Hukum Sedekah Bumi

 
Hukum Sedekah Bumi
Sumber Gambar: ilustrasi.Png

LADUNI.ID, Jakarta - Ada yang mengatakan sedekah bumi merupakan reminisensi dari upacara Hindu yang dilakukan pada zaman dahulu kala dilakukan masyarakat petani guna persembahan kepada Dewi Sri atau Dewi Padi. Beberapa kelompok menganggap bahwa tradisi sedekah bumi itu perbuatan yang syirik. Sebenarnya bagaimanakah menurut pandangan islam sendiri mengenai sedekah bumi tersebut?

Awalnya memang sedekah bumi adalah budaya peninggalan dari masyarakat Hindu pada zaman dahulu. Kemudian setelah datang walisongo dengan ajaran islamnya, akhirnya praktik tersebut diakulturasi menjadi budaya islam. Sehingga sedekah bumi maupun sedekah laut menjadi budaya ekologis yang disertai do’a kepada Allah SWT.

Tradisi sedekah bumi tidak dapat dipandang secara sederhana menjadi persoalan hitam dan putih, syirik atau kufur dan iman. Di dalamnya banyak masalah yang dapat dikaji. Dan masalah ini cukup kompleks sehingga kita perlu hati-hati memahami persoalan ini. Asumsinya bahwa fenomena sedekah bumi ini mengandung dua persoalan. Pertama, persoalan aqidah atau keimanan. Kedua, masalah fiqhiyyah. Perihal persoalan aqidah atau keimanan tidak dapat dilihat secara sederhana menjadi hitam atau syirik atau kufur dan putih atau tauhid atau imam.

Masalah ini dapat ditafsil (dirinci) berdasarkan situasi di lapangan. Sedekah bumi ini bisa jadi haram hukumnya bila terdapat unsur kemusyrikan atau syirik. Sebagaimana yang pernah diputuskan dalam Mukatamar NU Ke-5 pada tahun 1349 H/1930 M di Pekalongan perihal hukum peringatan sedekah bumi atau jin penjaga desa

Para kyai ketika itu mengutip Syarah Tafsir Jalalain karya Syekh Sulaiman Al-Jamal dan Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali;

قَالَ مُقَاتِلُ كَانَ أَوَّلُ مَنْ تَعَوَّذَ بِالْجِنِّ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ بَنِي حَنِيْفَةَ ثُمَّ فَشَا ذَلِكَ فِي الْعَرَبِ فَلَمَّا جَاءَ اْلإِسْلاَمُ صَارَ التَّعَوُّذُ بِاللهِ تَعَالَى لاَ بِالْجِنِّ

Artinya, “Orang yang pertama meminta perlindungan kepada jin adalah kaum dari Bani Hanifah di Yaman, kemudian hal tersebut menyebar di Arab. Setelah Islam datang, maka berlindung kepada Allah menggantikan berlindung kepada jin,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Jamal, Al-Futuhatul Ilahiyyah).

Tetapi fenomena ini bisa jadi dihukumi mubah bila upacara dengan melakukan penyembelihan hewan tertentu ini dimaknai atau diniatkan sebagai taqarrub kepada Allah SWT untuk mengusir jin jahat atau makhluk penguasa laut.

Namun, ketika penyembelihan hewan ini diniatkan untuk menyenangkan jin penguasa laut, maka hal ini dihukumi haram sebagaimana keterangan Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in sebagai berikut;

من ذبح تقربا لله تعالى لدفع شر الجن عنه لم يحرم، أو بقصدهم حرم

Artinya, “Siapa saja yang memotong (hewan) karena taqarrub kepada Allah dengan maksud menolak gangguan jin, maka dagingnya halal dimakan. Tetapi kalau jin-jin itu yang ditaqarrubkan, maka daging sembelihannya haram.”

Adapun dalam persoalan fiqih, fenomena ini juga tidak dapat dilihat secara sederhana hitam-putih. Karena kegiatan apa pun bisa jadi dilarang sebab mengandung unsur tabzir (menyia-nyiakan harta).

Tetapi ulama memberikan catatan bahwa tindakan i‘dha‘atul mal atau tabzir dengan menyia-nyiakan sedikit harta dihukumi makruh sebagaimana masalah ukuran sedikit-banyak ini dapat ditarik (diilhaq-kan) dari masalah penaburan bunga di makam;

فإن كان يسيراً كان مباحاً وإن كان كثيراً كره تنزيهاً

Artinya, “Jika itu hanya sedikit, maka mubah. Tetapi jika itu banyak, maka makruh tanzih (yang baiknya ditinggalkan),” (Lihat Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 570).

Dari sini akhirnya kita tahu bahwa tradisi sedekah bumi menurut islam bisa dilihat dari niat mereka yang melakukannya karena ini berurusan dengan masalah keyakinan, aqidah, tauhid, keimanan, dan seberapa sering upacara ini dilakukan. Karena berkaitan dengan dana dalam pengertian idh‘atul mal atau tindakan tabdzir yaitu menyia-nyiakan harta yang dimakruh dalam agama.

Maka hukum haramnya sedekah bumi itu bukan haram mutlak, tetapi haram bersyarat (muqoyyad). Dan penentuan hukum tradisi sedekah bumi itu tergantung kepada tujuannya. Ada kaidah fiqhiyah yang berbunyi :

للوسائل حكم المقاصد

Artinya; “Perbuatan yang berupa sarana itu hukumnya sama dengan tujuannya.”

Apabila ada yang mengatakan bahwa sedekah bumi atau nyadran itu haram mutlak, karena berasal dari budaya Hindu, maka perkataan itu tidak benar.

Tidak semua yang berasal dari non-Islam itu diharamkan. Misalkan hukum potong tangan (Qishos) yang disyariatkan oleh Rasulullah SAW. Itu berasal dari kaum jahiliyah, namun tetap dijadikan hukum islam dan tidak dilarang karena berdasarkan asal usulnya.

Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Sedekah Bumi

(1) Tradisi sedekah bumi bermakna ucapan rasa syukur manusia atau masyarakat setempat kepada Allah SWT, hal ini yang melandasi adanya tradisi sedekah bumi. Sedekah bumi berawal dari Sunan Kalijaga yang menyebarkan agama islam di tanah Jawa dengan menggunakan perantara wayang kulit sebagai medianya. Dalam pagelaran wayang kulit tersebut mengandung makna atau pesan-pesan tentang materi keislaman yang mudah dimengerti masyarakat Jawa, sehingga masyarakat setempat tersebut dapat memeluk agama Islam.

(2) Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi sedekah bumi adalah pertama nilai aqidah, yaitu tentang keimanan. Dalam sedekah bumi terdapat do’a dan tahlil sebagai permulaan diadakanya upacara sedekah bumi tersebut, hal itu menunjukkan bahwa walaupun mengadakan acara apapun harus tetap mengingat dan dengan dasar beriman kepada Allah SWT. Kedua nilai akhlak, yaitu ajaran baik dan buruk dalam suatu perbuatan. Seperti makna dari tradisi sedekah bumi sendiri yaitu bersyukur, bersyukur merupakan suatu hal yang mencerminkan ajaran baik dalam agama Islam. Ketiga terdapat nilai ibadah, misalnya ibadah shalat. Shalat bertujuan untuk mencari ridha Allah SWT. Dalam pagelaran wayang kulit pada upacara sedekah bumi terdapat tokoh bernama Werkudara yang melambangkan ibadah yaitu shalat. Werkudara itu tidak dapat berjongkok seperti halnya shalat yang tidak ada gerakan jongkok sama sekali. Hal ini hanya sebuah perumpamaan untuk mendorong umat islam agar melaksanakan sebuah kewajiban dalam agama Islam yaitu shalat.

Mengeluarkan sedekah merupakan perbuatan sunnah yang dilakukan menurut ijma’ ulama, dan Islam mengajak manusia untuk berkorban harta, memberikan dorongan kepadanya dengan gaya bahasa yang memikat hati, membangkitkan semangat jiwa, dan menanamkan nilai-nilai kebaikan di dalam hati.

Berikut berbagai dalil sedekah dalam Islam yang berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an serta hadis Nabi, yang penting untuk kita ketahui.
Sebagaimana yang tertuang dalam ayat-ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah dan An- Nisa :

Allah SWT Berfirman dalam Surah Al-Baqarah 2:274

اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ (٢٧٤)

"Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Al-Baqarah 2:274)

Surah An-Nisa` 4:114

۞ لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا (١١٤)

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat maruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS.An-Nisa 4:114)

Hadis tentang dalil sedekah tersebut adalah sebagai berikut:

Diriwayatkan Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu :
1. Rasulullah SAW berkata: Seseorang datang menemui Rosulullah  dan bertanya, "wahai Rosulullah, Shodaqoh yang bagaimanakah yang paling besar pahalanya?" Beliau bersabda: "Engkau bershodaqoh dalam keadaan sehat, amat membutuhkannya, khawatir miskin, dan berangan-angan menjadi kaya. janganlah menunda-nunda (Shodaqoh) sehinggga jika ajal telah sampai ke kerongkongan engkau berkata, 'untuk si fulan sekian, untuk si fulan sekian.' padahal memang harta itu untuk si fulan."

2. Rasulullah SAW Bersabda:  "Siapa menyedekahkan sesuatu sebesar biji kurma yang diperolehnya dari hasil kerja yang baik, dan memang Allah tidak akan menerima kecuali yang baik, maka sesungguhnya Allah akan menerima sedekah itu dengan tangan kanan-Nya, kemudian memelihara pahala sedekah itu untuk pemiliknya, sebagaimana seseorang dari kalian memelihara anak kudanya hingga sedekah itu menjadi seperti gunung."

3. Rasulullah SAW Bersabda : “Tiada suatu pagi hari berlalu melainkan ada dua malaikat turun. Berkata satu di antara dua malaikat itu: “Ya Allah berilah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya.”

Sehingga kesimpulannya adalah dalam praktik sedekah bumi menurut islam jika diniati sebagai rasa syukur Kepada Allah SWT atas nikmat yang dilimpahkan-Nya berupa tumbuhnya tanaman padi yang subur dan berupa keadaan bumi yang aman dari malapetaka karena Allah SWT. Dan Intinya sedekah bumi tidak diniati sebagai sesaji kepada Dewi Sri, atau kepada para dewa atau para danyang, maka hukumnya diperbolehkan, tidak diharamkan, tetapi apabila diniati sebagai sesaji kepada Dewi Sri, kepada para dewa atau para danyang, atau diniati sebagai persembahan kepada jin penjaga keamanan desa, maka hukumnya haram karena mengandung nilai kemusyrikan.

Demikian semoga bermanfaat. Wallahua’lam bisshawab.

 

____________
Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 100 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-5 Di Pekalongan Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1349 H. / 7 September 1930 M.

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Sabtu, 30 Juni 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.
Editor : Sandipo