Biografi KH. Cholil Nawawie Sidogiri, Figur Pendidik Sejati

 
Biografi KH. Cholil Nawawie Sidogiri, Figur Pendidik Sejati
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Daftar Isi Biografi KH. Cholil Nawawie

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru Beliau
3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Menjadi Pengasuh Pesantren
3.2  Figur Pendidik Sejati
4.   Teladan Beliau
4.1  Mengetahui Problem Masyarakat
4.2  Memegang Teguh Syariat
4.3  Tawaduk dan sederhana
4.4  Istiqomah Shalat Berjamaah
5.    Karomah dan Keistimewaan
6.    Chart Sisilah Beliau
7.    Referensi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
Kyai Cholil Nawawie lahir Sekitar tahun 1925 M / 1343 H. Dari pasangan Nyai Nadzifah dan KH. Nawawie, yang kemudian diberi nama Muhammad Cholil.

Nama itu adalah pemberian dari Syekh Kholil Bangkalan, seorang Kyai yang kesohor kewalian beliau. Wa qila, saat itu Mbah Syekh Kholil mengatakan bahwa bayi ini kelak akan menjadi pengganti beliau.  

1.2 Riwayat Keluarga
Tahun 1947 M / 1366 H. Kyai Cholil menikah dengan Nyai Asma dari Podokaton Pasuruan. Setelah sekian tahun berkeluarga, dalam rumah tangga beliau tidak dikaruniai seorang anak. 

1.3 Wafat
KH. Cholil Nawawie wafat pada malam Senin Pon 21 Ramadan tahun 1397 H. atau 05 September 1977 M. Saat itu beliau sedang mengerjakan Shalat tarawih seperti malam-malam sebelumnya. Sampai di pertengahan Shalat tarawih, Kyai pergi ke jeding mengambil wudu. Namun, ketika akan keluar beliau jatuh tanpa ada seorang pun bersama beliau.

Untunglah tak lama berselang khadam beliau datang menolong. Oleh si khadam segera dipeluk sembari berdiri untuk diangkat ke dalem, tapi tak lama kemudian beliau menghembuskan nafas yang terakhir. 

Beribu-ribu orang hadir untuk memberikan penghormatan. Dengan mata berkaca-kaca mereka mengenang dengan doa kepada sosok Kyai tercinta. Kyai yang penuh syafaqah dan kasih sayang. Saat itu, keranda sepertinya hanya berjalan di atas ujung jari, karena banyak dan rapatnya orang yang memikul, bahkan tikar yang dibuat sebagai alas keranda menjadi rebutan jamaah sampai habis. Semuanya berebut untuk mengambil, kendati secuil, barakah Kyai Cholil. 

Dalem beliau diwakafkan kepada istri beliau, Nyai Asma Podokaton. Sedangkan kitab-kitab beliau diwakafkan ke Perpustakaan Pondok Sidogiri (kitab wakaf Kyai Cholil ini kelak menjadi cikal-bakal tumbuhnya Perpustakaan Sidogiri.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Dalam menjalani masa-masa belajar, Kyai Cholil mengembara dari satu pondok ke pondok yang lain. Selain mengaji kepada Kyai Abdul Djalil, Kyai Cholil pernah ngaji di Pesantren Sarang, Jawa Tengah, yang saat itu diasuh oleh KH. Zubair (ayahanda KH. Maimum Zubair). 

Saat Kyai Cholil mondok di sana, di samping mengaji, secara sembunyi-sembunyi beliau mengisi jeding Kyai Zubair. Selang beberapa lama, hal itu diketahui, Kyai Zubair berkata pada Kyai Cholil, “Mas sampeyan wangsul mawon, sa aken liane (Mas, Kamu pulang saja, kasihan yang lain).” 

Bisa diartikan, Kyai Zubair menyuruh pulang Kyai Cholil, khawatir kalau-kalau ilmu Kyai Zubair ‘habis’ dan santri yang lain ‘tidak kebagian’. Di Pondok Sarang, Kyai Cholil mondok hanya kurang-Iebih 3 bulan. 

Selepas dari Sarang, Kyai Cholil melanjutkan mengaji pada KH. Mahfudz Termas, dan KH. Masduki, Lasem, Jawa Tengah. Tidak diketahui secara pasti berapa lama Kyai Cholil mengaji pada dua ulama kenamaan tersebut.

Selang beberapa lama, Kyai Cholil berangkat nyantri ke Makkah. Di Tanah Suci Kyai Cholil mengaji kepada ulama-ulama kenamaan, di antaranya pada Syekh Amin Quthby dan Syekh Hasan Al-Yamany. Di Makkah, Kyai Cholil mondok selama 3 tahun (ada yang berkata hanya 7 bulan). Sejauh ini, tidak ada kejelasan yang pasti dan runtut tentang pengembaraan belajar Kyai Cholil. 

2.2 Guru-Guru Beliau

  1. KH. Nawawie bin Noerhasan (ayah),
  2. KH. Abdul Djalil,
  3. KH. Zubair,
  4. KH. Mahfudz Termas,
  5. KH. Masduki, Lasem, Jawa Tengah,
  6. Syekh Amin Quthby,
  7. Syekh Hasan al-Yamany.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Menjadi Pengasuh Pesantren
Beberapa waktu sebelum Kyai Cholil wafat, ada sedikit kekawatiran; bagaimana nasib Sidogiri setelah ditinggal oleh beliau. Hal ini wajar mengingat peran beliau yang begitu sentral. Mengetahui kegelisahan santri beliau,

Kyai Cholil berusaha menenangkan, “Sidogiri iku kramat pancen krono tanahe, duduk krono aku, delo’n le’ aku gak ono’, Pondok Sidogiri tambah gede (Sidogiri keramat bukan karena saya, tapi karena tanahnya, lihat saja setelah saya tidak ada, Pondok Sidogiri akan bertambah besar),” ungkap Kyai Cholil mencoba meyakinkan.  

Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Sidogiri mulai mengalami perkembangan pesat memang pada saat Kyai Cholil memangku sebagai pengasuh dan KA. Sa’doellah Nawawie sebagai ketua umumnya.

Di bawah asuhan beliau, Pondok Pesantren Sidogiri menjadi salah satu pondok yang disegani dan namanya harum hampir ke seluruh pelosok negeri. pesonanya, menarik minat penuntut ilmu berbondong bondong nyantri ke Sidogiri. Santri yang mulanya hanya ratusan, melonjak pesat mencapai kurang lebih tiga ribuan. 

Membludaknya santri, bukan membuat Kyai Cholil senang, Beliau malah susah. Sebab, berarti amanah yang diemban beliau semakin berat. Pernah almaghfurlah Kyai Hasani menyarankan agar jumlah santri dibatasi saja. Menurut Kyai Hasani yang terpenting bukan kuantitas tapi kualitas. Apabila jumlah santri dibatasi, maka pengaturannya lebih mudah, dan mendidiknya lebih optimal. 

Pada hakikatnya Kyai Cholil setuju dengan saran ini, sebab akan mengurangi beban beliau. Namun hal ini tidak dilakukan, sebab dalam pandangan beliau santri itu amanah dari Allah SWT. “Aku gak wani nolak amanah pengeran, Ni (Saya tidak berani menolak amanah Tuhan, Ni),” ungkap beliau pada Kyai Hasani. 

Untuk menyiasati membludaknya santri, maka undang-undang pondok diperketat. Di samping untuk meminimalisir pelanggaran, mungkin dengan ketatnya undang-undang, masyarakat menjadi enggan untuk nyantri di Sidogiri. Namun yang terjadi sebaliknya, meskipun undang-undang diperketat, santri malah semakin bertambah. 

Dalam menahkodai perjalanan pesantren, Kyai Cholil sangat menaruh perhatian dan memberi kepercayaan penuh pada pengurus. Beliau tahu, tidak mungkin melaksanakan amanat mendidik. santri sebanyak itu tanpa bantuan tenaga tenaga yang bisa dipercaya dan bertanggung jawab. Maka diangkatlah beberapa orang pengurus yang dianggap mampu untuk membantu melaksanakan amanat tersebut. 

Untuk memberikan kepercayaan diri pada pengurus dalam melaksanakan tugas, Kyai Cholil memberikan legitimasi,

pengurus iku wakilku, sopo sing ngelawan pengurus podo karo ngelawan aku (Pengurus itu wakil saya, siapa yang menentang pengurus berarti menentang saya).” Dengan begitu, Pengurus punya wibawa dan berhati-hati dalam menjalankan tugas, sebab itu adalah amanat langsung dari Kyai. 

Toh demikian, Kyai tidak lantas memberikan hak istimewa kepada pengurus. Kyai tahu betul, bahwa proses pendidikan tidak sukses jika tidak ada uswah dari yang lebih senior. Kyai Cholil juga tahu, jika santri sudah merasa dibutuhkan untuk bantu-bantu pondok, maka ia akan cenderung males dan justru melanggar peraturan pondok. “Pengurus, guru, ojo’ dumeh, dadi pengurus utowo guru terus nggak ngaji, melanggar Ian liyo-liyane, sa ‘temene guru, pengurus kabeh iku santri (Pengurusguru, jangan besar diri, lantas tidak mengaji, melanggar atau yang lainnya. Sesungguhnya guru dan pengurus semua adalah santri)”, kata Kyai Cholil dalam manuskrip beliau. 

Pada akhir-akhir menjadi pengasuh, Kyai Cholil melihat pengurus begitu semangat dalam membangun sarana dan prasarana pondok yang memang sangat dibutuhkan. Kyai bukan tidak suka. Namun ada kekhawatiran misi utama pendidikan jadi terbengkalai. Beliau mengisahkan; dulu, waktu masa Kyai Nawawie, dengan bangunan sangat sederhana, Sidogiri mampu mencetak santri-santri yang alim. 

Satu hal yang tetap sangat dipegang oleh Kyai dan ini terus dipegang sampai sekarang, kehati-hatian dalam menerima sumbangan dari pihak luar. Pernah pada tahun 1968 Gubernur Jawa Timur (kalau tidak salah Bapak Moh. Noer) berkunjung ke Sidogiri dengan membawa uang sumbangan untuk pondok sebesar Rp. 300.000-. Jumlah nominal yang cukup besar saat itu. 

Sebenarnya, Kyai Cholil tidak mau menerima sumbangan itu. Namun untuk menghindari fitnah, Kyai Cholil menyuruh agar uang itu diterima. Namun dengan wanti-wanti (pesan), “Duwe’ iki ojo’ sampe’ mlebu nang urusan madrasah, sa’aken arek-arek, ilmune ben barakah (uang ini jangan sampai dipergunakan untuk keperluan madrasah. Kasihan anak-anak santri, ilmunya agar berbarakah)”.  

Ada satu siasat menarik yang dilakukan Kyai Cholil untuk memajukan pendidikan di Sidogiri; santri-santri yang alim oleh beliau dicarikan jodoh dengan gadis di sekitar pondok. Dengan demikian santri itu akan tetap bisa mengajar di pondok. Hal itu berjalan hingga sekarang.

3.2 Figur Pendidik Sejati 
Di antara keistimewaan Kyai Cholil dan ini yang paling menonjol-beliau sangat istikamah dalam hal belajar dan mengajar. Pergi ke mana pun Kiyi Cholil tidak pernah lepas kitab. Ta’lim watta’allum seakan sudah menyatu dengan darah dan denyut nadi beliau. Kebiasaan itu sudah menjadi watak Kyai Cholil sejak kecil. 

Perihal ketekunan dalam mengajar, sangat dirasakan oleh santri beliau. Hampir tidak ada kamus libur bagi pengajian Kyai Cholil. Dari jarangnya libur, hingga ada satu syair yang digubah sendiri oleh santri: 

“Tanda libur (pengajian) di pondok kita Adalah tidak hadirnya Kyai di masjid kita (untuk berjamaah)”.  

Syair ini dibuat oleh santri, sebab Kyai Cholil hampir tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di Masjid. Hingga kemudian, tidak hadirnya Kyai untuk mengimami shalat dijadikan tanda bahwa pengajian di Surau libur. 

Kyai Cholil sangat menaruh perhatian terhadap pengembangan kualitas keilmuan santri, khususnya yang senior. Secara bergilir santri-santri senior dipanggil untuk membaca kitab di hadapan Kyai. Mau tidak mau, mereka akan tertuntut keras untuk selalu persiapan karena khawatir dipanggil secara mendadak. 

Ketekunan Kyai Cholil dalam hal muru’ memang luar biasa. Sang adik, Kyai Hasani, sangat respek dan angkat topi pada kakak beliau itu. Kyai Hasani sampat mengutarakan langsung kekaguman kepada beliau. Dengan tawaduk Kyai Cholil menganggap ketekunan itu satu hal yang wajar dan tidak perlu dikagumi. “Mbuh Ni, aku seneng muthala’ah, arek-arek seneng ngrungo’no (Tidak tahu ‘Ni [Kyai Hasani], saya senang muthala’ah, anak-anak senang mendengarkan)” kata Kyai Cholil.  

Nyai Murti, istri Kyai, juga menuturkan, setiap Kyai datang, beliau tidak pernah lepas dari kitab. Malah menjelang tidurpun beliau masih terus membaca kitab hingga akhirnya tertidur. Ustad Abdul Rohman Syakur bercerita, dirinya sering diajak Kyai Cholil untuk menghadiri undangan, biasanya naik dokar. Di sela-sela perjalanan itu Kyai Cholil menyempatkan mengajari pelajaran fara’idh. Sampai sekarang pelajaran yang diberikan Kyai Cholil terus teringat dan banyak bermanfaat. 

Kyai Aqib Yasin, Pasuruan, (ayah Mas Taufik), pernah menuturkan, dalam segi ibadah Dhahir, Kyai Cholil bisa dibilang ‘biasa’. Namun dalam hal ta’lim wa ta’allum Kyai Cholil luar biasa. Tidak berlebihan jika Kyai Aqib betul-betul respek dan kagum. Beliau berkata, “Tirakat Kyai Cholil itu ta’lim wa ta’allum.”  

Soal ketekunannya ini, Kyai Cholil pernah menukil dawuh ayahanda beliau, Kiai Nawawie;                                                    

“Tekunlah belajar dan shalat berjamaah, niscaya kau peroleh ilmu yang manfaat”.

Dawuh Kiai Nawawie ini sangat membekas dan menjadi prinsip hidup Kyai Cholil. Tidak ada kamus berleha-leha, melepaskan waktu tersia-sia tanpa belajar. Jelas, motto Kyai Cholil adalah “Tidak ada waktu tanpa belajar”.  

4. Teladan Beliau

">4.1 Mengetahui Problem Masyarakat
Di dalem Kyai Cholil ada dua lumbung padi, satu untuk keperluan dalem, yang satunya untuk persediaan, kalau-kalau masyarakat kampung membutuhkan. Ketika datang paceklik, biasanya masyarakat akan datang meminta bantuan kepada Kyai Cholil. 

Satu waktu, panen gagal, sehingga mereka berduyun-duyun meminta bantuan, Dari banyaknya orang yang datang, lumbung persediaan yang biasanya untuk keperluan dalem juga dikeluarkan, namun tetap tidak mencukupi. Hal itu membuat Kyai Cholil menangis sedih, karena merasa tidak bisa membantu masyarakat dengan maksimal. 

Seperti lazimnya menjelang hari raya, banyak orang berkeliling menjajakan dagangan dari rumah ke rumah. Setiap orang datang menawarkan barang, hampir pasti Kyai membelinya, dan untuk sementara waktu disimpan di dalem.

Ketika hari raya tiba, semua barang itu dibagi-bagikan kepada tetangga sekitar. Kyai Cholil terkenal sangat loman dan tidak membeda-bedakan orang yang datang bertamu, semuanya disambut hangat dan hormat. Lebih-Iebih bila yang bertamu dari kalangan Habaib, maka beliau akan betul-betul memuliakannya. 

Wujud kepedulian Kyai Cholil juga bisa dilihat dari komitmen beliau untuk mendidik masyarakat. Secara rutin beliau memberikan pengajian kepada masyarakat kampung setiap hari Selasa. Kyai Cholil di setiap hari Ahad juga memberi pengajian kitab Bidayatul Hidayah kepada kepala desa dan aparatnya sekecamatan Kraton.

4.2 Memegang Teguh Syariat 
Bisa dikata, Kyai Cholil itu adalah kitab yang telah termanifestasi dalam tingkah laku. Akhlak dan syariat beliau pas betul dengan ilmu beliau. Walaupun ada hal yang dilakukan dianggap tidak cocok dengan syariat, beliau akan mengakuinya.

Semisal dalam hal merokok, Kyai Cholil pernah mengatakan, bahwa merokok itu tidak baik, walaupun Kyai Cholil sendiri termasuk pecandu berat. “Aku weruh, ad-daf’u aula min ar-raf’i (mencegah lebih utama dari mengobati) tapi aku se’ durung kuat’. Malah, secara guyon beliau berkata, “Aku se’ durung oleh hidayah (Saya belum dapat hidayah)”.  

Sepulang menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, Kyai Cholil berkata pada Kyai Hasani, “Ga’ pok Ni. Nglakoni barang sunat, ninggal sing wajib (Tidak pas Ni. Mengerjakan sunnah, meninggalkan yang wajib)”. Kalimat itu adalah ungkapan protes Kyai Cholil pada sistem dan juga praktik pelaksaan ibadah haji yang sering mengabaikan shalat (biasanya selama perjalanan). 

Pernah di suatu acara walimah, uang Kyai Cholil diambil oleh Gus Ud (seorang yang terkenal wali jadzab). Kyai Cholil bilang, “Haram Gus, haram Gus!”. Dengan itu Kyai Cholil mengingatkan; siapa pun orangnya, jika tidak sesuai Syariat, harus ditegur. 

Kyai Cholil pernah mengungkapkan dirinya tidak begitu suka belajar Fiqih. Alasan beliau, orang memperdalam Fiqih cenderung mencari hukum yang ringan-ringan saja dan sering menghela hukum. Dalam sudut pandang ini, Kyai Cholil tidak begitu tertarik dengan forum bahtsul masail. Sebab, pembahasannya lama dan ruwet, tapi setelah itu tidak ada aplikasi yang nyata. 

4.3 Tawaduk dan Sederhana 
Pribadi Kyai Cholil sangat sederhana dan tidak suka ditonjol-tonjolkan. Dalam forum-forum apapun beliau itu lebih suka diam. Diam bukan berarti tidak paham atau acuh tak acuh. Tapi diam dalam arti lebih memberikan kesempatan pada yang lain. 

Terbukti setelah semua anggota dalam forum itu kehabisan argumen atau terjadi kemusykilan, maka Kyai Cholil langsung angkat bicara, dan biasanya, mereka langsung bisa menerima. Dari kejadian ini, lalu ada bisik-bisik, ”Sepertinya tidak ada as’ilah yang repot atau sulit untuk Kyai,” atau bahkan, ”Kyai Cholil banyak hafal kitab”.

Pernah Kyai Cholil diundang ke satu acara perkawinan. Ketepatan yang mengundang tidak begitu kenal dengan Kyai Cholil. Saat Kyai Cholil datang, pihak tuan rumah tidak menyambut seperti biasa menyambut seorang Kyai besar. Kyai Cholil, sesampai di sana enak saja langsung duduk dengan undangan yang lain tanpa ada perasaan apa-apa.

Tidak beberapa lama, tuan rumah menghampiri Kyai Cholil (mungkin ada yang memberitahu) sembari mempersilakan masuk ke tempat khusus yang dipersiapkan untuk beliau. Apa jawab Kyai Cholil? “Wes, enak de’ kene, podo ae ko’ (Sudah di sini saja, sama saja kok).”  

Kyai Cholil kemana-mana selalu naik Dokar. Bukan tidak punya uang untuk beli mobil, Malah banyak yang bermaksud memberi mobil, tapi ditolak. Alasan Kyai Cholil, takut malah akan membebani beliau sekaligus khawatir membuat iri tetangga. Sebab, saat itu mobil adalah barang sangat mewah.  

Sekalipun kesempatan untuk hidup lebih dari cukup sangat terbuka, namun Kyai Cholil tidak menggunakan kesempatan itu. Beliau lebih suka hidup sekadarnya. Pernah beliau diberi uang tiga ratus ribu rupiah (Rp. 300.000,-) oleh H. Nawawi, Madura, namun oleh beliau uang itu tidak dibawa masuk ke dalem tapi disuruh letakkan di bawah tempat tidur di kamar. yang ada di depan dalem. Begitu juga bila ada tamu nyabis, uang dari tamu itu tidak pernah diperhatikan, apalagi dihitung. 

Suatu ketika Kyai pernah mengadukan perasaan hatinya pada seorang Kyai di Warungdowo, KH. Kholid namanya. Dalam logat Jawa beliau berkata “Lid..! Aku saiki susah, Lid (sekarang saya susah).”  “Susah nopo, Kyai?” tanya Kyai Kholid. 

Kyai Cholil menjawab (terjemah Bahasa Indonesia), “Begini. Setiap kali saya sedekah pada orang, selalu dibalas langsung oleh Allah SWT. Kemarin, saya sedekah sarung kepada orang. Tak lama kemudian ada orang mengantarkan sarung 10 helai ke rumah.

Beberapa harinya lagi, saya bersedekah, tak lama kemudian ada orang mengantarkan sesuatu yang sama dengan apa yang telah saya sedekahkan dengan jumlah yang lebih besar. Yang saya takutkan balasan Allah SWT. itu diberikan pada saya di dunia saja, sementara di akhirat nanti saya tidak mendapatkan balasan apa apa.” Saat menceritakan kejadian itu Kyai Cholil menangis.”

Saat makan, bila sudah terasa nikmat, maka Kyai Cholil berhenti. Soal kebiasaannya itu Kyai tidak pernah bercerita, sampai satu ketika, mas Busyro, salah satu khadam beliaumenanyakan perihal itu. “Saya khawatir nikmat saya habis di dunia,” jawab Kyai serius. Sikap hidup sederhana Kyai Cholil ini bisa dibaca dari doa dan ayat yang terpampang di dalem beliau: 

Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta kumpulkanlah aku bersama orang-orang miskin”.  

Kami memberikan makan pada kalian hanya untuk (mencari) ridlo Allah. Kami tidak mengharap dari kalian balasan dan juga kata terima kasih”.  

Kedua bacaan itu terpampang di ruang tamu dalem Kyai dan sering dibaca oleh Kyai Cholil. Tulisan itu bukan sebuah slogan kosong atau hanya dibuat penghias ruangan. Tapi, memang betul-betul termanifestasi dalam wujud nyata kehidupan Kyai Cholil sehari-hari. 

4.4 Istiqamah Shalat Berjamaah 
Sampai akhir hayat beliau bisa dikata tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah. Malah ketika hampir wafat pun beliau memaksa shalat berjamaah bermakmum pada KH. Abdul Alim. Dalam keseharian beliau, Kyai Cholil sangat menekankan shalat berjamaah, meskipun tidak secara langsung memaksa kepada semua santri beliau.

Pernah ada seorang santri sowan kepada Kyai Cholil. Ketepatan saat itu si santri berpuasa. Oleh Kyai Cholil, si santri dipersilahkan meminum kopi yang disuguhkan. Si santri bilang dia sedang puasa. Kyai Cholil lalu berkata, “Sebenarnya, tirakat santri Sidogiri cukup dua saja; taat pada peraturan, dan istikamah berjamaah.”

Sampai akhir hayat beliau, Kyai Cholil selalu berjamaah. Shalat terakhir beliau adalah salat Isya yang dilanjutkan dengan salat tarawih. Beliau shalat duduk bermakmum kepada KH. Abdul Alim. Sebelum Shalat dari tawaduk beliau bertanya kepada Kyai Abdul Alim, apakah sudah boleh beliau sholat duduk. 

Kyai Cholil termasuk Hafidzul Qur’an. Bila mengimami suara dan lagunya menyejukkan qalbu dan membuat hati trenyuh hingga tak jarang membuat air mata menetes. 

5. Karomah dan Keistimewaan
Keistimewaan Kyai Cholil memang sudah tampak sejak kecil. Malah sebagian orang meyakini Kyai Cholil itu sudah menjadi wali sejak kecil. Banyak kisah-kisah menarik terkait dengan keistimewaan beliau ini. 

Sehari sebelum Syekh Kholil Bangkalan wafat, Mas Cholil (panggilan akrab Kyai waktu kecil) berteriak-teriak, “Meduro kiamat, Meduro kiamat (Madura kiamat, Madura kiamat)”. Ucapan itu diteriakkan Mas Cholil berkali-kali, sehingga didengar oleh abah beliau, Kyai Nawawie, yang waktu itu sedang mengajar di surau, “Ono opo, Lil (ada apa Lil)?” Kyai Nawawie bertanya. 

Meduro kiamat, Bah, (Madura Kiamat, Abah). “ ulang Mas Cholil. 

Kyai Nawawie baru mengerti perkataan Mas Cholil pada keesokan harinya, ketika datang berita bahwa Syekh Kholil Bangkalan wafat. Innalillahi wa inna lillahi raji’un. Kita tahu, wafatnya seorang ulama besar, sekelas Syekh Kholil Bangkalan bisa disebut kiamat. Sebab, ulama adalah pilar dunia, yang menahan murka Allah  untuk menurunkan adzab pada manusia. 

Juga pernah dalam cuaca yang sangat panas, tiba-tiba Mas Cholil berkata pada abah beliau, Kyai Nawawie, “Ba Aba, udan, Ba (hujan)”.  

“Opo Lil, wong ketigo ngene, (Apa Lil, wong sekarang kemarau).” kata Kyai Nawawie. 

“Udan Ba (Hujan, Abah),” ulang Mas Cholil. Tak lama kemudian turun hujan dengan deras. Wallâhu a‘lam.  

Sebenarnya banyak cerita tentang keistimewaan Kyai Cholil yang tampak sejak kecil. Lepas dari valid dan tidaknya, adalah wajar jika Allah SWT memberikan keistimewaan kepada hamba-Nya yang terpilih. Seperti halnya keistimewaan yang Allah SWT berikan pada calon nabi-Nya, yang dikenal dengan istilah irhash.  

Di kemudian hari, prediksi Syekh Cholil Bangkalan menjadi kenyataan. Sama dengan Syekh Cholil, Kyai Cholil Sidogiri juga menjadi Kyai besar yang sangat disegani. Santri beliau menyebar di seluruh pelosok tanah air, dan banyak di antaranya yang menjadi tokoh dan bisa berkiprah banyak dalam masyarakat. 

Pernah ada seseorang datang ke Kyai Kholili Manawie (ayah Mas H Hasbulloh Mun’im, Ketua II PPS sekarang) saat itu menjabat bendahara pondok, bermaksud meminjam uang. Oleh Kyai Kholili rencananya mau diberi pinjaman dari uang pondok. Keesokan harinya, Kyai Kholili bertemu dengan Kyai Cholil. Tanpa ada yang memberitahu tentang kejadian itu, Kyai Cholil langsung berkata, “Wong iku, le’ nyang duwe’e dewe eman, le’ nyang duwe’e pondok ga’ eman (Orang itu, kalau uangnya sendiri merasa eman, tapi kalau sama uang pondok tidak)”. Kyai Kholili kontan saja jadi terkejut dan membatin, “Kyai kok tahu.”  

Juga pernah, saat Kyai Kholili sakit. Pagi-pagi diajak Kyai Cholil ke Pasuruan. Di atas dokar Kyai Cholil berkata “Li, aku perikso nyang dokter gak ole rokoan tapi dokteri dewe rokoan, iku podo ae ambe’ Kyai sing doyan qodlo’ (Kholili, saya periksa ke dokter, tidak boleh merokok, tapi dokternya sendiri merokok, kan sama saja dengan Kyai yang suka qodlo’ (Shalat)”.

Pengalaman serupa juga dialami Ustad Manshur Noer (Staf pengajar MMU). Pada suatu sore di satu bulan puasa beliau sowan pada KH. Cholil, setelah berbincang-bincang agak lama, Ustad Manshur Noer pamit pulang pada Kyai dan dijawab oleh beliau, “Kate nang endi, Shur. Wong waktu buko se’ tange. Tapi masio ndak buko yo ndak poopo, (Mau kemana Shur, waktu berbuka masih lama. Tapi sekalipun tidak berbuka tidak apa-apa kok)”.  

Ustad Manshur Noer diizini pulang. Sampai di pertigaan Sidogiri, beliau teringat dan memikirkan dawuhnya Kyai tadi, tanpa disadari sepeda yang yang dikayuh melaju dengan cepatnya hingga menabrak seorang pengendara sepeda pancal lain. 

Karena khawatir terjadi apa-apa, Pak Manshur lari dengan sepedanya dengan sekencang-sekencangnya, sampai di rumah beliau, waktu buka puasa kurang 10 menit. Belum kering keringat yang membasahi tubuhnya, tiba-tiba orang yang tadi ditabrak di Sidogiri datang seraya menuntut segala macam kerugian yang dideritanya. Akibatnya, Pak Manshur tidak berbuka puasa karena urusannya selesai setelah waktu Isya, namun perut terasa kenyang. Barulah beliau paham akan dawuh Kyai Cholil sore tadi, “Meski ndak buko ndak po-opo (sekalipun tidak berbuka tidak apa-apa).”  

Ustad Kholil Abdul Karim juga punya kisah menarik. Satu saat cincin Kyai Kholil jatuh ke dalam WC. Terdorong untuk berkhidmat pada Kyai. Ustad Kholil bersama khadam Kyai bernama Nur Kholish, membongkar WC itu seukuran tubuh. Anehnya, setelah Ustad Kholil sampai di dalam WC, tidak ada kotoran dan baunya sama sekali, yang ada hanyalah lumpur. Terlepas apakah itu perasaannya saja atau karena karamah Kyai Cholil. Setelah meraba-raba ke dasar WC, maka ditemukanlah cincin itu. Akhirnya cincin itu dikembalikan pada Kyai Cholil. 

6. Chart Silsilah Sanad
Berikut ini chart silsilah sanad guru KH. Cholil Nawawi dapat dilihat di sinidan chart silsilah sanad
murid beliau dapat dilihat di sini.

7. Referensi

  1. Redaksi Majalah Ijtihad, Jejak Langkah 9 Masayikh Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
  2. Sidogiri.net https://sidogiri.net/category/masyayikhsidogiri/

 


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 25 Agustus 2022, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 06 September 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya