Konsultasi Psikologi: Bagaimana Cara Mengajarkan Anak untuk tidak Lari dari Masalah?

 
Konsultasi Psikologi: Bagaimana Cara Mengajarkan Anak untuk tidak Lari dari Masalah?

Assalamu’alaikum wr wb

Saya mau menanyakan tentang kondisi anak laki-laki saya. Dia namanya R, sekarang berumur 21 tahun. Hampir dua bulan ini, kerjaannya tidur dan di kamar saja. Saya sama istri bingung harus bagaimana. Awalnya, saya ingin dia di pesantren dengan pertimbangan biaya,  mendalami ilmu agama di pesantren salafiyah di  daerah Pondok Ranji.  Dia mau masuk pesantren selama 2 tahun. Motivasi dia masuk pesantren itu di sana, dia ingin mengabdi di pesantren itu karena ada SMP Islam. Sebelumnya, dia pengalaman mengajar 1 tahun terpilih sebagai siswa mengabdi di ponpes di daerah Serang.  Ternyata di ponpes yang baru ini, dia diperlakukan sebagai anak santri pemula.  Saya sendiri memakluminya karena memang layaknya kalau sedang menjadi santri baru. Saya ga tahu apa yang dia rasakan tapi puncaknya dia minta berhenti pesantren tersebut dan ingin mencari pesantren khusus tahfidz.

Saya kemudian mencari pesantren tahfidz di Ciputat. Pada saat pertama kali, dia menyanggupi belajar di sana. Dia bilang di depan saya,  mamahnya, dan pimpinan pesantren itu. Ternyata, setelah saya daftarkan pagi hari Minggu.  Sore harinya, dia kabur  dengan alasan pesantrennya dua lantai. Di lantai 1 santri perempuan dan lantai 2 santri laki-laki.  Selama 1 bulan saya tidak dapat kabar berita keberadaan anak saya tapi alhamdulillah selalu kontak dengan adiknya yang di UIN Jakarta.  Ternyata R sewa kamar dengan temennya namanya A. Dia  tidak sejurusan dengan anak saya kuliahnya.

Hampir 2 bulan yang lalu tepatnya malam Kamis dia telpon mamahnya bahwa dia kehabisan bensin.  dan dia kontak saya setelah blokirnya dibuka (Sebelumnya nomor saya diblokir dia). Saya susul dia ada di lampu merah dekat stasiun Jurang Manggu. Sejak itu dia di rumah malas kuliah dan fikirannya labil.

Awal dia daftar ke PTIQ punya modal hafal 2 juz. Ketika pengisian kuisioner pilihan dia sanggup 30 juz sampai lulus sarjanaya.  Ternyata faktanya sudah semester 5 menurut dia baru hafal 7 juz. Sedangkan temen-temennya sudah diatas 15 juz.  Saya lihat ini yang jadi beban buat dia.  Saya tanya berulang kali kalau tidak sanggup 30 juz jangan dipaksakan.

Saat ini kegiatannya cuma tidur, makan, tidur. Kebiasaan buruknya tiada menit tanpa HP. Sholatpun harus disuruh dengan keras. Saya gak ngomong-ngomong dia kuliah lagi karena dia bilang jangan ngomong-ngomong kuliah.

Wassalamu’alaikum wr wb

Ayah R

Tanggapan:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ayah R yang berbahagia…..Saya bisa merasakan kegundahan hati Bapak dan Ibu ketika menghadapi ananda yang seperti ini. Berdasarkan cerita Bapak, ananda adalah anak yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan teman-temannya. Terbukti, ananda dipilih untuk mengajar di pondok pesantrennya. Sampai titik ini, ananda merasa bahagia dan memiliki persepsi yang baik terhadap pondok.

Titik baliknya tampaknya ketika ananda pindah ke pondok pesantren yang kedua. Di sini, harapan ananda yang besar akan sebuah pesantren, tidak terpenuhi. Kemampuan yang dimilikinya tidak dihargai sebagai mana harapannya. Di sini ananda mungkin merasa kecewa dan sedih. Perasaan itu dipendamnya hingga dua tahun dan puncaknya, ananda meminta untuk keluar. Sebenarnya ini adalah bentuk kekecewaan dan upaya melarikan diri dari sumber permasalahannya. Namun demikian, ananda masih minat untuk masuk pesantren sehingga ananda kemudian mencoba memilih pesantren yang bentuknya beda dengan sebelumnya.

Baca juga: Ingin bisa bergaul bagaimana caranya?

Namun, tampaknya ananda merasa tidak nyaman dengan kehidupan pesantren yang banyak aturan, sehingga ananda memilih untuk kabur dan memilih untuk kos. Bagusnya, ananda masih tetap kuliah, walau akhirnya harus keluar pesantren. Pola melarikan diri dari masalah kembali diulangi di sini. Ketika ananda kos, ternyata hal itu tidak membuatnya bertahan lama. Ananda mengisolasi dari keluarga, nomor Bapakpun diblokir. Hal ini dilakukan semata-mata untuk melarikan diri dari masalah yang mungkin akan muncul dari keluarga. Sehingga ananda memilih untuk menutup akses komunikasi dari keluarga. Ternyata, di tengah perjalanan ananda tersadar. Mungkin saat itu ananda menemukan masalah yang kita tidak tahu dan pola yang digunakan sama dengan sebelumnya yaitu melarikan diri dari masalah. Dengan alasan kehabisan bensin, ananda minta untuk dijemput dan meninggalkan kos-kosannya. Ketika sudah di rumah, ananda merasa aman dari masalah. Namun ternyata masalah tidak bisa dihindari. Salah satu yang menonjol adalah masalah perkuliahan, hingga ananda menolak untuk bicara tentang kuliahnya. Pola melarikan diri dari masalah kembali dipakai kembali. Kali ini ananda memilih pasif dalam bentuk tidur, makan, tidur dan main HP.

Baca juga: Bagimana cara menyikapi anak yang cendrung pendiam?

Saya menduga, masalah ananda tidak hanya kuliah. Gejala yang tampak saat ini adalah akibat dari masalah-masalah yang menumpuk dan tidak diselesaikan. Ananda terlihat tidak bisa memecahkan masalahnya. Karena terbiasa melarikan diri dari masalah, ananda menjadi tidak mahir menghadapi masalah.

Salah satu yang bisa dilakukan adalah mencoba membuka komunikasi dengan ananda. Hal ini tidak harus dilakukan oleh orang tua. Bapak mungkin bisa mencari seseorang yang ananda percaya, baik keluarga atau teman-temannya untuk membuka komunikasi. Jangan langsung menanyakan tentang kuliah dan masalahnya. Tapi bisa dengan obrolan ringan misalnya tentang hobi atau hal-hal yang dia suka. Namun, ini butuh waktu dan kesabaran untuk membuat ananda terbuka. Karena harus dibangun kepercayaan dari ananda terlebih dulu agar ananda terbuka. Kalau ananda sudah percaya dan bisa komunikasi, nanti akan lebih mudah untuk menelusuri lebih jauh tentang masalah ananda. Selanjutnya nanti bisa diajarkan teknik pemecahan masalah yang efektif kepada ananda.

Mungkin itu yang bisa saya sampaikan, Pak. Teruslah doakan ananda agar Allah bukakan hati dan pikirannya. Semoga masalahnya segera teratasi, Pak….

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Salam Hormat

Dr. Muhamammad Fakhrurrozi, M.Psi