Diriwayatkan bahwa Mars Syubbanul Wathon digubah oleh KH. Wahab Chasbullah pada tahun 1916. Mars ini diciptakan ketika beliau mendirikan sebuah gerakan yang kelak juga menjadi inspirasi para ulama, yakni Nahdlatul Wathon.
Hal yang tidak kalah penting adalah menjaga keutuhan demokrasi sebagai sistem kenegaraan Indonesia, walaupun masyoritas masyarakatnya pemeluk Islam, tetapi memiliki sifat dinamis serta pandangan kontekstual dalam memahami hakikat ber-Islam.
Karena itu, tidak heran jika kemampuan santri bisa menendingi siswa-siswa umum dalam prestasinya. Banyak santri yang telah terbukti mampu dalam berperan sebagai pemimpin dan berbagai tokoh berpengaruh di Indonesia, bahkan di dunia.
Perayaan Hari Santri tidak boleh hanya dimaknai secara lahiriah saja. Tidak cukup kalau para santri hanya beramai-ramai melakukan berbagai jenis perayaan (seremonial) saja dan melupakan substansi kesantriannya begitu saja.
Sejarah ini tidak boleh dikaburkan. Harus selalu disampaikan kepada para generasi penerus bangsa. Sebab bangsa yang besara adalah bangsa yang tidak pernah melupakan jasa para pahlawannya.
Dibentuknya NU sebagai wadah Ahlussunnah wal jamaah bukan semata-mata KH. Hasyim Asy’ari ingin berinovasi, tapi memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi dloruri, wajib mendirikan sebuah wadah.
Para santri tidak membenarkan perang dan kekerasan sebagai jalan keberagamaan. Apalagi sampai memaksa kelompok lain agar menerima syariat sebagai undang-undang negara. Sebagaimana penyempitan makna jihad, yang sering diartikan oleh sebagian kelompok Islam.
Dalam Majalah “Berita Nahdlatoel Oelama” (BNO) edisi no. 22, tahun ke-7 (20 Redjeb 1357 H / 15 September 1938 M) termuat fatwa Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang menyerukan dibacakannya doa “Qunut Nazilah” sebagai bentuk solidaritas sesama umat Muslim atas peristiwa yang terjadi di Palestina.
Nabi kita benar-benar memberi contoh, bahwa mencintai negeri bagian dari risalah kemanusiaan. Oleh sebab itu, ulama-ulama kita mengatakan “hubbul wathan minal iman,” cinta negeri adalah bagian dari iman.
Keteladanan dalam menuntun mayarakat mengenal Islam dengan penuh kasih sayang melalui pendekatan budaya di atas mencerminkan tentang keluwesan sikap dan luasnya pandangan KH. Chudlori.