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara maruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqoroh 2:233).

Melansir berbagai sumber, tidak ada larangan jika anak disapih kurang dari dua tahun. Selama orang tua sama-sama rela dan tidak menimbulkan yang dapat merusak rumah tangga. Dan, bahkan bisa jadi hukumnya apabila si ibu terus menyusui dapat menyebabkan sakit atau kematian baginya.

Dalil hadis Nabi perihal tersebut ialah sebagai berikut:
Dari Fatimah binti Al Husain dari bapaknya Al Husain bin Ali Beliau berkata, “Tatkala Al Qasim putra Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat, Khadijah berkata, “Wahai Rasulullah, air susu Al Qasim melimpah, sekiranya saja Allah memberinya kehidupan hingga tuntas penyusuannya. ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menjawab: “Sungguh penyusuannya akan disempurnakan di surga. ” (HR. Ibnu Majah).

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَوَصَّيْنَا الإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ المَصِير

Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman 31:14)

Namun anggapan umum yang mewajibkan seorang ibu menyusui bayinya belum menjadi kesepakatan para ulama fiqh. Kalau kita telusuri lebih dalam kitab-kitab fiqh madzhab ternyata kita menemukan ada beberapa ulama yang tidak mewajibkan seorang ibu menyusui anaknya.

Kewajiban untuk memberikan air susu kepada bayi
Jumhur ulama sepakat bahwa bayi yang belum genap usia dua tahun dan membutuhkan air susu ibu wajib hukumnya untuk diberikan. [1]
Namun mereka berbeda pendapat tentang siapa yang berkewajiban untuk melakukannya. Apakah ibunya yang wajib melakukan radha' , atau bapaknya yang harus melakukan  istirdha'?
Yang dimaksud dengan radha' adalah pemberian air susu oleh ibunya sendiri. Sedangkan istirdha' adalah meminta jasa wanita lain untuk menyusui bayi, biasanya dengan upah tertentu. Sebagaimana kakek Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  telah meggunakan jasa Halimatussa'diyah untuk menyusi cucunya yaitu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

1. Ibu Wajib  Melakukan Radha'
Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah berpendapat bahwa ibulah yang berkewajiban untuk menyusui anaknya. Kewajiban ini adalah amanah sebagai seorang ibu dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sehingga kewajiban ini tidak dipertanggungjawabkan dihadapan seorang hakim.[2]

Al-Malikiyah menambahkan kewajiban baginya saat statusnya sebagai istri dari suaminya atau saat masa thalaq raj’i. Tetapi jika sudah thalaq tiga atau bain tidak wajib bagi ibu untuk menyusui anaknya.[3]

Seorang istri tidak ada hak menuntut upah menyusui ke suaminya selama statusnya adalah sebagai istri. Karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman telah memerintahkan seorang istri menyusui anak suaminya. Sehingga rizqi sudah menjadi tanggung jawab sepenuhnya seorang suami. Maka tidak ada keperluan istri yang tidak tercukupi sehingga tidak perlu adanya upah menyusui.[4]

Hal itu didasarkan atas dalil berikut :

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
(Q.S Al-Baqarah 2:233)

Al-Malikiyah menambahkan upah menyusui menjadi hak seorang ibu jika statusnya adalah janda yang diceraikan oleh suaminya yaitu bapak dari si anak yang ia susui.

2. Ibu Tidak Wajib Melakukan Radha'
Madzhab As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa ibu tidak wajib menyusui anaknya sendiri. Sebaliknya, justru bapaknyalah yang wajib melakukan istirdha' , walaupun ibu anak tersebut pada saat itu mampu untuk menyusui. 

Dalam hal ini tidak ada hak bagi suami membujuk atau memaksa istrinya untuk menyusui anaknya. Maka bila istrinya menolak untuk menyusui anaknya sendiri, menjadi kewajban suami untuk mencarikan wanita yang bisa menyusui anaknya. Dan itu disebut dengan istilah istiridha'. [5]

Karena menyusui bukanlah kewajiban bagi seorang ibu, maka mereka berhak meminta upah dari suaminya.Seakan-akan bisa dikatakan menyusui dengan mendapatkan upah seperti proses jual beli.[6]   Sesuai dengan dalil berikut :

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ وَاِنْ كُنَّ اُولَاتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍۚ وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗٓ اُخْرٰىۗ

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
(QS. Ath-Talaq 65: 6)

Namun pendapat ini sangat asing ditelinga kita yang sudah menganggap itu menjadi sebuah kewajiban bagi seorang ibu. Akan tetapi bukankah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak disusui oleh ibunya sendiri yaitu Aminah?

Pengecualian
Namun meski kedua mazhab ini tidak mewajibkan seorang ibu untuk menyusui anaknya sendiri, ada pengecualian dimana pada kondisi tertentu seorang ibu tetap diwajibkan untuk menyusui anaknya.

1. Pada Saat Melahirkan
Kondisi pertama adalah ketika seorang ibu baru saja melahirkan anaknya. Dalam hal ini dia tetap berkewajiban memberikan kolostrum pada anaknya.

2. Tidak Ada Wanita Yang Bisa Menyusui
Kondisi kedua yaitu jika memang bapak sama sekali tidak menemukan wanita manapun yang bisa menyusui anaknya.
As-Syafi’iyah menambahkan bahwa seorang ibu tidak diperkenankan menyusui anaknya jika itu akan membahayakan dirinya. Dan suami patut melarangnya sebagaimana ia melarang istrinya keluar rumah tanpa izin suaminya.

 

Footnote :

[1] Al-Mughni 7/ 627, Nihayatul Muhtaj 7/ 222, Hasyiyah Ad-Dasuqi 2/ 525
[2]Al-Mughni 7/ 627, Nihayatul Muhtaj 7/ 222
[3] Al-Fawakih Ad-Dawani 2/ 100, Hasyiyah Ad-Dasuqi 2/ 525
[4] Ibnu Aabdin 2/ 675
[5] Asnal Mathalib 3/ 445, Nihayatul Muhtaj 7/ 221-222
[6]  Al-Mughni 7/ 627, Nihayatul Muhtaj 7/ 222, Hasyiyah Ad-Dasuqi 2/ 525

 

___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Minggu, 10 Pebruari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.
Sumber : Dari Berbagai Sumber Islam

​Editor : Sandipo