Biografi Habib Saggaf bin Mahdi

 
Biografi Habib Saggaf bin Mahdi
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Daftar Isi Biografi Habib Saggaf bin Mahdi

  1. Kelahiran
  2. Pendidikan
  3. Wafat
  4. Mendirikan Pesantren
  5. Menanamkan Gerakan Toleransi
  6. Sahabat Presiden ke-4

Kelahiran

Habib Saggaf bin Mahdi lahir pada tanggal 15 Agustus 1945 di Dompu Nusa Tenggara Barat (NTB).

Pendidikan

Berawal dari kalimat "Nanti kamu jadi ulama besar dan kaya raya. Kamu masuk pondok saja. Berangkatlah tawakkaltu," dari Habib Soleh bin Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar, seorang ulama besar di Bondowoso, Jawa Timur usai "meneliti" kaki Habib Saggaf bin Mahdi yang masih berusia 14 tahun. Namun saat itu, Habib Saggaf muda masih ragu.

Pasalnya sejak kecil beliau tak pernah mondok. "Kepala seperti mau pecah mendengar perintah itu. Tapi saya pergi juga ke Pesantren Darul Hadis di Malang," kenang Habib Saggaf, panggilan akrab Habib Saggaf bin Mahdi bin Syaikh Abu Bakar.

Di depan pintu ponpes, Habib Saggaf diterima pendiri Darul Hadits, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawi. "Kamu musti belajar baca Al-Qur'an," kata Habib Abdul Qadir seraya memegang kuping Habib Saggaf kecil. Sontak, ketika itu merasa sakit kepala dan keraguannya lalu hilang seketika.

"Hati saya terbuka. Ini guru saya. Apa pun yang terjadi, saya harus belajar di sini," tekad Habib Saggaf muda ketika itu. Habib Saggaf pun menempuh pendidikan di sana dengan cemerlang.

"Saya menjadi santri hanya 2 tahun 7 bulan dan langsung ngajar fiqh dan nahwu. Saya di sana 13 tahun," kenangnya tentang masa-masa di pesantren.

Sepulang dari Malang, Habib Saggaf berguru kepada Sayyidi Abbas di Aljazair selama 5 tahun dan melakukan i'tikaf di Makkah selama 5 tahun. Habib Saggaf juga memperdalam thoriqah di Irak. Namun justru beliau harus kembali ke Tanah Air, sebab guru thoriqahnya yang beraliran Syadziliyah, merekomendasikan agar belajar thoriqah di Mranggen, Kabupaten Demak, yakni kepada Syaikh Muslih Abdurrahman.

"Karena Thoriqah Syadziliyah agak sulit di Indonesia, maka saya disuruh ke Mranggen yang beraliran Qadiriyyah. Syaikh Muslih Mranggen itu guru thoriqah saya," ungkap Habib Saggaf dalam sebuah wawancara dengan Ahmad Suaedy dari the WAHID Institute.

Wafat

Habib Saggaf bin Mahdi wafat pada Jumat, 12 November 2010 M/ 5 Dzulhijjah 1431 pukul 09.15 WIB

Mendirikan Pesantren

Habib Saggaf akhirnya kembali ke Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk mendirikan Pondok Pesantren Ar-Rahman. Tapi, tak lama berselang, Habib Saggaf pindah ke Parung, Bogor dan di tempat ini beliau mendirikan Ponpes Al-'Ashriyyah Nurul Iman.

Sebelum ke Parung, Habib Saggaf pernah mendirikan Ponpes Nurul Ulum di Kali Mas Madya, Surabaya, yang banyak menerima murid dari Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Afrika. Sejak itu, undangan ceramah banyak datang dari negara tetangga. Ratusan ribu massa selalu memadati majelisnya di Singapura. "Bukan hanya orang Melayu dan Islam, orang Cina, India, Budha, Hindu dan lain-lain, telah memenuhi stadion Singapura sejak sore," ujarnya.

Kepandaiannya menguasai Qiraah Sab'ah (bacaan Al-Quran dengan riwayat tujuh imam. red) membuatnya ditunggu majelisnya di Singapura. Namun kepandaiannya itu juga yang mengakibatkan Mufti Singapura menuduhnya mengutak-atik bacaan Al-Quran.

"Saya dituduh merusak al-Quran. Akibatnya ponpes saya di Surabaya disegel Depag dengan alasan takut bentrok antara Indonesia dengan Singapura. Tanah seluas 5 ha di Sekupang Batam yang diberi pemerintah juga ditarik kembali," ungkapnya mengenang peristiwa di awal 1980-an itu.

Selanjutnya beliau pun pindah ke Jakarta. Di Ibukota, Habib Saggaf pun menghidupkan majelis di Masjid Agung Bintaro. Krisis sosial-politik pasca jatuhnya Soeharto pada 19 Juni 1998, membuat Habib Saggaf memutuskan pindah ke Desa Warujaya, Parung, Bogor yang lebih tenang dibanding Jakarta. Ternyata, krisis ekonomi turut menghancurkan masyarakat Desa Warujaya. Hal itu memicu Habib Saggaf mengumpulkan anak-anak sekolah di rumahnya.

"Sebelum sekolah mereka makan nasi ketan di rumah. Tiap anak saya kasih uang jajan Rp 250. Dan tiap keluarga kita bagi beras 5 kg," katanya.

Pada 1999, datanglah seorang santri asal Wonogiri, Solo, bernama Prawoto Suwito. Kedatangannya memberi spirit bagi Habib Saggaf untuk mendirikan Ponpes Al-Ashriyyah Nurul Iman. Kian lama ponpesnya kian besar, hingga kini memiliki 8.231 santri. Selain beribadah dan belajar, ponpes itu juga melatih santrinya bertani, daur ulang sampah dan membuat roti.

Diakui oleh Habib Saggaf bahwa ikhtiar ekonomi para santrinya belum cukup untuk menghidupi ponpes terbesar di Bogor itu. Karena itulah, beliau menerima beberapa dermawan mensedekahkan hartanya untuk kepentingan Ponpes.

"Dua masjid itu sumbangan dari orang yang sama," ungkap Habib Saggaf menjelaskan asal usul dua masjid besar di dalam pon-pes. Satunya berkapasitas 5.000 orang untuk santri laki-laki dan sebuah lagi, berkapasitas 3.000 orang untuk santri perempuan.

Tak hanya itu, beberapa perkumpulan agama non-Islam turut menyumbang konsumsi, tenaga pengajar, gedung olah raga dan asrama. Jadi, jangan heran jika di depan masjid agung pon-pes berdiri Dojo Taekwondo seluas 200 m2, sumbangan dari pengusaha Korea Selatan, Park Young Soo.

"Guru Taekwondo-nya dari Korea. Kita juga memadukan zafin (tarian Arab, Red) dengan Taekwondo. Sekarang sedang dipatenkan di Korea Selatan," jelasnya.

Ponpes itu juga memiliki gedung dua lantai, dengan 24 ruang kelas, 2 ruang guru, 32 kamar mandi dan 20 toilet. Pendidikan Tsanawiyah, Aliyah dan Universitas Habib Saggaf diselenggarakan di situ. "Gedung ini sumbangan dari Yayasan Buddha Tzu Chi," jelasnya. Puluhan tempat bermukim para santri, banyak yang berasal dari infaq orang tua santri.

Bahkan salah satu di antaranya adalah sumbangan dari organisasi keturunan India di Indonesia, Gandhi Sevaloka. Hadirnya beberapa bangunan dari sumbangan komunitas non-muslim itu, menurut Habib, karena dirinya tak segan bergaul dengan siapa pun.

"Kadang beberapa pendeta tidur di sini untuk mempelajari sistem ponpes ini," akunya.

Pesantren Al-‘Ashriyyah Nurul Iman yang didirikan 16 Juni 1998 itu menekankan kedisiplinan, maningkatakan kekuatan pribadi dengan ilmu Agama dan umum plus kecakapan hidup (life skills) berbasis kompetensi. Pesantren ini memadukan sistem madrasah dan sekolah umum serta pengajian kitab-kitab klasik.

Secara normatif landasan hukum pelaksanaannya mengacu pada :

(1) Instruksi Presiden Nomor : 1 tahun 1994 yang menegaskan bahwa “Pesantren dimungkingkan menyelenggarakan program pendidikan dasar tersendiri yang penyetaraannya dengan pendidikan dasar di setujui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan”;

(2) Kesepakatan bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor : 1/U/KB/2000,tentang “Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar”;

(3) Surat Keputusan Bersama Dirjen Dikdasmen Binbaga Islam, Nomor : E/83/2000 dan Nomor : 166/C/DS/2000, tentang “Pedoman Pelaksanaan Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar”. Kurikulumnya memadukan sistem pendidikan Keagamaan dan umum. Sistem pembelajarannya: pengetahuan keagamaan jam 07.30-11.00, pengetahuan umum jam 14.00-16.00.

Pesantren yang tidak memungut biaya (baca: gratis) ini, menampung santri dari berbagai daerah seluruh Indonesia, anak-anak yang kurang mampu (secara ekonomi), anak yatim piatu dan anak-anak jalanan. Para pengasuhnya terdiri dari alumni Timur Tengah, UIN Syarif hidayatullah Jakarta, IAIN Alauddin Makassar, Universitas Indonesia dan lainnya. Mereka kebanyakan sarjana, magister dan doktoral (guru besar) yang memiliki kualifikasi yang baik. Para santri diwajibkan menghafal Al-Qur’an ditambah keterampilan menguasai berbagai bahasa asing: Inggris, Arab, Mandarin dan Korea.

Kegiatan ekstrakulikuler meliputi antara lain: latihan kepemimpinan, kepramukaan, olahraga, seni tari (tarian India, Cina  di samping tari-tarian nasional dan daerah).

Salah satu santri pesantren Juara 1 MTQ Nasional, Kini Pesantren Nurul Iman merupakan Pesantren terbesar di kawasan Parung Bogor, dengan 14000 ( Empat belas ribu ) santri dan luas tanah 150 hektar. Jenjang pendidikan meliputi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Madrasah Diniyyah, Madrasah Tsanawiyyah, Madrasah Aliyah dan Perguruan Tinggi ( STAINI ).

Kunjungan orang tua santri hanya dibolehkan pada hari Besar Islam Tahun baru Islam, Maulid Nabi, Idul Fitri, Dll. sehingga setiap Tahunnya pesantren bukannya sepi tapi justru ramai karena banyak orang tua menjenguk anak-anak mereka. Lokasi sekitar pesantren berubah menjadi pasar kaget karena banyak pedagang memanfaatkan waktu jenguk itu.

Menanamkan Gerakan Toleransi

Habib Saggaf juga terus menanamkan toleransi antar pemeluk agama di negeri ini. Karenanya, beliau menyayangkan aksi kekerasan sekelompok orang dengan mencatut Islam.

"Akibatnya Islam dipandang salah. Orang Islam dianggap 'tukang makan' orang," ujarnya lugas.

Selain itu, kata Habib Saggaf menjelaskan bahwa rusaknya citra Islam juga karena ajaran Islam disalahpahami. "Itu, orang-orang yang ngaku mujahid. Mujahid apa itu, berontak di negara orang. Mereka bikin kacau Indonesia," terangnya.

"Kalau saya presiden, saya usir mereka. Saya tangkap dan saya suruh tinggal di Arab. Jadi, jika kita ingin memperbaiki, jangan yang sudah rusak dirusak lagi. Itu baru mujahid," himbaunya.

Untuk itu, beliau menghimbau kelompok yang mengusung nama Islam agar menyelesaikan persoalan melalui mekanisme hukum. "Ini Indonesia. Ada pemerintah, ada hukum, dan ada polisi. Mereka yang menjaga keamanan. Jika tidak melalui jalur hukum, berarti ingin mendirikan negara dalam negara. Tapi pemerintah juga salah, kok orang-orang kayak begitu (anarkis, Red) dibiarkan. Mereka itu bisa merusak Indonesia," tandasnya.

Selain itu, kata Habib Saggaf, rusaknya citra Islam juga karena ajaran Islam disalahpahami. "Itu, orang-orang yang ngaku mujahid. Mujahid apa itu, berontak di negara orang. Mereka bikin kacau Indonesia. Kalau saya presiden, saya usir mereka. Saya tangkap dan saya suruh tinggal di Arab. Jadi, jika kita ingin memperbaiki, jangan yang sudah rusak dirusak lagi. Itu baru mujahid," himbaunya.

Sahabat Presiden ke-4

Habib yang selalu identik dengan sorban di kepalanya ini memang dekat dengan Almarhum KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dalam sebuah kesempatan wawancara eksklusif dengan almarhum pada pertengahan Ramadhan 1431 H (3/9/2010), dirinya berkisah kepada Wiwit Rf dan Alamsyah M. Dja'far dari Wahid Institute mengenai banyak hal, mulai dari awal mula merintis pesantren di Desa Warujaya, Parung, Bogor, termasuk kisah kedekatannya dengan mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid.

Menurut ceritanya, sekira tahun 2006 Gus Dur pernah divonis mengalami gangguan ginjal sehingga harus menjalani cuci darah secara rutin. Pada kali pertama menjalani cuci darah keluarga sempat menjemput Habib Saggaf di Parung demi membujuk Gus Dur yang ‘bandel' tak mau menjalani cuci darah.

"Habib, saya minta tolong untuk menasehati Gus Dur," kata Habib Saggaf menirukan permohonan Yenny Wahid, putri kedua Gus Dur. Permintaan tersebut lalu diamini Habib.

Habib Saggaf lalu datang ke rumah Gus Dur di Ciganjur. Anehnya, belum sempat mengutarakan niatnya membujuk, Gus Dur malah sudah tahu kalau salah satu misi Habib adalah membujuk dirinya agar mau cuci darah. Tapi bujukan Habib akhirnya berhasil. Gus Dur pun mau menjalani cuci darah. Komitmennya yang tinggi pada penghargaan hak-hak orang lain ini semakin meneguhkan Habib Saggaf yang menetap di Parung ini, komitmen dalam menanamkan toleransi antar pemeluk agama di negeri ini.

Karenanya, beliau pernah menyayangkan aksi kekerasan sekelompok orang dengan mencatut Islam. "Akibatnya Islam dipandang salah. Orang Islam dianggap 'tukang makan orang'," ujarnya kepada Gamal Ferdhi dan Ahmad Suaedy, dalam suplemen Majalah Gatra, 12 Juli 2006.


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 06 Januari 2021, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 15 Agustus 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya