Agama adalah Nasihat

 
Agama adalah Nasihat
Sumber Gambar: Freepik, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Rasulullah SAW pernah bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: ِللهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama itu adalah nasihat. Lalu kami (para sahabat) bertanya: 'Untuk siapa?' Beliau menjawab: “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan untuk orang Islam pada umumnya.” (HR. Muslim)

Nasihat (dalam bahasa Arab: Nashihah) berasal dari suku kata kerja nashaha- yanshahu-nashihah, artinya menasihati. Untuk menjabarkan arti nasihat ini, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mendefinisikannya dengan menjahit. Apabila dikatakan, “tanashaha ar-rajulu tsaubahu”, artinya seseorang telah menjahit pakaiannya. Seorang penasihat disamakan dengan seorang penjahit kain, karena usaha seorang penasihat untuk menyampaikan fatwa-fatwanya demi kemaslahatan bersama, adalah sama dengan pekerjaan seorang penjahit yang selalu menusukkan jarum dan benang pada kain sasarannya dengan maksud untuk merajut dan mencipta model pakaian yang sesuai dengan kehendaknya atau untuk memperbaiki pakaian yang telah rusak.

Pendapat lainnya mendefinisikan nasihat dengan makna membersihkan. Apabila dikatakan, nashahtu al-‘asala, artinya aku telah membersihkan madu dari malamnya (yang menjadi sarang lebah). Seorang pemberi nasihat hendaknya membersihkan ucapan-ucapan yang dapat menimbulkan tipu muslihat, khianat, dan fitnah. Sebagaimana tukang madu membersihkan madu dari malam yang melekat.

Pendapat terakhir tersebut mengharapkan kepada para penasihat agar ikhlas dan tulus dalam menjalankan tugas-tugas syariat. Nasihat dalam arti ikhlas disebut oleh Allah SWT dalam firman berikut ini:

لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاۤءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضٰى وَلَا عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ مَا يُنْفِقُوْنَ حَرَجٌ اِذَا نَصَحُوْا لِلّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۗ مَا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ مِنْ سَبِيْلٍ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌۙ

“Tiada dosa (karena tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit, dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 91)

Pada hakikatnya, antara pendapat pertama dan pendapat kedua di atas mempunyai kesimpulan yang sama, bahwa nashihah (nasihat) merupakan kata tunggal yang ringkas dan tegas, tetapi mengandung makna yang sangat luas, mencakup kemaslahatan di dunia dan di akhirat. Seorang yang memberitahukan jalan-jalan kemaslahatan di dunia dan di akhirat disebut “An-Nashih” seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an berikut ini:

اُبَلِّغُكُمْ رِسٰلٰتِ رَبِّيْ وَاَنَا۠ لَكُمْ نَاصِحٌ اَمِيْنٌ

Aku menyampaikan amanah-amanah Tuhanku kepadamu dan Aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu.” (QS. Al-A’raf: 68)

Dengan demikian, seorang penasihat adalah orang yang memberikan petunjuk jalan kepada yang lainnya dengan tulus dan ikhlas, walaupun petunjuk atau nasihat itu tidak diindahkan oleh mereka. Ia harus tekun dan telaten dalam menasihati mereka dengan i'tikad baik dan penuh tanggung jawab untuk membawa mereka ke arah kemaslahatan bersama.

Dalam Hadis di atas, Rasulullah SAW menginformasikan bahwa agama Islam yang dibawanya itu adalah gudang nasihat yang mengarah pada setiap pribadi orang Islam untuk menaati perintah Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, dan memberikan masukan kepada pemerintah, serta saling mengontrol antarsesama, menuju kebahagiaan yang hakiki, di dunia dan di akhirat.

Oleh karena itu, nasihat dalam Islam mempunyai peranan yang sangat siginifikan. Beliau juga mengkhususkan isi agama ini secara keseluruhan berupa nasihat, padahal kenyataannya banyak yang terkandung dalam agama ini selain dari nasihat, misalnya keimanan, amalan, dan lain sebagainya. Hal ini memperkuat asumsi di atas bahwa nasihat itu mempunyai peranan penting dalam agama.

Nasihat untuk Hamba Allah

Nasihat yang pertama, sebagaimana yang disebutkan dalam Hadis di atas, adalah untuk Allah. Kemudian timbul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan bernasihat untuk Allah? Masihkah Dia memerlukan nasihat?

Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Tinggi dari segala-galanya. Dia berdiri sendiri dan tidak memerlukan bantuan dari siapapun, apalagi fatwa atau nasihat dari makhluk-Nya. Oleh karena itu, menurut Al-Khatthabi, bernasihat untuk Allah adalah bernasihat untuk hamba-Nya agar beriman kepada Allah, meng-Esa-kan Dzat-Nya, mengagungkan sifat-Nya yang serba sempurna, menaati perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, serta mengikhlaskan hatinya dalam segala amal perbuatan. 

Kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang plural. Dan sebagai salah satu komponen di antara mereka, kita harus bahu membahu mewujudkan masyarakat yang aman, tentram, adil, dan sejahtera. Budaya kerjasama, gotong royong, tepo seliro, dan tolong menolong merupakan bentuk solidaritas yang tinggi antarsesama.

Demikian itu karena memang Islam menganggap semua umat manusia adalah bersaudara. Persaudaraan itu di dalam arti yang luas, yaitu saudara se-agama (ukhuwwah Islamiyah), saudara se-tanah air (ukhuwwah wathaniyah), dan saudara sesama manusia (ukhuwwah insaniyah).

Jika ada salah satu anggota masyarakat yang kurang mampu atau miskin, maka sudah menjadi keharusan bagi kita untuk membantu meringankan bebannya. Sebab tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai sesamanya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Inilah keadilan Islam, agama yang selalu mendorong umatnya untuk berbuat baik, berbudi luhur, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi kepada sesama. Demikian itu dijelaskan dalam sebuah Hadis berikut ini:

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

"Dari Anas bin Malik r.a, Nabi SAW bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (HR. Bukhari)

Mencintai orang lain sejajar dengan mencintai diri sendiri, mengandung pengertian bahwa manusia beriman tidak boleh mencampuri urusan pribadi orang lain, tidak memaksakan kehendak, dan tidak berbuat hal-hal yang menyebabkan hak-hak sesama manusia terabaikan. Hal ini bukan merupakan sesuatu yang berat bagi orang yang berjiwa besar, ia akan tulus memberikan pelayanan terbaik bagi manusia lainnya. Tetapi bagi orang yang melalaikan ajaran agama, hal tersebut dirasakan sangat berat. Seorang koruptor tentu akan sayang sekali melewatkan kesempatan emas berupa "lahan basah" yang ada di depan matanya. Begitu pula seorang perompak tentu akan menyesal jika membiarkan kapal laut tidak dibajaknya, dan lain sebagainya. 

Tabiat manusia dalam mencintai dirinya sangat berlebihan daripada mencintai orang lain. Tetapi jika seseorang mencintai orang lain seperti halnya ia mencintai dirinya sendiri, maka ia termasuk orang yang memiliki keutamaan.

Oleh karena itu, tepat sekali jika Nabi SAW mengkategorikan orang yang mencintai sesama seperti halnya mencintai diri sendiri sebagai orang yang sudah mencapai kesempurnaan imannya. Inilah Islam, sesuai dengan namanya yang berarti damai, mengajarkan umatnya untuk bersikap humanis dan toleran kepada sesamanya, melarang kerusakan, penindasan, penganiyaan, dan perpecahan. Dengannya, diharapkan semua umat Islam berada dalam satu panji ukhuwwah Islamiyah yang teguh dan abadi.

Seseorang tidak dapat dikatakan sebagai penasihat untuk hamba Allah, rasul-Nya, kitab-Nya, pemimpin-pemimpin Islam dan orang-orang Islam pada umumnya, jika ia tidak memulai sedini mungkin untuk menasihati dirinya sendiri dengan memperbaiki amal perbuatan dan tingkah lakunya. Allah tidak membenarkan, bahkan sangat membenci, orang yang hanya pandai bernasihat kepada orang lain, tetapi ia sendiri enggan mengamalkannya.

Allah SWT berfirman:

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

“Amat besar kebencian di sisi Allah, bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. al-Shaff, 61: 3)

Demikian peringatan Allah SWT agar kesungguhan kita dalam melakukan kebaikan tidak sia-sia hanya karena lalai memperhatikan diri sendiri melakukan kebaikan tersebut, tetapi gemar menasihati orang lain agar melakukannya. [] 


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 11 Oktober 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Dr. KH. Zakky Mubarak, MA

Editor: Hakim